Namanya
Yudas Elang Putra Bungsu. Ia adalah imam diosesan. Kebanyakan umat memanggilnya:
Romo Yudas. Tapi di kalangan OMK, karena kegesitannya, dia disapa Romo Elang.
Kata “Elang” pada namanya merupakan pemberian pamannya dengan sebuah harapan
kelak dirinya menjadi orang kaya. Menurut pamannya, orang kaya adalah orang
yang cepat membaca dan memanfaatkan peluang. Nah, cepat membaca dan
memanfaatkan peluang itu, bagi pamannya, identik dengan burung elang. Karena burung
elang, sekalipun terbang tinggi di angkasa, namun cepat melihat mangsa dan
menyergapnya.
Maklumlah,
mereka berasal dari keluarga miskin. Wajar donk
jika berharap menjadi kaya: punya banyak uang, rumah bak istana dan kemewahan lainnya. Tak ada manusia yang ingin menjadi
miskin. Malah menurut kitab suci, khususnya perjanjian lama, kemiskinan itu
dilihat sebagai kutukan, sedangkan kaya sebagai berkat. Orang selalu
menghindari kemiskian. Karena itu, setiap orang miskin tentu berkeinginan
menjadi kaya. Demikianlah harapan pamannya yang sekaligus berperan sebagai orang
tuanya setelah ibu dan ayahnya meninggal dunia.
Namun
ketika Yudas memutuskan masuk seminari karena ingin menjadi imam, sang paman langsung
tak bergairah. Harapan menjadi kaya jadi sia-sia, karena seorang imam tak boleh
menjadi kaya. Janji kemiskinan membuat imam dilarang memiliki harta berlimpah.
Akan tetapi ia tak dapat menghalangi niat Yudas, karena akan buruk penilaian
umat kepadanya. Masak demi harta dia
mengagalkan panggilan suci anaknya. Pastilah orang mengira dirinya kemaruk.
Sebenarnya
Yudas sendiri, waktu itu, masih bingung dengan motivasinya menjadi imam. Di
satu sisi ia mau mengabdikan diri pada Gereja, melayani umat Allah; tapi di
sisi lain ia mau mewujudkan harapan pamannya sebagai balas budi. Yudas tetap
menyimpan semua itu dalam hati. (Seperti Bunda Maria). Ia membiarkan waktu yang
menjawab.
Dan
ternyata, Yudas dapat menjawab kedua-duanya. Ia bisa menjadi imam dan bisa juga
menjadi kaya. Belum ada lima tahun usia imamatnya, ia sudah bergelimang uang
dan harta. HP yang dia punya tidak cukup hanya dua, dan semuanya berharga di
atas empat juta. Laptop ada, tablet
juga. Kamera DLSR dan handicam juga
ada. Ada cerita, sekarang Yudas lagi membangun rumah bak istana di desa.
Akhirnya
sang paman bangga. Sekarang mereka dipandang sebagai orang kaya di desa.
Ternyata dia dapat wujudkan harapanku dan cita-citanya, guman sang paman. “Ternyata
Yudasku bisa baca kesempatan dan peluang yang ada untuk menjadi kaya. Kau
tetaplah Elangku.”
“Ya,
aku elang, paman! Dan masih tetap sebagai elang,” ujar Yudas suatu ketika.
“Macan akan tetap menjadi macan sekalipun ia hidup dan besar di kandang
kambing.”
“Ternyata
kau ponakan paman yang membanggakan!”
Ternyata
keluargaku tak mempermasalahkan sumber uang yang diterima, demikian Romo Yudas.
Dan ternyata bukan keluarga saja. Umat pun kebanyakan diam bila ada imam yang
kaya. Malah ada umat yang turut memuluskan niatnya menjadi kaya. Hal ini persis
seperti refleksinya ketika ia sebagai diakon hendak melamar menjadi imam. Ia
merefleksikan tiga nasehat Injil yang akan menjadi janjinya saat menerima
tahbisan imamat. Ketiga janji itu adalah ketaatan, selibat dan kemiskinan.
Dari
ketiga janji itu, janji kemiskinan yang bisa dikompromi alias dilanggar tanpa
menimbulkan masalah. Itulah yang didapat Diakon Yudas dalam permenungannya. Dia
melihat bahwa Bapak Uskup, rekan-rekan imam, bahkan umat tidak pernah mempersoalkan
imam yang melanggar janji ini. Belum ada imam yang dikeluarkan karena ia menjadi
kaya, sekalipun kekayaan itu didapatnya dengan cara yang salah dan tidak benar.
Tetapi tidak dengan janji ketaatan dan selibat. Jika tidak taat pada uskup,
seorang imam bisa kena suspensi atau dicabut yurisdiksinya. Apalagi bila
melanggar ajaran resmi Gereja. Atau jika ada imam yang selingkuh, pastilah ia akan
menjadi buar bibir umat; dan cepat atau lambat imam itu pasti keluar atau
dikeluarkan (kecuali bila tak punya lagi moral dan nurani).
Hal
ini sudah dibuktikan Romo Yudas. Ketika ia dipilih sebagai ketua panitia
seminar kerukunan antar-agama, ia menyampaikan kepada uskup dan para imam,
termasuk ekonom keuskupan, bahwa acara tersebut menelan biaya 98 juta. Padahal
riilnya hanya 23 juta. Tapi semua diam saja. Tak ada yang menegur atau
mengusiknya. Romo Yudas pun terus melancarkan aksinya.
Dan
ketika parokinya membangun gereja, ia berhasil mendatangkan kontraktor dari
luar daerah. Begitu banyak komisi yang ia terima. Tapi semua orang diam saja.
Mereka takut dikecam penyebar fitna karena tak ada bukti nyata. Maklumlah, kan tak ada KPK di lingkungan Gereja.
Romo
Yudas terus merentangkan sayapnya, mencari “mangsa” untuk menambah pundi-pundi
hartanya. Sebagai pastor kepala paroki ia selalu berusaha agar perayaan
ekaristi yang mendatangkan uang menjadi miliknya, sedangkan yang lain untuk
rekan pembantunya. Maka, setiap misa imlek, Romo Yudas selalu berada di pusat
paroki untuk merayakan misa, sedangkan pembantunya di luar daerah. Ia mau agar
semua angpao itu menjadi miliknya.
Misa
pemberkatan nikah, komuni pertama dan baptisan adalah jatahnya. Misa arwah dan
penguburan diserahkan kepada pembantunya. Dialah yang mengatur jadwal pelayanan
misa. Maka pastor pembantunya selalu disingkirnya ke luar daerah. Dan ternyata
semua umat diam saja. Dan Romo Yudas terus melancarkan aksinya. Sebagai pastor
kepala paroki ia menguasai semua urusan paroki, termasuk keuangan paroki.
Makanya, keuangan paroki hanya dia dan bendahara paroki saja yang tahu.
***
Siapa
bilang menjadi imam itu tak bisa jadi kaya, guman Romo Yudas. Ia sedang cuti di
kampung halamannya, duduk santai memperhatikan rumah yang sedang dikerjai
tukang-tukang bangunan. Ternyata aku bisa kaya. HP mahal tiga. Laptop dan
tablet aku punya. Mobil ada. Rumah lagi dikerja. Tabungan berlimpah. Apalagi
yang akan aku mangsa? Romo Yudas menyeringai bahagia.
Romo
Yudas terus mengejar peluang mencari mangsa. Ia tidak pernah puas atas harta
yang sudah ada. Bukankah memiliki harta itu bukanlah suatu masalah? Daripada
hidup susah, pikir Romo Yudas, mendingan mengejar harta menjadi kaya. Dengan
kuasa yang ada, Romo Yudas terus menjadi kaya.
Ternyata….
Tg
Balai Karimun, 15 Juni 2013
by: adrian
Baca
juga:
1. DiakonYudas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar