Minggu, 28 Desember 2014

Dilema Remisi: Antara Hak dan Rasa Keadilan

Sebagaimana biasanya, menyambut hari raya keagamaan, pemerintah, melalui Kementerian Hukum dan HAM, memberikan remisi kepada para narapidana yang merayakan hari raya itu. Remisi adalah pengurangan masa hukuman yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Bisa dikatakan bahwa remisi itu diberikan kepada narapidana yang telah memenuhi persyaratan yang berlaku.

Remisi adalah HAK para narapidana yang sudah memenuhi ketentuan perundang-undangan. Hak itu didapat karena ia sudah memenuhi atau menjalani kewajibannya. Jadi, jika seorang terpidana telah menjalani kewajibannya, maka pihak yang bertanggung jawab atas remisi mutlak harus memberinya. Menahan remisi seseorang terpidana merupakan sebuah kejahatan dan pelanggaran.

Akan tetapi, di satu sisi pemberian remisi dinilai oleh sebagian orang sebagai tindakan yang melukai rasa keadilan publik. Hal inilah yang sedang hangat-hangatnya diberitakan. Menyambut hari raya Natal, Menteri Hukum dan HAM memberikan remisi kepada para narapidana. Di antaranya ada beberapa terpidana kasus korupsi. Sontak publik merasa gerah.
Sebenarnya tindakan memberi remisi ini, termasuk kepada terpidana korupsi, bukan baru kali ini saja. Awal Agustus lalu Kemenkum dan HAM juga memberi remisi kepada ratusan napi korupsi sebagai hadiah Idul Fitri.

Banyak orang melihat bahwa pemberian remisi tidak akan menimbulkan efek jera dalam melakukan tindak kejahatan, termasuk korupsi. Di samping itu, pengurangan masa hukuman telah melukai rasa keadilan masyarakat. Para terpidana telah melakukan kejahatannya dengan niat dan kesadaran, dan kejahatan mereka tentulah berdampak buruk bagi masyarakat. Semestinya mereka mendapat hukuman yang berat sehingga mereka bertobat.

Namun di sisi lain pemberian remisi adalah sebuah kewajiban karena remisi itu merupakan hak setiap narapidana yang dilindungi undang-undang. Tentu kemenkum dan HAM sadar akan hal ini. Sebagai orang hukum, ia musti taat pada ketentuan undang-undang. Adalah ironis jika ia menindak orang yang melanggar undang-undang sementara ia sendiri melanggar undang-undang.

Inilah dilema remisi. Ada pertentangan dan pertempuran antara HAK dan rasa keadilan. Dilema ini terjadi karena masing-masing pihak hanya melihat dari sudut pandangnya saja, dan melupakan titik temunya. Saya melihat bahwa titik temunya ada pada produk hukum yang berkaitan dengan sanksi hukum. Inilah yang mempertemukan antara HAK dan rasa keadilan. Pertemuan ini bisa menimbulkan gesekan sehingga terjadinya dilema, bisa juga menimbulkan kerukunan.

Produk hukum yang mengatur sanksi bagi terpidana yang berlaku saat ini masih sangat lemah atau ringan. Para koruptor hanya diganjar dengan hukuman ringan, biasanya kisaran 6 – 15 tahun; kecuali jika dikenakan pasal berlapis ada kemungkinan jumlah hukumannya bisa mencapai 30 tahun. Namun semua itu masih terasa ringan. Sekalipun terpidana korupsi diganjar hukuman maksimal, hukumannya masih terasa ringan. Ringannya hukuman ini tentu berdampak pada rasa keadilan andai terpidana menerima remisi.

Akan berbeda jika jumlah hukumannya terperberat. Misalnya, minimal 100 tahun dan maksimal 250 tahun. Dan pengurangan masa hukuman hanya bisa 1 atau 2 minggu dalam satu tahun. Saya yakin tidak akan ada muncul problematika seputar remisi. Para terpidana tetap mendapat haknya, masyarakat pun tak akan terlukai rasa keadilannya.

Yang menjadi persoalan, siapa yang mau membuat produk hukum sanksi seperti ini? Dan lagi-lagi, seperti masalah-masalah yang ada di negeri ini, semuanya tergantung pada kemauan politik para elite negeri ini.
Tanjung Pinang, 27 Desember 2014
by: adrian
Baca juga:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar