Tentulah kita tahu bahwa korupsi merupakan masalah kronis di
negeri ini. Pastilah presiden dan para pembantunya tahu akan hal itu. Para
hakim, jaksa dan penegak hukum pun tahu. Tak bisa dipungkiri anggota dewan kita
juga tahu bahwa korupsi di Indonesia ini dapat merusak sendi-sendi kehidupan
masyarakat. Semua kita tahu.
Dengan ke-tahu-an ini dapatlah dipastikan kalau kita semua
sepakat bahwa korupsi adalah musuh kita bersama. Mulai dari presiden dan para
pembantunya sampai anggota dewan yang terhormat serta rakyat Indonesia tentu
membenci korupsi. Semua akan berkata, “Kami ingin memberantas korupsi!” atau
“Katakan ‘tidak’ dengan korupsi!”.
Akan tetapi, mendengar keputusan hakim terhadap Angelina Sondakh tentulah hati banyak orang yang merindukan tegaknya pemberantasan korupsi akan sedih pilu. Dituntut dengan hukuman 12 tahun penjara, divonis dengan 4 tahun 6 bulan penjara. Pastilah para koruptor akan tersenyum. Para koruptor tidak akan pernah merasa jera dan takut untuk beraksi lagi.
Politik di Balik Kasus Angie
Dulu orang mengatakan bahwa Angie merupakan pintu masuk ke
tersangka lain. Dari Angie akan dapat dijerat orang-orang dari pengurus Partai
Demokrat. Itulah harapan banyak orang, termasuk saya.
Begitu besarnya harapan orang sampai-sampai mereka lupa siapa itu Angie. Orang tidak tahu kalau Angie itu orang politik. Karena itu, kasus Angie ini tak bisa dilepaskan dari unsur politik. Angie menghadapi kasusnya dengan politik. Politik di sini bukan semeta soal kekuasaan, melainkan soal trik dan intrik; dengan kata lain penuh dengan nuansa tipu muslihat.
Apa politik Angie dalam kasusnya? Pertama adalah politik air mata. Sebagaimana yang sudah diketahui umum, menangis adalah senjata ampuh bagi kaum perempuan. Dengan menangis orang akan berbelas kasihan. Dewi keadilan hanya tertutup matanya saja. Ia cuma tidak bisa melihat ekspresi menangis, tapi masih bisa mendengar isak tangis. Karena itu, hampir sepanjang persidangan Angie selalu mengeluarkan air mata.
Kedua, politik tidak tahu. Ada banyak pertanyaan yang diajukan kepada Angie selalu dijawab tidak tahu; dan jawaban itu lahir dari ekspresi innocence seorang politikus muda. Apalagi bila pertanyaan itu dikaitkan dengan sejumlah nama pengurus Partai Demokrat, jawaban Angie yang tidak tahu semakin meyakinkan. Tentulah ini merupakan bagian dari skenario besar. Angie hanya mau menjadi tumbal bagi partainya dengan jaminan hukuman yang ringan. Bukankah 4 tahun 6 bulan merupakan hukuman yang sangat ringan? Hukuman itu akan dipotong dengan masa tahanan, remisi, grasi dan keringanan-keringanan lainnya yang sudah siap di depan. Bukan tidak mustahil Angie hanya menjalani masa hukuman tak lebih dari dua tahun saja.
Korupsi di Masa Depan
Dengan kasus Angie ini, nasib koruptor di masa depan tentulah
sangat cerah. Korupsi menjadi sangat menjanjikan. Ia dapat menjadi profesi
haram yang selalu dicari dan dikejar orang. Alasannya karena sanksi hukuman
yang diterima oleh para koruptor tidaklah menimbulkan efek jera. Angie, setelah
vonis hakim, menggelar konferensi pers dan dengan santai menjawab semua
pertanyaan wartawan. Terlihat jelas dari raut wajahnya ekspresi senang, puas
dan gembira atas keputusan hakim itu. Ini mau menunjukkan bahwa putusan hakim
itu sesuai dengan skenario yang dibuat, sebab Angie tidak menunjukkan sikap
malu atas putusan bersalah melainkan sikap puas atas putusan 4 tahun 6 bulan.
Lalu, apakah dengan demikian korupsi akan tetap dibiarkan saja? Semua tergantung kemauan politik para pemimpin negari ini, mulai presiden, para penegak hukum dan DPR. Jika mereka ingin agar negara ini tidak hancur karena korupsi, maka haruslah dibuat perubahan yang revolusioner. Perubahan revolusioner yang dapat dilakukan adalah dimulai dari produk hukumnya.
Terus terang bahwa hukum yang mengatur sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi masih terlalu sangat ringan. Ke-ringan-an itu membuat para koruptor tidak merasa takut. Oleh karena itu, mulailah membuat aturan hukuman yang benar-benar membuat para koruptor itu jera dan takut.
Saya memberikan satu jenis hukuman dengan tiga tindakan yang berbeda. Istilahnya three in one law. Ketiga tindakan harus menjadi satu kesatuan. Setiap pelaku tindak kejahatan yang sudah divonis bersalah oleh hakim, wajib dikenakan tiga sanksi ini dalam satu waktu.
Tindakan pertama adalah hukuman kurungan. Hukuman penjara kepada para koruptor ini haruslah lama, minimal 55 tahun dan maksimal 85 tahun. Jadi, setiap vonis hakim tidak bisa di bawah 55 tahun. Boleh saja dia mendapat remisi setiap tahun, karena remisi itu adalah hak setiap tahanan. Hak istimewa para tahanan korupsi hanyalah remisi dan grasi. Mereka tidak diperkenankan mendapat fasilitas mewah di penjara atau kemudahan keluar dari tahanan.
Tindakan kedua adalah penyitaan dan ganti rugi. Saya pernah ke kawasan Glodok, tempat penjualan CD dan DVD, yang katanya bajakan. Di setiap sudut ada tertulis, “Barangsiapa ketahuan mencuri, akan didenda 1000 kali lipat.” Tentu patokannya adalah harga satu DVD, yang rata-rata Rp. 5000. Dan aneh, menurut pengakuan para petugas di sana, belum pernah mereka mengalami kasus pencurian. Mengapa? Karena orang pada takut. Bayangkan, hanya karena Rp. 5000, kita bisa didenda Rp. 5 juta.
Demikian pula dengan para pelaku korupsi. Kepada mereka harus kekenakan sanksi denda atau ganti rugi sebesar, misalnya 500 kali lipat dari nilai nominal yang mereka korupsi. Jadi, misalnya mereka terbukti melakukan korupsi sebesar 1 miliyar, maka mereka harus dikenakan denda 500 miliyar. Selain itu, harta milik mereka harus juga disita. Yang disita adalah rumah, kendaraan dan tanah atau benda lainnya yang terbukti didapat dari hasil korupsi.
Tindakan ketiga adalah kerja sosial. Dengan mengenakan pakaian khusus yang mencolok (misalnya baju belang-belang) para tahanan pelaku korupsi ini diwajibkan untuk kerja sosial dengan membersihkan got atau selokan, membersihkan pasar atau bantaran kali. Mereka juga bisa diminta untuk kerja sosial lainnya yang berguna bagi kepentingan bersama. Misalnya, ada banyak tempat di negeri ini yang perlu dijalankan program penghijauan. Nah, manfaatkanlah orang-orang ini untuk menanam pohon-pohon di lahan kering. Karena pohon yang ditanam membutuhkan waktu untuk perhatian, maka para tahanan ini juga yang bertugas memperhatikannya sampai pohon itu tumbuh besar.
Dengan adanya sanksi sosial ini, para pelaku korupsi ini bukan saja mendapat efek jera dan tobat, melainkan warga masyarakat mendapat manfaat dari aksi sosial mereka. Dengan menghadirkan para koruptor dalam kerja sosial di tengah masyarakat, sekaligus juga menyadarkan masyarakat akan efek tindakan kejahatan. Kehadiran mereka dengan pakaian khusus akan menjadi alarm bagi warga: “kamu pun bisa begini!” Jadi, sanksi kerja sosial ini bisa menjadi sarana pencegahan.
Penutup
Apa yang bisa kita
katakan berkaitan dengan vonis Angie ini? Dari vonis ini terlihat jelas bahwa
Dewi Keadilan memang tidak melihat air mata Angie, tapi ia masih mendengar
suara tangisan Angie. Sepertinya kita harus mengubur dalam-dalam harapan akan
berhasilnya pemberantasan korupsi di negeri ini dan mulai menatap realitas yang
ada.
Tanjung
Balai Karimun, 10 Januari
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar