Judul tulisan berita di
halaman depan KOMPAS, 15 Juli 2012 adalah, “Korupsi Telah Menjadi Budaya”.
Dengan membaca judul tulisan ini saya tentulah hati kita akan miris, meski ada
tulisan kecil di atasnya: Mafia Pajak. Tetaplah orang yang membaca menilai
korupsi di semua sektor kehidupan di negeri ini, bukan hanya di direktorat
pajak saja. Korupsi sudah menjadi budaya.
Kemirisan itu
didasarkan pada status korupsi itu sendiri sebelumnya. Sebagaimana yang sudah
diketahui, jauh sebelumnya korupsi ini sudah dikenal sebagai extra ordinary crime, kejahatan yang
amat sangat luar biasa jahatnya. Sebagai kejahatan yang extra ordinary, para pelaku korupsi harus mendapat hukuman yang
juga seharusnya extra berat. Dengan istilah itu seharusnya tingkat korupsi
menjadi semakin berkurang. Namun yang terjadi justru sebaliknya; korupsi
menjadi budaya.
Hal ini mengindikasikan
bahwa hukuman yang diberikan kepada para koruptor tidak menimbulkan efek jera.
Padahal, salah satu tujuan dari hukuman adalah munculnya efek jera sehingga
pelaku kejahatan tidak lagi melakukan kejahatan dan orang lain yang
menyaksikannya pun jadi takut untuk berbuat kejahatan.
Baju Tahanan KPK dan Efek
Jera
Beberapa hari yang lalu
KPK merilis baju tahanan KPK. Baju tahanan itu terdiri dari empat macam jenis
pakaian yang terbuat dari bahan kaus dan kemeja. Baju tahanan tersebut berwarna
hitam, oranye, dan juga putih. Khusus wanita akan dirancang yang berlengan
panjang. Orang yang pertama mengenakan pakaian tahanan KPK ini adalah Amran
Batalipu, Bupati Buol, Sulawesi Tengah.
Wakil Komisi Pemberantasan
Korupsi, Bambang Widjojanto, mengatakan bahwa setiap tahanan KPK wajib
mengenakan baju tahanan ini. “Tidak ada alasan mereka mau beribadah ataupun
ingin mengunjungi acara keluarga mereka, saya tegaskan mereka harus menggunakan
baju tahanan tersebut,“ ujar Bambang kepada wartawan di Banten, Sabtu (14/7)
lalu.
Bambang Widjodjanto
mengatakan bahwa alasan KPK membuat baju tahanan adalah untuk memunculkan efek
jera kepada para pemakainya, yakni para koruptor. Sebab diakui Bambang, selama
ini orang yang ditahan KPK diperlakukan sangat 'lembut' dibanding penegak hukum
lainnya. Bambang mengacu pada kasus Bupati Buol. Ketika dikenakan baju tahanan
ini, Amran tidak berani berjalan tegak, melainkan tertunduk malu.
Menjadi pertanyaan kita
adalah benarkah baju tahanan itu dapat menimbulkan efek jera?
Bagi saya kalau
hanya baju saja, tidaklah akan menimbulkan efek jera. Apalagi bila melihat
desain baju tahanan KPK itu. Desain baju tahanan itu dinilai orang tidak akan menimbulkan
efek jera. Mengapa? Karena dilihat sangat mirip dengan pakaian para penyidik
KPK. Mungkin sesaat saja orang akan malu memakainya. Akan tetapi, lama kelamaan
orang justru merasa bangga dengan pakaian tersebut.
Lalu apa yang membuat
para koruptor ini jera?
Beri Hukuman yang Berat
Selama ini kita sering
saksikan bahwa para pelaku korupsi mendapatkan hukuman yang ringan. Selain
hukumannya yang ringan, mereka juga mendapat perlakuan-perlakuan khusus selama
di penjara (misalnya kasus Atalyta Suryani) serta hak istimewa seperti remisi
(misalnya kasus Aulia Pohan) atau keluar dari tahanan tanpa pengawalan. Belum
ada para koruptor yang mendapatkan sanksi hukum yang berat.
Beratnya hukuman itu
bukan hanya dilihat dari lamanya waktu atau masa tahanan. Hukuman yang berat
itu bukan cuma menyentuh fisiknya melainkan juga psikis, karena efek jera itu
berkaitan dengan masalah psikologi.
Seperti apa hukuman
berat itu?
Saya memberikan satu
jenis hukuman dengan tiga tindakan yang berbeda. Ketiga tindakan harus menjadi
satu kesatuan. Tindakan pertama adalah hukuman kurungan. Hukuman penjara
kepada para koruptor ini haruslah lama, minimal 50 tahun dan maksimal 75 tahun.
Boleh saja dia mendapat remisi setiap tahun, karena remisi itu adalah hak
setiap tahanan. Hak istimewa para tahanan korupsi hanyalah remisi dan grasi.
Mereka tidak diperkenankan mendapat fasilitas mewah di penjara atau kemudahan
keluar dari tahanan tanpa izin dari petugas.
Tindakan kedua
adalah penyitaan
dan ganti rugi. Saya pernah ke kawasan Glodok, tempat penjualan CD
dan DVD, yang katanya bajakan. Di setiap sudut ada tertulis, “Barangsiapa
ketahuan mencuri, akan didenda 1000 kali lipat.” Tentu patokannya adalah harga
satu DVD, yang rata-rata Rp. 5000. Dan aneh, menurut pengakuan para petugas di
sana, belum pernah mereka mengalami kasus pencurian. Mengapa? Karena takut.
Bayangkan, hanya karena Rp. 5000, kita bisa didenda Rp. 5 juta.
Demikian pula dengan
para pelaku korupsi. Kepada mereka harus kekenakan sanksi denda atau ganti rugi
sebesar 100 kali lipat dari nilai nominal yang mereka korupsi. Jadi, misalnya
mereka terbukti melakukan korupsi sebesar 1 miliyar, maka mereka harus
dikenakan denda 100 miliyar. Selain itu, harta milik mereka harus juga disita.
Yang disita adalah rumah, kendaraan dan tanah atau benda lainnya yang merupakan
hasil korupsi.
Saya tidak setuju bila
para pelaku korupsi yang sudah menerima hukuman berat ini harus dipecat dari
jabatannya. Biarlah mereka tetap bekerja di tempat semula. Karena dengan
hukuman ini mereka tidak akan mengulangi lagi kesalahannya.
Tidakan ketiga
adalah kerja
sosial. Dengan mengenakan pakaian khusus yang mencolok (misalnya baju
belang-belang) para tahanan pelaku korupsi ini diwajibkan untuk kerja sosial
dengan membersihkan got atau selokan, membersihkan pasar atau bantaran kali.
Mereka juga bisa diminta untuk kerja sosial lainnya yang berguna bagi
kepentingan bersama. Misalnya, ada banyak tempat di negeri ini yang perlu
dijalankan program penghijauan. Nah, manfaatkanlah orang-orang ini untuk
menanam pohon-pohon di lahan kering. Karena pohon yang ditanam membutuhkan
waktu untuk perhatian, maka para tahanan ini juga yang bertugas
memperhatikannya sampai pohon itu tumbuh besar.
Dengan adanya sanksi
sosial ini, para pelaku kejahatan luar biasa ini bukan saja mendapat efek jera
dan tobat, melainkan warga masyarakat mendapat manfaat dari aksi sosial mereka.
Dengan menghadirkan para koruptor dalam kerja sosial di tengah masyarakat,
sekaligus juga menyadarkan masyarakat akan efek tindakan korupsi. Jadi, sanksi
kerja sosial ini bisa menjadi sarana pencegahan korupsi.
Penutup
Ada suara-suara yang
mengatakan bahwa untuk menimbulkan efek jera dalam tindakan korupsi ini, maka
pelaku korupsi ini harus dijatuhi hukuman mati. Saya pribadi tidak setuju
dengan hukuman mati. Alasan pertama, kita hendaknya memberi
kesempatan kedua kepada pelaku kejahatan. Tentu ada yang mengatakan bahwa sudah
diberi kesempatan kedua tapi tetap saja melakukannya. Itu terjadi karena
hukumannya tidaklah terlalu berat, seperti yang saya paparkan di atas.
Di samping itu harus
disadari bahwa hidup itu adalah hak Tuhan. Inilah alasan kedua. Kita manusia tidak
berhak atas hidup manusia, sekalipun dia telah melakukan kejahatan. Sejahat
apapun tindakannya, kita tidak boleh menghilangkan hidup seseorang. Yang dapat
kita lakukan adalah mengekang hidupnya dengan sanksi-sanksi, bukan
menghilangkan hidupnya.
Alasan ketiga,
hukuman mati tidak mendatangkan manfaat bagi rakyat. Pelaku korupsi hanya
dihukum mati. Harta kekayaan yang dikorupsinya tetap dinikmati oleh anak
cucuknya, dan rakyat tetaplah menderita.
Karena itu, saya lebih
cenderung menerapkan sanksi berat dengan tiga tindakan seperti yang diuraikan
di atas. Dengan demikian tentulah para koruptor akan jera.
Akan tetapi, ini semua
tergantung political will dari para
penguasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar