Jumat, 19 Oktober 2012

Korupsi & Efek Jera

Judul tulisan berita di halaman depan KOMPAS, 15 Juli 2012 adalah, “Korupsi Telah Menjadi Budaya”. Dengan membaca judul tulisan ini saya tentulah hati kita akan miris, meski ada tulisan kecil di atasnya: Mafia Pajak. Tetaplah orang yang membaca menilai korupsi di semua sektor kehidupan di negeri ini, bukan hanya di direktorat pajak saja. Korupsi sudah menjadi budaya.

Kemirisan itu didasarkan pada status korupsi itu sendiri sebelumnya. Sebagaimana yang sudah diketahui, jauh sebelumnya korupsi ini sudah dikenal sebagai extra ordinary crime, kejahatan yang amat sangat luar biasa jahatnya. Sebagai kejahatan yang extra ordinary, para pelaku korupsi harus mendapat hukuman yang juga seharusnya extra berat. Dengan istilah itu seharusnya tingkat korupsi menjadi semakin berkurang. Namun yang terjadi justru sebaliknya; korupsi menjadi budaya.

Hal ini mengindikasikan bahwa hukuman yang diberikan kepada para koruptor tidak menimbulkan efek jera. Padahal, salah satu tujuan dari hukuman adalah munculnya efek jera sehingga pelaku kejahatan tidak lagi melakukan kejahatan dan orang lain yang menyaksikannya pun jadi takut untuk berbuat kejahatan.

Baju Tahanan KPK dan Efek Jera
Beberapa hari yang lalu KPK merilis baju tahanan KPK. Baju tahanan itu terdiri dari empat macam jenis pakaian yang terbuat dari bahan kaus dan kemeja. Baju tahanan tersebut berwarna hitam, oranye, dan juga putih. Khusus wanita akan dirancang yang berlengan panjang. Orang yang pertama mengenakan pakaian tahanan KPK ini adalah Amran Batalipu, Bupati Buol, Sulawesi Tengah.

Wakil Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto, mengatakan bahwa setiap tahanan KPK wajib mengenakan baju tahanan ini. “Tidak ada alasan mereka mau beribadah ataupun ingin mengunjungi acara keluarga mereka, saya tegaskan mereka harus menggunakan baju tahanan tersebut,“ ujar Bambang kepada wartawan di Banten, Sabtu (14/7) lalu.

Bambang Widjodjanto mengatakan bahwa alasan KPK membuat baju tahanan adalah untuk memunculkan efek jera kepada para pemakainya, yakni para koruptor. Sebab diakui Bambang, selama ini orang yang ditahan KPK diperlakukan sangat 'lembut' dibanding penegak hukum lainnya. Bambang mengacu pada kasus Bupati Buol. Ketika dikenakan baju tahanan ini, Amran tidak berani berjalan tegak, melainkan tertunduk malu.
Menjadi pertanyaan kita adalah benarkah baju tahanan itu dapat menimbulkan efek jera? 

Bagi saya kalau hanya baju saja, tidaklah akan menimbulkan efek jera. Apalagi bila melihat desain baju tahanan KPK itu. Desain baju tahanan itu dinilai orang tidak akan menimbulkan efek jera. Mengapa? Karena dilihat sangat mirip dengan pakaian para penyidik KPK. Mungkin sesaat saja orang akan malu memakainya. Akan tetapi, lama kelamaan orang justru merasa bangga dengan pakaian tersebut.

Lalu apa yang membuat para koruptor ini jera?

Beri Hukuman yang Berat
Selama ini kita sering saksikan bahwa para pelaku korupsi mendapatkan hukuman yang ringan. Selain hukumannya yang ringan, mereka juga mendapat perlakuan-perlakuan khusus selama di penjara (misalnya kasus Atalyta Suryani) serta hak istimewa seperti remisi (misalnya kasus Aulia Pohan) atau keluar dari tahanan tanpa pengawalan. Belum ada para koruptor yang mendapatkan sanksi hukum yang berat.

Beratnya hukuman itu bukan hanya dilihat dari lamanya waktu atau masa tahanan. Hukuman yang berat itu bukan cuma menyentuh fisiknya melainkan juga psikis, karena efek jera itu berkaitan dengan masalah psikologi.

Seperti apa hukuman berat itu?

Saya memberikan satu jenis hukuman dengan tiga tindakan yang berbeda. Ketiga tindakan harus menjadi satu kesatuan. Tindakan pertama adalah hukuman kurungan. Hukuman penjara kepada para koruptor ini haruslah lama, minimal 50 tahun dan maksimal 75 tahun. Boleh saja dia mendapat remisi setiap tahun, karena remisi itu adalah hak setiap tahanan. Hak istimewa para tahanan korupsi hanyalah remisi dan grasi. Mereka tidak diperkenankan mendapat fasilitas mewah di penjara atau kemudahan keluar dari tahanan tanpa izin dari petugas.

Tindakan kedua adalah penyitaan dan ganti rugi. Saya pernah ke kawasan Glodok, tempat penjualan CD dan DVD, yang katanya bajakan. Di setiap sudut ada tertulis, “Barangsiapa ketahuan mencuri, akan didenda 1000 kali lipat.” Tentu patokannya adalah harga satu DVD, yang rata-rata Rp. 5000. Dan aneh, menurut pengakuan para petugas di sana, belum pernah mereka mengalami kasus pencurian. Mengapa? Karena takut. Bayangkan, hanya karena Rp. 5000, kita bisa didenda Rp. 5 juta.

Demikian pula dengan para pelaku korupsi. Kepada mereka harus kekenakan sanksi denda atau ganti rugi sebesar 100 kali lipat dari nilai nominal yang mereka korupsi. Jadi, misalnya mereka terbukti melakukan korupsi sebesar 1 miliyar, maka mereka harus dikenakan denda 100 miliyar. Selain itu, harta milik mereka harus juga disita. Yang disita adalah rumah, kendaraan dan tanah atau benda lainnya yang merupakan hasil korupsi.

Saya tidak setuju bila para pelaku korupsi yang sudah menerima hukuman berat ini harus dipecat dari jabatannya. Biarlah mereka tetap bekerja di tempat semula. Karena dengan hukuman ini mereka tidak akan mengulangi lagi kesalahannya.

Tidakan ketiga adalah kerja sosial. Dengan mengenakan pakaian khusus yang mencolok (misalnya baju belang-belang) para tahanan pelaku korupsi ini diwajibkan untuk kerja sosial dengan membersihkan got atau selokan, membersihkan pasar atau bantaran kali. Mereka juga bisa diminta untuk kerja sosial lainnya yang berguna bagi kepentingan bersama. Misalnya, ada banyak tempat di negeri ini yang perlu dijalankan program penghijauan. Nah, manfaatkanlah orang-orang ini untuk menanam pohon-pohon di lahan kering. Karena pohon yang ditanam membutuhkan waktu untuk perhatian, maka para tahanan ini juga yang bertugas memperhatikannya sampai pohon itu tumbuh besar.

Dengan adanya sanksi sosial ini, para pelaku kejahatan luar biasa ini bukan saja mendapat efek jera dan tobat, melainkan warga masyarakat mendapat manfaat dari aksi sosial mereka. Dengan menghadirkan para koruptor dalam kerja sosial di tengah masyarakat, sekaligus juga menyadarkan masyarakat akan efek tindakan korupsi. Jadi, sanksi kerja sosial ini bisa menjadi sarana pencegahan korupsi.

Penutup
Ada suara-suara yang mengatakan bahwa untuk menimbulkan efek jera dalam tindakan korupsi ini, maka pelaku korupsi ini harus dijatuhi hukuman mati. Saya pribadi tidak setuju dengan hukuman mati. Alasan pertama, kita hendaknya memberi kesempatan kedua kepada pelaku kejahatan. Tentu ada yang mengatakan bahwa sudah diberi kesempatan kedua tapi tetap saja melakukannya. Itu terjadi karena hukumannya tidaklah terlalu berat, seperti yang saya paparkan di atas.

Di samping itu harus disadari bahwa hidup itu adalah hak Tuhan. Inilah alasan kedua. Kita manusia tidak berhak atas hidup manusia, sekalipun dia telah melakukan kejahatan. Sejahat apapun tindakannya, kita tidak boleh menghilangkan hidup seseorang. Yang dapat kita lakukan adalah mengekang hidupnya dengan sanksi-sanksi, bukan menghilangkan hidupnya.

Alasan ketiga, hukuman mati tidak mendatangkan manfaat bagi rakyat. Pelaku korupsi hanya dihukum mati. Harta kekayaan yang dikorupsinya tetap dinikmati oleh anak cucuknya, dan rakyat tetaplah menderita.

Karena itu, saya lebih cenderung menerapkan sanksi berat dengan tiga tindakan seperti yang diuraikan di atas. Dengan demikian tentulah para koruptor akan jera.

Akan tetapi, ini semua tergantung political will dari para penguasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar