Dahulu.....
Saya orang Flores.
Ketika saya masih SMP, saya beberapa kali mendapat hukuman dari guru. Hukuman
itu, kalau dilihat pada masa kini, bisa merupakan bentuk penganiayaan. Hukuman
diberikan karena memang saya salah atau lalai. Apapun kesalahan, pasti akan
mendapatkan hukuman.
Pernah sekali, ketika
pelajaran menggambar, saya bersama beberapa murid lainnya lupa membawa
pengaris. Kami yang lupa ini disuruh maju ke depan kelas, menyodorkan tangan,
lalu guru menghantamkan penggaris kayu besar (panjang sekitar 1 meter dengan
ketebalan sekitar 1 cm). Penggaris itu mendarat persis di punggung telapak
tangan. Penggaris kayu itu sampai hancur. Ada murid perempuan sampai menangis,
sedangkan kami yang cowok hanya bisa meringis. Hasil hukuman hari itu bukan
hanya tangan memar, tapi hari itu kami tak bisa menulis.
Untuk jenis hukuman
tempeleng itu sudah menjadi makanan ringan. Disebut makanan ringan karena
seringkali guru menempeleng murid untuk kategori pelanggaran ringan. Saya
pernaah ditempeleng dan jari guru itu mengenai mata saya sehingga mata terasa
perih. Kalau pelanggaran berat, ya seperti yang di atas tadi. Saya pernah
dipukul di betis dengan menggunakan kayu rotan.
Sekalipun kami sering
mendapatkan penganiayaan dari guru, kami tak berani melaporkan peristiwa itu
kepada orang tua. Bukan lantaran diancam oleh guru, melainkan karena kami takut
mendapat hukuman tambahan dari orang tua. Di kampung saya dan di Flores pada
umumnya, jika di sekolah kita dihukum dan diketahui oleh orang tua, berarti
kita akan mendapatkan lagi hukuman dari orang tua.
Akan tetapi justru
karena hukuman itu banyak orang Flores yang sukses dan berhasil. Mereka-mereka
ini berhasil menghadapi hukuman karena ia bagian dari proses pendidikan dan
pembinaan. Dengan hukuman itu kami belajar mengetahui kesalahan dan menemukan
kebenaran dan kebaikan. Orang yang tidak berani menghadapi hukuman dengan cara
lari meninggalkan sekolah, orang-orang ini yang gagal dalam hidupnya.
Sekarang ....
Pada tanggal 22 Oktober
2002, Pemerintah Republik Indonesia, mengundangkan UU Perlindungan Anak (UU
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Praktis, sejak saat itu adanya
hukuman terhadap anak di sekolah akan menjadi sensasi berita yang hangat.
UU Perlindungan anak, khususnya pasal 13 ayat (1), menyatakan bahwa
setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun
yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan:
a.
diskriminasi;
b.
eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c.
penelantaran;
d.
kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e.
ketidakadilan; dan
f. perlakuan
salah lainnya.
Apa yang diungkapkan
dalam pasal 13 ayat (1) di atas kembali ditegaskan dalam pasal 16 ayat (1) dan
(2) yang berbunyi:
(1)
Setiap anak berhak memperoleh
perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman
yang tidak manusiawi.
(2)
Setiap anak berhak untuk memperoleh
kebebasan sesuai dengan hukum.
Dengan adanya UU
Perlindungan Anak, guru di sekolah tidak lagi berani memberikan hukuman kepada
anak. Guru takut karena sanksi hukumannya tidak main-main. Mengenai sanksi
hukuman terhadap tindakan penganiayaan anak tertuang dalam pasal 80. Di sana dinyatakan:
(1) Setiap orang yang
melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan
terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua
juta rupiah).
(2)
Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Ternyata bukan cuma UU
Perlindungan Anak saja yang menjadi instrumen perlindungan anak, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur soal penganiayaan. Hal itu
terdapat dalam pasal Pasal 351 jo. 352 KUHP.
“Penganiayaan” Masih Ada
Sekalipun UU
Perlindungan Anak sudah diundangkan, ternyata tindakan memberi hukuman, yang masuk
kategori penganiayaan, masih kerap terjadi. Kasus terakhir adalah kasus
penamparan oleh oknum guru terhadap siswi SD Harmoni di Batam. Dikatakan bahwa
bekas tamparan itu meninggalkan luka lebam di pipi anak kecil itu sehingga dia
jadi trauma ke sekolah. Orang tua sudah melaporkan kasus itu ke polisi.
Satu contoh kasus lain saya kutip dari http://www.solopos.com/2011/02/09/aniaya-murid-guru-smk-gm-1-terancam-hukuman-35-tahun-85302:
“Sebagaimana diberitakan, M dilaporkan ke Polsek
Wuryantoro, Senin (7/2) malam lalu karena dugaan penganiayaan terhadap salah
satu muridnya. Murid tersebut, Dias Ganang Fardian mengaku ditampar satu kali
oleh gurunya itu sehingga mengalami luka lebam di bawah mata kirinya.
Alasan pemukulan itu, sebagaimana tertulis dalam
laporan resmi orangtua korban ke Mapolsek Wuryantoro, karena korban melanggar
disiplin saat upacara bendera, Senin pagi. Guru tersebut, belum bisa ditemui
maupun dihubungi untuk konfirmasi.
Sedangkan Kepala SMK Gajah Mungkur 1 Wuryantoro,
Saryanto membantah perlakuan guru terhadap muridnya itu sebagai tindakan
penganiayaan. “Itu cuma pembinaan karena murid ini ramai bercanda dengan
temannya saat upacara berlangsung,” jelasnya. Saryanto mengakui pembinaan dan
penegakan disiplin siswa di sekolahnya memang cukup ketat.”
Kalau kita perhatikan baik-baik, apa yang
dilakukan para guru dengan menghukum muridnya tidaklah salah 100 %. Apa yang
dilakukan mereka masih dalam taraf wajar, sekalipun menimbulkan luka memar.
Yang dilakukan guru adalah juga demi kebaikan murid itu. Guru memegang prinsip:
yang salah harus dihukum. Tak mungkinlah guru menghukum murid yang baik dan
benar. Yang salahlah yang dihukum. Dengan hukuman anak disadarkan akan
kesalahannya.
UU Perlindungan Anak dapat membuat anak tidak
menemukan kesalahan dirinya. Dia merasa dirinya benar. Buktinya, dia dibela dan
sang guru dihukum. Karena itu, konsep benar-salah menjadi hilang dengan adanya
UU Perlindungan Anak.
Derita
Guru: Sebuah Dilema Pendidikan
Keberadaan UU Perlindungan Anak ini, bagi saya,
menjadi sebuah penderitaan guru. Mereka dihadapkan pada sebuah masalah yang
dilematis dalam proses pendidikan dan pembinaan anak muridnya. Situasi mereka
berhadapan dengan UU Perlindungan Anak sama seperti “maju kena mundur pun
kena”.
Kita bisa perhatikan contoh kasus di SMK Gajah
Mungkur di atas. Demi pembinaan dan penegakan disiplin kepada siswa, guru
terpaksa menampar siswanya. Akan tetapi guru tersebut dihadapkan pada jerat
hukum. Maksud baik sang guru justru berakibat buruk. Bukankah guru itu ingin
menyadarkan murid itu. Ada banyak cara penyadaran. Tempeleng merupakan salah
satu cara.
Mungkin orang akan berpikir, kan bisa pakai cara
lain yang tanpa kekerasan. UU Perlindungan Anak tidak membolehkan cara
kekerasan, padahal cara itu bisa menjadi sarana paling efektif. Tingkat
penyadarannya lebih kuat ketimbang hanya menegur dan menasehati. Tempeleng (dan
itu hanya sekali) bisa merupakan bentuk shock
therapy.
Oleh karena itu, saya katakan bahwa UU
Perlindungan Anak menjadi penderitaan para guru di sekolah. Mereka tidak berani
bertindak tegas kepada murid karena takut akan sanksi dari UU Perlindungan
Anak. Bayangkan saja, kena pasal 80 ayat (1) saja sudah merupakan penderitaan
yang amat sangat bagi guru yang berpenghasilan pas-pasan. Mau masuk penjara,
asalkan tiap bulan gajinya jalan terus sih tak akan jadi masalah. Tetap
mengajar dengan ganti rugi sebesar 72 juta rupiah, jelas akan memberatkan
keluarganya.
Saya punya satu contoh kasus. Di sebuah sekolah
menengah pertama, ada siswa sedang berkelahi. Datang seorang guru melerai. Eh,
malah dia dicaci maki oleh seorang siswa yang berkelahi tadi, karena tidak
terima acara duelnya dipisahkan. Karena emosi, maklum sang guru juga masih muda
dan caci maki itu terjadi di muka umum, diketahui murid lain, dan demi harga
diri, guru itu menampar siswa itu. Cuma sekali saja. Ujung ceritanya sang guru
dilaporkan ke polisi dan sempat beberapa hari ditahan di penjara sebelum
akhirnya dibebaskan dengan tebusan.
Apa yang terjadi setelah peristiwa itu? Para guru
lain tidak berani bertindak tegas kepada siswa dan para siswa berbuat seenaknya
saja. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tak berani menegur. Yang terjadi
adalah proses pembiaran. Ketika guru mau bertindak tegas, anak dapat mengancam
dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan dengan mudah mengejek gurunya bahkan
menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa karena takut dengan UU
Perlindungan Anak.
Saya pernah berdiskusi dengan seorang mantan
kepala sekolah di dua sekolah ternama di tempat saya, yang sekarang sudah
menjadi sepuh. Dia mengatakan bahwa UU Perlindungan Anak merusak dunia
pendidikan. Dia sangat tidak setuju dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu
bisa digunakan anak untuk merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan
nasib para guru.
Hukuman
Bukan Penganiayaan
Saya melihat ada sedikit kekeliruan dalam masalah
UU Perlindungan Anak. Kekeliruan itu berkaitan dengan kata “penganiayaan”. Bagi
saya yang masuk kategori penganiayaan adalah kekerasan yang bertubi-tubi. Ia
mirip dengan penyiksaan. Misalnya, memukul atau menempeleng berkali-kali,
sekalipun murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma sekali, itu bukan
penganiayaan. Kalau dikatakan kekerasan baru bisa. Kalau kasus seperti IPDN
saya baru setuju jika itu dikatakan penganiayaan dan memang kejam, karena
kekerasan yang dilakukan bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu ditendang
berkali-kali. Karena itu wajar jika ada yang cacat dan bahkan sampai tewas.
Saya tidak setuju jika menempeleng yang hanya
sekali saja masuk kategori kekejaman (pasal 13 ayat 1) atau hukuman yang tidak
manusiawi (pasal 16 ayat 1). Dalam kasus-kasus penganiayaan yang terjadi di
sekolah yang dilakukan oknum guru selama ini, bagi saya masih masuk kategori
kekerasan, bukan kekejaman, penganiayaan apalagi hukuman yang tidak manusiawi.
Yang menjadi persoalan, haruskan kekerasan itu
dihukum, jika kekerasan itu bertujuan baik, yaitu menyadarkan orang akan
kesalahannya. Untuk bisa sampai pada tingkat sadar itu memang sering
menyakitkan. Kekerasan itu ibarat shock
therapy bagi pasien.
Selain itu harus juga diperhatikan soal kewajiban
sang anak. Dalam UU Perlindungan Anak, khususnya bab yang berbicara soal hak dan kewajiban anak, ada begitu
banyak pasal berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya
satu pasal saja (pasal 19). Cukup menarik kalau kita perhatikan bunyi pasal 19
UU Perlindungan Anak ini:
Setiap anak berkewajiban untuk :
1. menghormati
orang tua, wali, dan guru;
2. mencintai
keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3. mencintai
tanah air, bangsa, dan negara;
4. menunaikan
ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. melaksanakan
etika dan akhlak yang mulia.
Muncul pertanyaan, jika anak tidak melaksanakan
kewajibannya, adakah sanksi yang dapat diberikan kepada anak? Selama ini tidak
ada yang melihat hal ini. Orang hanya disibukkan untuk melihat hak anak,
sehingga pelanggaran terhadap hak anak yang selalu ditindak. Apakah berkaitan
dengan nominal uang yang cukup banyak sehingga menjadi daya tarik bagi polisi
dan pengacara? Namun, bagaimana dengan kewajiban anak? Apakah anak yang tidak
melakukan kewajibannya, seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga
dapat ditindak?
Seperti contoh kasus di atas. Anak SD Harmoni itu
diberitakan mengganggu temannya yang sedang latihan menari. Artinya, ia tidak
melakukan kewajiban no. 2 dalam pasal (19) UU Perlindungan Anak. Atau dalam
kasus SMK Gajah Mungkur, siswa tersebut tidak melaksanakan kewajiban no. 3 dan
5. Apakah guru punya wewenang melaporkan siswa yang tidak melaksanakan
kewajibannya ke polisi? Dan apa sanksi buat anak tersebut?
Harus diingat bahwa dalam hukum itu, hak dan
kewajiban itu mesti seimbang. Orang tidak bisa hanya menuntut haknya saja tanpa
melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, berkaitan dengan UU Perlindungan
Anak, perlu juga ditinjau soal keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi anak
itu sendiri. Jangan hanya membebani kesalahan pada guru.
by: adrian
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar