Keputusan
Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan hukuman mati dan meringankan hukuman
terhadap pemilik pabrik narkotika, Henky Gunawan, membuat wacana hukuman mati
semakin kuat. Sebelumnya wacana itu sudah muncul berkaitan dengan kasus
korupsi. Indonesia termasuk salah satu negara yang masih menerapkan hukuman
mati. Hukuman mati dalam undang-undang hanya dikenakan kepada terpidana kasus
narkoba dan kasus kejahatan kemanusiaan, seperti teroris.
Pro kontra pada
penerapan hukuman mati pun merebak. Mereka yang menentang hukuman mati
mendasarkan alasannya pada aspek hak asasi manusia (HAM), sementara mereka yang
mendukung diterapkannya hukuman mati didasarkan pada asalan efek jera. Mereka
yang mendukung melihat bahwa dengan efek jera yang ditimbulkan oleh hukuman
mati dapat mengurangi tingkat kejahatan, atau malah menghilangkannya.
Akan tetapi,
haruskah pelakunya dihukum mati? Apakah efek jera hanya dengan cara hukuman
mati?
Logika Sesat
Seorang mantan
hakim yang pernah menjatuhkan hukuman mati, dalam wawancara dengan Metro TV
pagi (11/10/12), mengungkapkan alasan sederhananya bahwa rakyat mendukung. Ia
mengambil contoh, ketika terhadap kejahatan berat dijatuhi hukuman bebas, maka
rakyat akan marah; namun ketika dijatuhi hukuman mati maka rakyat diam saja.
Diamnya rakyat dinilai sebagai bentuk persetujuan pada putusan tersebut.
Saya melihat ini
merupakan suatu kesesatan berpikir. Pertama,
contoh yang diambil terlalu hitam putih sehingga tidak memberi peluang pada
warna lain. Ia hanya memberi putusan antara bebas dan hukuman mati, tanpa
memberi kesempatan pada pilihan lain. Sehingga kalau tidak A, maka Z. Padahal
antara A dan Z masih ada banyak pilihan. Antara putusan bebas dan hukuman mati,
masih ada banyak hukuman lain, mulai dari ringan, agak ringan, agak berat,
berat, sangat berat sampai pada hukuman seumur hidup.
Kedua, sekalipun hukum itu
harus menyentuh rasa keadilan rakyat, namun suara hati tetap harus dijunjung
tinggi. Diamnya rakyat terhadap putusan hukuman mati belum tentu berarti bahwa
putusan itu sudah menjawab rasa keadilan rakyat. Harus bisa dibedakan antara
rasa adil dan rasa puas. Kebanyakan orang baru merasa puas jika keinginannya
terpenuhi. Orang masih hidup dalam jaman jahiliyah: mata ganti mata, gigi ganti
gigi. Jadi, bila ada keluarga saya mati, maka pelakunya juga harus mati. Di
situlah saya baru puas; dan kepuasan inilah yang dikatakan keadilan.
Memang hukum
harus berpihak pada rasa keadilan rakyat. Namun hakim adalah penengah. Ia tidak
memihak pada rakyat dan juga terhukum. Oleh karena itulah hakim selalu
disimbolkan dengan dewi keadilan yang matanya tertutup. Dia memutuskan perkara
dengan mendengarkan suara hatinya.
Orang sering
mengatakan bahwa hukuman mati dapat menimbulkan efek jera. Sampai saat ini
belum terbukti korelasinya. Negara China yang selalu menjadi rujukan pun tidak
dapat membuktikan korelasi antara hukuman mati dan efek jera. Malahan di
negara-negara yang tidak ada hukuman mati justru tingkat kejahatannya minim.
Ada kesesatan
dalam logika bahwa hukuman mati berdampak pada efek jera. Efek jera siapa yang
mau dibangkitkan dengan hukuman mati? Sanksi hukum yang diberikan kepada
terhukum memang harus memiliki efek jera agar terhukum tidak mengulangi lagi
kejahatan. Jadi efek jera itu tertuju kepada terhukum. Nah, jika terhukumnya
diberi hukuman mati, bagaimana bisa muncul efek jera karena yang bersangkutan
sudah mati. Dengan hukuman mati terhukum sama sekali tidak diberi kesempatan
untuk jera atau tobat. Dengan hukuman mati berarti si terhukum bukan hanya
tidak mengulangi kejahatannya, melainkan sama sekali tidak pernah lagi melakukan
kejahatan lainnya.
Kesesatan lain
lagi adalah soal lemahnya sistem hukum dan penjara kita. Lemahnya dua hal ini
menyebabkan pelaku kejahatan masih bisa menjalankan bisnisnya dari dalam
penjara. Sehingga dengan demikian dapat terlihat bahwa kejahatan masih marak,
malah bertambah. Hukum tidak menimbulkan efek jera; itulah kesimpulannya. Jelas
sekali kesimpulan ini sesat. Yang salah adalah sistem hukum dan penjaranya.
Oleh karena itu, dua hal itulah yang harus ditangani, bukan melimpahkannya
kepada pelaku kejahatan.
Tolak Hukuman Mati
Saya menolak
hukuman mati. Terhadap kejahatan apapun, saya tidak mendukung diterapkannya
hukuman mati. Orang selalu berkata bahwa dengan hukuman mati akan menimbulkan
efek jera. Karena jera, maka orang tidak akan melakukan lagi kejahatan. Efek
jera berdampak pada kurangnya tingkat kejahatan dalam masyarakat.
Jera bisa
dimengerti dengan istilah takut. Jera atau takut merupakan dimensi psikis. Oleh
karena itu, untuk membangkitkan dimensi ini, orang harus disentuh aspek
psikisnya. Sentuhan fisik juga bisa menimbulkan rasa takut atau jera. Misalnya,
ketika anak di rumah berbuat salah dan oleh orang tuanya dipukul atau dijewer
telinganya. Peristiwa ini membuat anak takut untuk melakukan kesalahan yang
sama.
Hukuman mati
berarti kita telah mengambil hidupnya. Orang tidak pernah lagi merasakan efek
jera tersebut. Oleh karena itu, saya mau mengatakan kepada para pengambil kebijakan,
untuk para pelaku kejahatan, hukumlah fisik dan psikisnya, jangan ambil
nyawanya.
Ada tiga sebab
mengapa saya tidak setuju dengan hukuman mati. Pertama, kita hendaknya
memberi kesempatan kepada pelaku kejahatan. Tentu ada yang mengatakan bahwa
sudah diberi kesempatan kedua tapi tetap saja melakukannya. Bagi saya, hal itu
terjadi karena hukumannya tidaklah terlalu berat dan pelaksanaannya pun tidak
tegas.
Di samping itu
harus disadari bahwa hidup itu adalah hak Tuhan. Inilah alasan kedua.
Kita manusia tidak berhak atas hidup manusia, sekalipun dia telah melakukan
kejahatan. Sejahat apapun tindakannya, kita tidak boleh menghilangkan hidup
seseorang. Yang dapat kita lakukan adalah mengekang hidupnya dengan
sanksi-sanksi, bukan menghilangkan hidupnya.
Karena jika
ternyata dalam perjalanan waktu terbukti bahwa terhukum tidak bersalah, kita
masih bisa merehabilitasi nama baiknya. Namun jika dihukum mati, tentulah kita
tak akan bisa mengembalikan hidupnya. Ada banyak kasus terpidana yang dihukum
mati, tapi dikemudian hari terbukti tidak bersalah.
Alasan ketiga,
hukuman mati tidak mendatangkan manfaat bagi rakyat, kecuali rasa puas. Ada
bahaya jika penegak hukum bertindak hanya untuk memuaskan keinginan rakyat. Hal
ini dapat menjerumuskan bangsa kita menjadi bangsa biadab. Karena itu, saya
lebih cenderung menerapkan sanksi hukum yang sangat berat yang menimbulkan rasa
takut dan mendatangkan manfaat bagi rakyat.
Hukuman 3 in 1: Sebuah Solusi
Tidak adanya
rasa takut dan malu dalam diri koruptor ini disebabkan karena hukum yang
dikenakan kepada mereka masih terbilang amat sangat ringan, malah menyenangkan.
Selama ini kita sering saksikan bahwa para pelaku kasus korupsi dan narkoba
mendapatkan vonis hukuman yang ringan. Selain hukumannya yang ringan, mereka
juga mendapat perlakuan-perlakuan khusus selama di penjara (misalnya kasus
Atalyta Suryani) serta hak istimewa seperti remisi (misalnya kasus Aulia Pohan)
atau keluar dari tahanan tanpa pengawalan. Malah para penjahat narkoba masih
bisa menjalani bisnisnya dari dalam penjara.
Beratnya hukuman
itu bukan hanya dilihat dari lamanya waktu atau masa tahanan. Hukuman yang
berat itu bukan cuma menyentuh fisiknya melainkan juga psikis, karena efek jera
itu berkaitan dengan masalah psikologi.
Seperti apa
hukuman berat itu?
Saya memberikan
satu jenis hukuman dengan tiga tindakan yang berbeda. Ketiga tindakan harus
menjadi satu kesatuan. Istilahnya three
in one law. Setiap pelaku tindak kejahatan yang sudah divonis bersalah oleh
hakim, wajib dikenakan tiga sanksi ini dalam satu waktu.
Tindakan pertama
adalah hukuman kurungan. Hukuman
penjara buat para koruptor harus lama: minimal 60 tahun dan maksimal 85 tahun.
Boleh saja dia mendapat remisi setiap tahun, karena remisi itu adalah hak
setiap tahanan. Hak istimewa para tahanan korupsi hanyalah remisi dan grasi.
Mereka tidak diperkenankan mendapat fasilitas mewah di penjara atau kemudahan
keluar dari tahanan. Demikian pula untuk kejahatan narkoba dan teroris atau
pembunuhan berencana. Kepada mereka harus diberi sanksi minimal 75 tahun dan
maksimal seumur hidup.
Tindakan kedua
adalah penyitaan dan ganti rugi.
Kepada para pelaku kejahatan serius (narkoba dan korupsi) harus kekenakan sanksi
denda atau ganti rugi sebesar, misalnya 500 kali lipat dari nilai nominal kejahatan
mereka. Jadi, misalnya mereka terbukti melakukan korupsi sebesar 1 miliyar,
maka mereka harus dikenakan denda 500 miliyar. Untuk kasus kejahatan narkoba
denda 500 kali lipat dari nilai nominal barang yang disita. Misalnya, seseorang
membawa 1 kg pil ekstasi dengan nilai jual 2 miliyar, maka dendanya adalah 1
triliun. Selain itu, harta milik mereka harus juga disita.
Tindakan ketiga
adalah kerja sosial. Dengan mengenakan
pakaian khusus yang mencolok (misalnya baju belang-belang) para tahanan pelaku
korupsi ini diwajibkan untuk kerja sosial dengan membersihkan got atau selokan,
membersihkan pasar atau bantaran kali. Mereka juga bisa diminta untuk kerja
sosial lainnya yang berguna bagi kepentingan bersama. Misalnya, ada banyak
tempat di negeri ini yang perlu dijalankan program penghijauan. Nah,
manfaatkanlah orang-orang ini untuk menanam pohon-pohon di lahan kering. Karena
pohon yang ditanam membutuhkan waktu untuk perhatian, maka para tahanan ini
juga yang bertugas memperhatikannya sampai pohon itu tumbuh besar.
Dengan adanya
sanksi sosial ini, para pelaku kejahatan luar biasa ini bukan saja mendapat
efek jera dan tobat, melainkan warga masyarakat mendapat manfaat dari aksi
sosial mereka. Dengan menghadirkan para koruptor dalam kerja sosial di tengah
masyarakat, sekaligus juga menyadarkan masyarakat akan efek tindakan kejahatan.
Kehadiran mereka dengan pakaian khusus akan menjadi alarm bagi warga: “kamu pun
bisa begini!” Jadi, sanksi kerja sosial ini bisa menjadi sarana pencegahan.
Penutup
Dari beberapa
tulisan seputar wacana ini saya lihat bahwa sebenarnya para pemerhati dan
pejabat pemerintah tahu bahwa sistem hukum dan penjara kita bermasalah. Nah,
kenapa tidak sistem hukum dan penjaranya saja yang dibenahi. Kenapa kesalahan
pada “pihak” lain ditimpakan pada pelaku kejahatan?
Jika ingin
membenahi, maka mungkin solusi saya soal 3
in 1 law bisa menjadi bahan pertimbangan. Solusi yang saya berikan di atas
itu berangkat dari dua pemikiran, pertama,
hukumlah fisik dan psikisnya, jangan ambil hidupnya; dan kedua, hukuman bukan hanya jera untuk pelaku kejahatan tetapi juga
orang lain selain bermanfaat bagi orang lain.
Semoga tulisan
ini menjadi bahan pertimbangan pemerintah serta siapa saja yang berkepentingan
dalam masalah ini.
by:
adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar