KEGELISAHAN KARENA “KETIADAAN”
Mungkin kita pernah mendengar berita tentang seorang pemain
sepakbola yang merasa jengah karena terus menerus dibangkucadangkan. Mungkin sebelumnya
ia sering bermain, atau selalu menjadi starting
eleven, bahkan bermain hingga 2 x 45 menit. Namun dengan pergantian
pelatih, ia jadi sering menghangatkan bangku cadangan. Padahal ia tidak lagi
cedera.
Orang yang seperti pemain sepakbola ini tentu akan merasa
dirinya tidak berharga (sekalipun ia tetap akan tersenyum jika timnya menang). Ia
sering gelisah, galau, dan bingung akan nasibnya di masa depan. Pemain yang
selalu berada di bangku cadangan, padahal sebelumnya aktif bermain, akan merasa
jati dirinya sebagai pemain hilang, karena pelatih baru menganggapnya “tidak
ada”.
Situasi seperti ini disebut oleh Martin Heidegger, Filsuf
Eksistensial, sebagai “kehadiran tidak-Ada dalam Ada”. Orang manusianya ada
tapi dianggap tidak ada. Penganggapan tidak-Ada inilah yang menimbulkan
kegelisahan, kegalauan bahkan hingga kehilangan asa. Ada kemiripan antara
ketiadaan dan ketidakpastian. Bagi W. Barett ketidakpastian itu merupakan
kengerian ketiadaan (A. Supratiknya (ed), Psikologi
Kepribadian 2. Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm 195).
Oleh karena itu, dapat dimaklumi kegelisahan seorang pemain,
yang sebelumnya biasa bermain namun akhirnya lebih sering di bangku cadangan. Ia
merasa tidak ada, walau sebenarnya ia ada. Inilah manusia eksistensial.
Mirip kisah di atas, seorang teman bercerita tentang rekannya
yang “di-mabes-kan” karena alasan kesehatan. Sebelumnya mereka aktif di paroki.
Penyakit memaksanya untuk beristirahat. Selama masa istirahat ia hanya bisa
makan dan tidur. Dia tidak boleh melakukan aktifitas yang banyak. Karena itu,
geraknya hanya seputaran mabes saja.
Pengalaman berada di mabes inilah membuatnya merasa tidak
berharga. Dia mengalami, seperti kata Heidegger, kehadiran tidak-Ada dalam Ada.
Keberadaan di mabes bukannya membuatnya merasa nyaman sehingga proses
penyembuhan dapat berjalan dengan baik, tetapi justru menambah beban mentalnya.
Dia gelisah, galau dan agak stress.
Apakah kasus rekan seorang teman di atas sama seperti kasus
pemain sepakbola? Bisakah dikatakan bahwa pengalaman rekan yang sakit merupakan
pengalaman eksistensial?
Pengalaman pemain sepakbola di atas bisa dikatakan sebagai
pengalaman eksistensial. Eksistensinya adalah pemain bola. Eksistensi sudah
ditunjukkan sebelumnya, yaitu dengan bermain. Kedatangan pelatih baru membuat
eksistensinya menjadi hilang. Eksistensinya tidak lagi berada di lapangan hijau
dalam kurun waktu 2 x 45 menit, melainkan di bangku cadangan. Karena itu, wajar
jika ia mengalami kegalauan dan stres, atau menggunakan istilah Berett, “kengerian
eksistensial” karena Ada-nya dibuat tidak-Ada.
Pengalaman ini tidak bisa disamakan begitu saja dengan
pengalaman rekan yang di-mabes-kan di atas, sekalipun ia juga merasakan
kegalauan, kegelisahan dan stres. Perlu disadari bahwa eksistensi rekan ini
adalah imam, raja dan nabi. Memang ketika di paroki ketiga eksistensi itu bisa
berjalan. Ia bisa menguduskan, memimpin dan memerintah, serta mewartakan. Keberadaan
di mabes tidak serta merta mematikan eksistensinya. Ia masih bisa menguduskan
dengan perayaan ekaristi privat atau berdoa. Ia juga dapat menjalankan fungsi
kenabian dengan pewartaan mengunakan media internet.
Lalu, kenapa perasaan gelisah, galau dan stres itu hinggap
melanda? Hal ini disebabkan karena ia hanya melihat eksistensinya sebagai raja
saja. Jika di paroki ia dapat memerintah-rintah, di mabes ia tidak menemukan
orang yang dapat diperintah. Jika di paroki ia dapat memposisikan diri sebagai
pemimpin, di mabes ia merasa tak berdaya. Ia hanya fokus pada satu hakikat
eksistensialnya saja, padahal hakikat tahbisannya adalah sebagai imam, nabi dan
raja.
Oleh karena ini, kegelisahan yang dirasakan rekan ini
bukanlah merupakan pengalaman eksistensial; tidak seperti pemain sepakbola itu.
Ia Ada dalam Ada. Justru ia sendiri tidak menghadirkan Ada-nya dalam Ada. Ia hanya
memposisikan Ada-nya pada satu dimensi, padahal dimensi eksistensialnya ada
multi. Kesalahan persepsi ini membuat ia merasakan kengerian eksistensial.
Pangkalpinang, 17 November 2014
by: adrian
Baca juga:
menarik
BalasHapusAnalisa menarik
BalasHapus