Senin, 01 Desember 2014

(Inspirasi Hidup) Manusia Eksistensial, Eksis Tapi Sial

KEGELISAHAN KARENA “KETIADAAN”
Mungkin kita pernah mendengar berita tentang seorang pemain sepakbola yang merasa jengah karena terus menerus dibangkucadangkan. Mungkin sebelumnya ia sering bermain, atau selalu menjadi starting eleven, bahkan bermain hingga 2 x 45 menit. Namun dengan pergantian pelatih, ia jadi sering menghangatkan bangku cadangan. Padahal ia tidak lagi cedera.

Orang yang seperti pemain sepakbola ini tentu akan merasa dirinya tidak berharga (sekalipun ia tetap akan tersenyum jika timnya menang). Ia sering gelisah, galau, dan bingung akan nasibnya di masa depan. Pemain yang selalu berada di bangku cadangan, padahal sebelumnya aktif bermain, akan merasa jati dirinya sebagai pemain hilang, karena pelatih baru menganggapnya “tidak ada”.

Situasi seperti ini disebut oleh Martin Heidegger, Filsuf Eksistensial, sebagai “kehadiran tidak-Ada dalam Ada”. Orang manusianya ada tapi dianggap tidak ada. Penganggapan tidak-Ada inilah yang menimbulkan kegelisahan, kegalauan bahkan hingga kehilangan asa. Ada kemiripan antara ketiadaan dan ketidakpastian. Bagi W. Barett ketidakpastian itu merupakan kengerian ketiadaan (A. Supratiknya (ed), Psikologi Kepribadian 2. Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm 195).

Oleh karena itu, dapat dimaklumi kegelisahan seorang pemain, yang sebelumnya biasa bermain namun akhirnya lebih sering di bangku cadangan. Ia merasa tidak ada, walau sebenarnya ia ada. Inilah manusia eksistensial.

Mirip kisah di atas, seorang teman bercerita tentang rekannya yang “di-mabes-kan” karena alasan kesehatan. Sebelumnya mereka aktif di paroki. Penyakit memaksanya untuk beristirahat. Selama masa istirahat ia hanya bisa makan dan tidur. Dia tidak boleh melakukan aktifitas yang banyak. Karena itu, geraknya hanya seputaran mabes saja.

Pengalaman berada di mabes inilah membuatnya merasa tidak berharga. Dia mengalami, seperti kata Heidegger, kehadiran tidak-Ada dalam Ada. Keberadaan di mabes bukannya membuatnya merasa nyaman sehingga proses penyembuhan dapat berjalan dengan baik, tetapi justru menambah beban mentalnya. Dia gelisah, galau dan agak stress.

Apakah kasus rekan seorang teman di atas sama seperti kasus pemain sepakbola? Bisakah dikatakan bahwa pengalaman rekan yang sakit merupakan pengalaman eksistensial?

Pengalaman pemain sepakbola di atas bisa dikatakan sebagai pengalaman eksistensial. Eksistensinya adalah pemain bola. Eksistensi sudah ditunjukkan sebelumnya, yaitu dengan bermain. Kedatangan pelatih baru membuat eksistensinya menjadi hilang. Eksistensinya tidak lagi berada di lapangan hijau dalam kurun waktu 2 x 45 menit, melainkan di bangku cadangan. Karena itu, wajar jika ia mengalami kegalauan dan stres, atau menggunakan istilah Berett, “kengerian eksistensial” karena Ada-nya dibuat tidak-Ada.

Pengalaman ini tidak bisa disamakan begitu saja dengan pengalaman rekan yang di-mabes-kan di atas, sekalipun ia juga merasakan kegalauan, kegelisahan dan stres. Perlu disadari bahwa eksistensi rekan ini adalah imam, raja dan nabi. Memang ketika di paroki ketiga eksistensi itu bisa berjalan. Ia bisa menguduskan, memimpin dan memerintah, serta mewartakan. Keberadaan di mabes tidak serta merta mematikan eksistensinya. Ia masih bisa menguduskan dengan perayaan ekaristi privat atau berdoa. Ia juga dapat menjalankan fungsi kenabian dengan pewartaan mengunakan media internet.

Lalu, kenapa perasaan gelisah, galau dan stres itu hinggap melanda? Hal ini disebabkan karena ia hanya melihat eksistensinya sebagai raja saja. Jika di paroki ia dapat memerintah-rintah, di mabes ia tidak menemukan orang yang dapat diperintah. Jika di paroki ia dapat memposisikan diri sebagai pemimpin, di mabes ia merasa tak berdaya. Ia hanya fokus pada satu hakikat eksistensialnya saja, padahal hakikat tahbisannya adalah sebagai imam, nabi dan raja.

Oleh karena ini, kegelisahan yang dirasakan rekan ini bukanlah merupakan pengalaman eksistensial; tidak seperti pemain sepakbola itu. Ia Ada dalam Ada. Justru ia sendiri tidak menghadirkan Ada-nya dalam Ada. Ia hanya memposisikan Ada-nya pada satu dimensi, padahal dimensi eksistensialnya ada multi. Kesalahan persepsi ini membuat ia merasakan kengerian eksistensial.
Pangkalpinang, 17 November 2014
by: adrian
Baca juga:

2 komentar: