TIGA TAHUN SINODE II
KEUSKUPAN: SUDAHKAH KITA BERUBAH?
Kata ‘sinode’ berasal dari bahasa
Yunani, dari kata sun (=bersama-sama)
dan kata hodos (=jalan), yang berarti
jalan bersama-sama. Sinode
juga bisa dimengerti sebagai pertemuan atau sidang yang menekankan aspek
kebersamaan. Kata sinode memiliki sinonim dengan kata Latin concilium (konsili). Istilah sinode dan
konsili ini lebih populer di dalam Gereja Katolik. Pada mulanya kata sinode
dipakai untuk pertemuan yang dihadiri para uskup. Namun kemudian berkembang
luas, sehingga muncul sinode keuskupan.
Dalam kan. 460 dikatakan bahwa sinode keuskupan adalah kumpulan imam-imam
dan umat beriman kristiani yang terpilih dari Gereja Partikulir (diosesan)
untuk membantu uskup diosesan demi
kesejahteraan seluruh umat diosesan. Dengan dasar inilah (kesejahteraan
umat), Keuskupan Pangkalpinang menyelenggarakan sinode yang kedua 2 – 8 Agustus
2011 di Hotel Seratta Terrace, Pantai Pasir Padi, Pangkalpinang.
Kesejahteraan, yang menjadi
tujuan dasar sinode, bukan hanya sebatas kesejahteraan ekonomi melainkan juga
menyentuh aspek lainnya. Untuk menjawab tantangan itu, Keuskupan Pangkalpinang
menentukan visi sinodenya: Menjadi Gereja Partisipatif. Semua anggota Gereja
Keuskupan Pangkalpinang, baik klerus, Lembaga Hidup Bakti maupun awamnya,
diajak untuk berpartisipasi aktif mewujudkan tujuan dasar sinode. Untuk bisa
mencapai itu, satu kata kuncinya adalah pertobatan.
Karena itulah, selesai sinode
yang kedua, saya menulis sebuah artikel di Tabloit Berkat dengan judul “Sinode
II Keuskupan Pangkalpinang: Mari Bercermin untuk Berbenah”. (lihat naskahnya, klik disini) Aktivitas
bercermin selalu menuntut adanya pertobatan, jika menemukan ada sesuatu yang
tidak beres pada diri. Pertobatan menghasilkan perubahan yang lebih baik. Karena
itulah, pertanyaan dasar kita sekarang, yang sudah tiga tahun berjalan, adalah
sudahkan kita berubah?
Pertanyaan ini bukanlah untuk
satu dua orang saja, melainkan untuk semua umat Keuskupan Pangkalpinang, dari
uskupnya, imamnya hingga awamnya. Waktu itu (tulisan awal), saya mengajak kita
bercermin dengan menggunakan tiga cermin yang ditawarkan dalam sinode kedua
itu. Sekarang saya mengajak kita untuk kembali melihat, apakah kita sudah
berbenah.
Tiga Cermin Sinode II
Pada sinode kedua, di hari
kedua, para peserta
ditawarkan tiga tema pertemuan, yaitu Politik, Ekologi dan Hubungan Antar Agama. Tiga
tema itu saya jadikan cermin bagi kita untuk berefleksi, karena lewat ketiga tema itu kita bisa melihat wajah keuskupan kita.
Dalam tulisan tiga tahun lalu,
saya sangat menyayangkan bahwa tiga tema itu hanya sebatas resume. Kita tidak menjadikannya sebagai cermin. Dia cuma menjadi realitas di luar
kita. Hal ini membuat
Gereja seakan-akan hanya bisa mengadili realitas di luar dirinya. Padahal sebenarnya sinode bisa menjadi ajang bersih-bersih diri
dengan refleksi diri. Refleksi berarti otokritik.
Dengan hanya menjadi resume dan tidak menjadikannya sebagai cermin untuk refleksi, kita ibarat kaum munafik yang dikecam Yesus dalam kotbah-Nya di bukit (Mat 7: 3 - 5). Kita dapat melihat selumbar di mata orang lain, sementara balok di mata kita sendiri tidak diketahui. Padahal, balok itu jauh lebih besar daripada selumbar. Sungguh ironis; dan itulah yang terjadi.
Dengan hanya menjadi resume dan tidak menjadikannya sebagai cermin untuk refleksi, kita ibarat kaum munafik yang dikecam Yesus dalam kotbah-Nya di bukit (Mat 7: 3 - 5). Kita dapat melihat selumbar di mata orang lain, sementara balok di mata kita sendiri tidak diketahui. Padahal, balok itu jauh lebih besar daripada selumbar. Sungguh ironis; dan itulah yang terjadi.
a) Cermin I: Tema Politik
Dalam cermin politik, saya melihat wajah keuskupan yang tak jauh berbeda dengan
wajah politik bangsa. Di sana
saya melihat:
1)
Pengaruh uang sangat dominan dalam kehidupan kita, baik
sebagai imam maupun sebagai awam. Ada ambisi-ambisi jabatan kekuasaan, yang semuanya demi uang,
sampai-sampai nilai-nilai moral dan kejujuran dilangkahi.
2)
Pemimpin tidak bertindak tegas.
3)
Ada kesan politik saling sandera.
4)
Ada mental melodramatik di kalangan umat dalam menyikapi
persoalan di level hirarki.
5)
Sikap umat: ada yang apatis, kritis atau pragmatis.
6)
Ada asas: asal uskup senang (padanan
politik: Asal Bapak Senang)
b) Cermin II: Tema Ekologi
Dalam cermin ekologi, saya melihat wajah keuskupan yang
tak jauh berbeda dengan wajah ekologi bangsa. Di sana saya melihat:
1)
Ada keserakahan sehingga sebagian besar aset kekayaan keuskupan
dikuasai.
2)
Ada keserakahan yang berdampak pada eksploitasi.
3)
Ada egoisme dalam semangat memanfaatkan aset kekayaan keuskupan atau
paroki untuk kepentingan pribadi dan keluarga.
c) Tema III: Tema Hubungan Antar Agama
Dalam cermin hubungan antar agama, saya melihat wajah keuskupan yang
tak jauh berbeda dengan wajah hubungan antar agama di negeri ini. Di sana saya
melihat:
1)
Ada sifat fanatisme.
2)
Sifat merasa diri benar ada pada diri imam dan/atau umat
sehingga terjadinya pemaksaan kehendak. Imam memaksakan kehendaknya karena merasa dirinya
benar dan pintar sementara umat salah dan bodoh.
3)
Ada rasa benci dan sikap menolak orang dari kelompok lain.
4)
Ada umat dan/atau imam yang melakukan kekerasan terhadap orang
lain dengan menggunakan dasar agama.
5)
Ada politik pembiaran di Gereja kita saat terjadi tindak
kekerasan.
6)
Cara beragama kita masih bersifat ritual dan hanya mengejar
kesalehan pribadi, belum memiliki dampak sosial yang membangun peradaban.
7)
Imam dan/atau umat (keluarga) belum menanamkan benih-benih cinta kasih,
saling menghormati dan menghargai dalam diri anak-anak kita.
Ternyata Kita Belum Berubah
Sinode menuntut adanya pertobatan
dan perubahan. Tentulah perubahan itu selalu terarah kepada yang baik dan
benar. Tuntutan akan pertobatan atau perubahan ini sudah dicanangkan buku
sinode kedua (bab V), yang kembali ditegaskan oleh Bapak Uskup Pangkapinang
dalam kesempatan promulgasi buku
sinode kedua itu. Dengan tegas Bapak uskup mengajak umat Allah Keuskupan
Pangkalpinang untuk berubah agar nilai-nilai sinode dapat berjalan.
Membandingkan dengan proses pembusukan ikan yang diawali dari kepala, Bapak
Uskup meminta supaya perubahan itu diawali dari kepala (redaksi awal pesan
uskup). Tentulah yang dimaksud di sini adalah pimpinan hirarki, mulai dari
uskup, para imam, khususnya Kepala Paroki dan instansi lainnya.
Dalam kaca mata kami, gerak
sinode harusnya berawal dari pertobatan yang diikuti perubahan. Pertobatan
merupakan fundasinya. Tanpa pertobatan dan perubahan, sinode itu ibarat rumah
yang didirikan di atas pasir. Ketika angin dan hujan lebat serta badai melanda,
robohlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya. Sia-sialah pekerjaan itu. Jadi,
jangan melaksanakan hasil
sinode tanpa adanya pertobatan dan perubahan.
Bagaimana dengan sinode kedua
Keuskupan Pangkalpinang? Ada kesan bahwa kita mengabaikan fundasi tadi. Kita
langsung disibukkan dengan bangunan dan ornamennya. Tidak ada pertobatan dan
perubahan atau pembenahan diri, baik itu di kalangan hirarki maupun umat.
Refleksi atas tiga cermin di atas menunjukkan adanya ketidakberubahan itu.
Mentalitas kita masih mentalitas lama yang penuh dengan keegoisan dan
ketidakpedulian. Bagaimana kita bisa membangun partisipasi?
Jadi, ternyata kita belum
berubah. Bentuk lain dari ketidakberubahan itu dapat dilihat dari realitas yang
sudah direkam dalam sinode kedua. Survei membuktikan bahwa di kalangan para
imam ada kelemahan dalam membangun komunitas. Yang menjadi titik lemahnya
adalah kurangnya komunikasi, tidak ada kepercayaan kepada rekan imam dan
semangat single fighter dalam diri
imam (lih. MGP no 76.).
Karena itu, dalam pertemuan imam
Mei 2013, ada satu pernyataan keprihatinan, yaitu para imam belum berkomunitas.
Ini benar-benar sebuah ironisme. Bagaimana mungkin imam, yang merupakan ujung
tombak pesan sinode, selalu berteriak agar umat ber-KBG, sementara dirinya
tidak menampakkan komunitas itu. Dengan kata lain, dirinya tidak bisa
berkomunitas.
Akhir Kata
Tulisan ini tidak memiliki maksud lain selain mau mengajak
kita untuk bercermin, melihat kelemahan-kelemahan kita. Dan dari aksi bercermin
ini akan muncullah perubahan. Akan tetapi perubahan mengandaikan adanya KEMAUAN
dari SEMUA umat Keuskupan Pangkalpinang, baik dari kalangan hirarki (uskup dan
para imam), kelompok hidup bakti serta kaum awam. Kalau hanya kaum awam atau
kelompok hidup bakti saja yang bercermin dan mau melakukan perubahan, maka
tidak akan ada perubahan yang sesungguhnya. Jadi, perubahan akan terjadi bila
ada aksi bersama. Untuk itulah sangat bagus tema ini dijadikan cermin saat
sinode.
Perubahan adalah langkah akhir; atau buah dari refleksi.
Langkah awal yang musti dilakukan adalah pertobatan dan rekonsiliasi.
Pertobatan adalah aksi individu. Masing-masing kita melihat diri kita, apakah
masih ada kekurangan dalam diri saya. Setelah menemukan kekurangan itu, kita
masing-masing segera berbenah diri. Pertobatan ini bukan hanya terjadi pada
diri umat, melainkan juga, dan malahan yang utama, para imamnya. Sedangkan
rekonsiliasi merupakan aksi kolektif. Kita harus menumbuhkan rekonsiliasi
dimulai dari kelompok kaum religius, kelompok kaum lembaga hidup bakti,
kelompok kaum awam dan antar kelompok.
Memang saat ini ada kesan bahwa
kita belum berubah. Namun bulan lantas berarti sinode kita gagal. Kita gagal
kalau kita memang tidak mau berubah. Masih ada harapan. Kita dapat mewujudkan
amanat sinode hingga menghasilkan buah jika kita mulai berbenah diri. Kita
awali dengan pertobatan.
Jakarta, 29 Mei 2014
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar