Harimau yang
Berubah
Seekor anak harimau
ditinggal mati induknya. Dia berjalan dalam kedukaan tanpa arah dan tiba di
sebuah peternakan seorang petani. Di peternakan itu ada induk kambing. Melihat
nasib anak harimau itu, timbullah naluri keibuan induk kambing itu. Maka, induk
kambing itu mengadopsi anak harimau itu dan membesarkannya bersama anaknya yang
lain.
Karena dibesarkan dan hidup
dalam lingkungan kambing, anak harimau itu menyadari dirinya sebagai seekor
kambing. Maka dia berjalan dan mengembik seperti kambing. Dia juga makan
daun-daunan seperti kambing. Waktu demi waktu berlalu. Sang anak harimau itu
pun tumbuh menjadi besar. Dan dia tetap menyadari kalau dirinya adalah kambing.
Sekalipun saudara-saudaranya mengatakan bahwa dirinya adalah harimau, karena wajahnya
lain dari mereka, dia tetap setia pada pendapatnya.
Pada suatu hari dia bersama
saudara-saudaranya berjalan di padang yang luas. Mereka tidak menyadari bahaya
yang mengancam. Tiba-tiba datang beberapa ekor harimau menyergap. Anak harimau
yang telah menjadi besar berlari menyelamatkan diri bersama saudara-saudaranya.
Seekor harimau besar merasa aneh ketika melihat hal itu. Bersama temannya, dia
berusaha mengejar anak harimau yang telah besar.
Harimau besar itu berhasil
menangkapnya. Dalam ketakutannya, anak harimau yang telah besar itu memohon
belas kasihan.
Harimau besar, “Kami tidak
akan memakanmu. Kami cuma mau bertanya kenapa kamu lari ketakutan sama seperti
kambing-kambing itu?”
Anak harimau, “Aku kambing.”
Harimau besar, “Kamu
harimau! Kamu sama seperti kami.”
Anak harimau, “Bukan! Aku
kambing.”
Harimau besar itu, bersama
temannya, mengajak anak harimau yang telah besar itu ke tepi danau. Air danau
itu tenang dan sangat bening. Harimau besar itu menyuruh anak harimau yang
telah besar itu untuk melihat wajahnya di permukaan danau.
Ketika anak harimau yang
telah besar itu melihat dirinya di permukaan air danau yang bening dan tenang,
dia langsung menyadari siapa dirinya. Spontan dia pun mengaum. Dan dia menjadi
harimau.
Tiga Cermin
Tgl 2-8 Agustus Gereja
Keuskupan Pangkalpinang menyelenggarakan sinodenya yang kedua. Dalam sinode ini
peserta sinode mencoba untuk menemukan apa yang akan dilakukan bersama ke depan
dalam kurun waktu satu dekade. Sinode mau mengajak kita untuk bergerak bersama
dalam satu kata dan satu tindakan dengan tetap menghargai kekhasan paroki
masing-masing.
Sinode sebenarnya bisa
dijadikan ajang untuk berefleksi, melihat diri sendiri untuk memperbaiki diri.
Berefleksi merupakan suatu tindakan seperti bercermin/berkaca untuk melihat
diri sendiri, yang dengannya orang bisa membenahi dirinya (yang baik
dipertahankan, yang kurang diperbaiki). Ibarat orang bercermin, orang akan
melihat dirinya sendiri lalu membenahi dirinya. Pembenahan berdampak pada
kesempurnaan. Untuk itu dibutuhkan kejujuran dan sikap rendah hati agar jangan
sampai buruk rupa cermin dibelah.
Dalam sinode ini, peserta
sinode banyak ditawarkan cermin. Dalam kesempatan ini saya mengambil tiga
cermin yang menjadi tema pertemuan di hari kedua. Tiga cermin ini adalah
Politik, Ekologi dan Hubungan Antar Agama. Saya mengambil 3 tema ini menjadi
cermin untuk kita berefleksi karena waktu sinode kemarin ketiga tema tersebut
tidak dijadikan cermin agar kita bisa melihat wajah Gereja Keuskupan
Pangkalpinang. Tiga tema itu hanya sebatas resume. Dia cuma menjadi realitas di luar
kita. Ada kesan bahwa menampilkan 3 tema itu sebagai resume membuat Gereja
seakan-akan hanya bias mengadili realitas di luar dirinya. Padahal realitas itu
tak jauh berbeda dengan realitas di dalam Gereja Keuskupan Pangkalpinang
sendiri. Untuk itulah sebenarnya sinode ini seharusnya menjadi ajang
bersih-bersih diri dengan refleksi diri. Kita perlu merefleksikan 3 tema itu
untuk konteks keuskupan. Dalam hal ini refleksi berarti otokritik.
Cermin I: Tema
Politik
Dalam dunia politik,
khususnya gambaran perpolitikan di Indonesia, terungkap beberapa realitas. Pertama, uang menjadi dominan. Adanya transaksi
kekuasaan dan jabatan, semua karena uang. Hal ini telah menghilangkan
nilai-nilai kejujuran dan moralitas. Dan ini terjadi di tingkat elite. Kedua, pimpinan yang tidak tegas.
Ketidaktegasan ini mengakibatkan banyaknya kebijaksanaan yang tidak berjalan
dan memperparah situasi. Ketiga, ketidaktegasan pemimpin ini
mungkin disebabkan oleh adanya politik saling sandera. Yang satu memegang kartu truf yang lain, demikian pula sebaliknya. Keempat, mental melodramatik. Mental ini
terlihat dari sikap mudah lupa, cepat iba dan gampang sekali bosan.
Kelima, menghadapi
realitas politik di atas, muncullah berbagai sikap dalam masyarakat. Ada
masyarakat yang mengambil sikap apatis, tidak mau peduli dengan masalah yang
terjadi: yang penting urusan pribadi saya aman-aman saja. Ada juga masyarakat
yang bersikap pragmatis: selagi menguntungkan saya akan terlibat. Dan ada pula
masyarakat yang memiliki sikap kritis demi tegaknya nilai-nilai keadilan,
kebenaran dan kesejahteraan bersama.
Nah, uraian di atas
merupakan gambaran realitas perpolitikan di negara kita. Realitas ini
dipaparkan dalam sinode, sudah seharusnya gambaran ini menjadi cermin bagi kita
untuk melihat wajah keuskupan. Dengan berani melihat wajah kita melalui cermin
politik, kita tidak hanya bisa mengkritik/mengecam elite politik negara ini dan
menuntut adanya perubahan, melainkan juga kita bisa mengkritik diri kita
sendiri dan menuntut terjadinya perubahan di keuskupan kita. Dan kalau ini
benar-benar dijadikan cermin, marilah kita sama-sama melihat:
1) Apakah
pengaruh uang sangat dominan dalam kehidupan kita, baik sebagai imam maupun
sebagai awam? Apakah ambisi-ambisi jabatan kekuasaan, yang semuanya demi uang,
sampai-sampai nilai-nilai moral dan kejujuran dilangkahi, ada dalam realitas
kita?
2) Apakah
pemimpin kita sudah bertindak tegas?
3) Kalau
di negara ada politik saling sandera, apakah di keuskupan ada politik saling
sandera antara hirarki gereja?
4) Apakah
ada mental melodramatik di kalangan umat dalam menyikapi persoalan di level
hirarki?
5) Bagaimana
sikap umat dan kaum pinggiran? Apakah ada yang apatis, kritis atau pragmatis?
Inilah pertanyaan panduan
untuk dapat melihat wajah keuskupan. Kita masih bisa menambah lagi dengan
pertanyaan lain, misalnya soal kebohongan publik. Seperti dalam dunia politik
kita saat ini dimana rakyat dibingungkan dengan kebohongan-kebohongan para
elite. Kita bisa bertanya bagaimana dengan kita? Bukankah umat sempat
dibingungkan dengan pernyataan para imam soal adanya imam yang bergaji? Ada
yang berkata bahwa ada imam yang menerima gaji di atas uang saku dan tidak
menyerahkan ke keuskupan, tapi ada imam yang mengelak dengan mengeluarkan
argumen hukum (aturan). Umat bingung siapa yang benar dan siapa yang berbohong?
Dari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan di atas, kita akhirnya bisa mengetahui wajah keuskupan
kita. Jawaban membutuhkan sikap jujur dan rendah hati. Dan kalau kita sudah
melihat wajah kita, kita terpanggil untuk menentukan apa yang harus dibuat.
Ibarat kalau kita bercermin. Jika ternyata rambut belum tertata atau masih ada
sisa bedak yang belum rata atau kancing baju yang kurang pas, maka kita segera
menata rambut atau merapikan bedak atau mengatur kancingnya.
BERANIKAH KITA???
Tema II: Tema
Ekologi
Dalam uraian tema ekologi
ini terungkap beberapa realitas negatif yang terjadi di Indonesia atau secara
khusus di provinsi Bangka-Belitung dan Kepulauan Riau, yang termasuk wilayah
Keuskupan Pangkalpinang. Realitas itu adalah pertama, keserakahan segelintir orang yang
menguasai sebagian besar lahan yang ada, yang mana lahan itu merupakan salah
satu aset kekayaan negara yang semestinya digunakan untuk kesejahteraan seluruh
rakyat. Keserakahan ini berdampak pada kerusakan alam. Kedua, egoisme orang yang hanya memperhatikan
kepentingan sesaat untuk diri sendiri (keluarga/kelompok) tanpa memperhitungkan
anak cucu manusia.
Sikap serakah membuat orang
mengeksploitasi alam dan lingkungan secara tak bertanggung jawab. Segala cara
dilakukan, entah legal atau tidak legal, demi pemenuhan nafsunya. Demikian pula
sikap egois. Sikap ini menyebabkan orang mencari keuntungan pribadi tanpa
peduli akan nasib sesama baik di masa kini maupun di masa depan.
Di sini kita bisa bercermin
untuk melihat diri kita, umat Allah Keuskupan Pangkalpinang. Dengan menjawab
pertanyaan berikut ini, kita bisa melihat wajah itu:
1) Apakah
keserakahan ada pada diri imam dan/atau umat sehingga sebagian besar aset
kekayaan keuskupan dikuasainya?
2) Apakah
keserakahan yang berdampak pada eksploitasi lingkungan ada dalam diri imam
dan/atau umat?
3) Apakah
egoisme dalam semangat memanfaatkan aset kekayaan keuskupan, sama seperti
egoisme memanfaatkan kekayaan alam di negara ini, untuk kepentingan pribadi dan
keluarga ada pada diri imam dan/atau umat?
Dari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan di atas (yang bisa ditambah lagi), kita akhirnya bisa
mengetahui wajah keuskupan kita. Jawaban membutuhkan sikap jujur dan rendah
hati. Dan kalau kita sudah melihat wajah kita, kita terpanggil untuk menentukan
apa yang harus dibuat.
BERANIKAH KITA???
Tema III: Tema
Hubungan Antar Agama
Dalam penjelasan tentang
tema hubungan antar agama, terlihat adanya beberapa realitas negatif yang
terjadi di Indonesia. Realitas itu adalah pertama, adanya fanatisme agama yang
berdampak mulai dari kebencian dan penolakan kelompok lain sampai kepada
kekerasan yang mengatas-namakan agama. Kedua, adanya pemaksaan kehendak kepada
orang lain. Pemaksaan ini bukan saja terarah kepada orang yang berbeda agama
melainkan juga yang seagama dengan dirinya. Di sini seakan ada kesan bahwa
sayalah yang benar sedangkan yang lain salah. Tiga, adanya politik pembiaran. Ini bisa
terjadi karena tidak adanya ketegasan dari elite politik (pimpinan negara) dan
juga elite agama sehingga agama sering dipolitisasi. Keempat, cara beragama hanya berhenti di
tempat ibadah, bersifat ritual dan tidak memiliki dampak sosial yang membangun
peradaban. Kelima, rusaknya pendidikan agama, bukan
saja di tingkat formal (sekolah) tetapi juga pada tingkat informal (keluarga).
Dari sini kita diajak untuk
bercermin sehingga bisa mengenal wajah keuskupan Pangkalpinang. Untuk itu mari
kita lihat wajah keuskupan kita dengan berkaca pada tema hubungan antara agama:
1) Apakah
sifat fanatisme akan iman dan/atau Gereja Katolik ada pada diri umat dan/atau
umat?
2) Apakah
sifat merasa diri benar ada pada diri imam dan/atau umat sehingga terjadinya
pemaksaan kehendak? Imam memaksakan kehendaknya karena merasa dirinya benar dan
pintar sementara umat salah dan bodoh.
3) Apakah
ada rasa benci dan sikap menolak orang dari kelompok lain dalam diri imam
dan/atau umat?
4) Apakah
ada umat dan/atau imam yang melakukan kekerasan terhadap orang lain dengan
menggunakan dasar agama?
5) Apakah
ada politik pembiaran di Gereja kita saat terjadi tindak kekerasan?
6) Bagaimana
cara beragama kita? Apakah masih bersifat ritual dan hanya mengejar kesalehan
pribadi atau sudah memiliki dampak sosial yang membangun peradaban?
7) Apakah
imam dan/atau umat (keluarga) sudah menanamkan benih-benih cinta kasih, saling
menghormati dan menghargai dalam diri anak-anak kita?
Dari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan di atas (yang bisa ditambah lagi), kita akhirnya bisa
mengetahui wajah keuskupan kita. Jawaban membutuhkan sikap jujur dan rendah
hati. Dan kalau kita sudah melihat wajah kita, kita terpanggil untuk menentukan
apa yang harus dibuat.
BERANIKAH KITA???
Akhir Kata
Seorang ibu peserta sinode
mengungkapkan kerisihannya pada kemewahan para imamnya. Kemewahan yang
dimaksudkannya adalah kalung emas dan kamera. Spontan saya teringat akan
realitas politik negeri ini: Senayan menjadi showroom mobil. Jadi, kalau di
senayan dijadikan ajang pamer kekayaan elite politik, sinode kemarin pun tak
kurang menjadi ajang pameran kekayaan para imam.
Tulisan ini tidak memiliki
maksud lain selain mau mengajak kita untuk bercermin, melihat
kelemahan-kelemahan kita. Dan dari aksi bercermin ini akan muncullah perubahan.
Akan tetapi perubahan mengandaikan adanya KEMAUAN dari SEMUA umat Keuskupan
Pangkalpinang, baik dari kalangan hirarki (uskup dan para imam), kelompok hidup
bakti serta kaum awam. Kalau hanya kaum awam atau kelompok hidup bakti saja
yang bercermin dan mau melakukan perubahan, maka tidak akan ada perubahan yang
sesungguhnya. Jadi, perubahan akan terjadi bila ada aksi bersama. Untuk itulah
sangat bagus tema ini dijadikan cermin saat sinode. Bukankah sinode itu berarti
berjalan bersama?
Perubahan adalah langkah
akhir; atau buah dari refleksi. Langkah awal yang musti dilakukan adalah
pertobatan dan rekonsiliasi. Pertobatan adalah aksi individu. Masing-masing
kita melihat diri kita, apakah masih ada kekurangan dalam diri saya berkaitan
dengan 3 cermin di atas. Setelah menemukan kekurangan itu, kita masing-masing
segera berbenah diri. Pertobatan ini bukan hanya terjadi pada diri umat,
melainkan juga, dan malahan yang utama, para imamnya. Sedangkan rekonsiliasi
merupakan aksi kolektif. Kita harus menumbuhkan rekonsiliasi dimulai dari
kelompok kaum religius, kelompok kaum lembaga hidup bakti, kelompok kaum awam
dan antar kelompok.
Serrata Terrace Hotel, 8 Agustus 2011
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar