Selasa, 27 Mei 2014

(Inspirasi Hidup) Rasa Hormat Terprogram

RASA HORMAT TERPROGRAM
Ini bukan kisah nyata, melainkan hanyalah sebuah cerita rekayasa. Akan tetapi, cerita ini jamak ditemui dalam kehidupan nyata. Karena itu, jika ada kesamaan ide ataupun cerita dalam kehidupan nyata, itu hanyalah kebetulan semata. Begini kisahnya.

Suatu hari ada seorang pastor dari luar keuskupan datang ke sebuah paroki. Dia hendak berlibur ke rumah saudaranya. Sesuai kode etik, dia harus memberitahu keberadaannya kepada pastor paroki setempat.

Pagi hari dia datang ke pastoran. Tujuannya, menghadap pastor paroki dan melaporkan bahwa dia berada dalam teritorial paroki tersebut. Di ruang sekretariat ia disambut biasa-biasa saja oleh petugas sekretaris.

Pastor             : Selamat pagi!

Sekretaris       : Selamat pagi! Ada yang bisa kami bantu?

Sekretaris itu bertanya sambil mata tetap di layar komputer, sementara jemarinya menari-nari di antara tuts-tuts keyboard. Terlihat kalau sekretaris itu sedang sibuk.

Pastor             : Saya mau ketemu pastor paroki. Pastor parokinya ada?

Sekretaris       : Sudah buat janji? (mata masih menatap layar komputer)

Pastor             : Belum. Saya tak punya nomornya.

Sekrataris       : (sambil menulis di secarik kertas, lalu menyerahkan kepada tamunya) Ini nomor-nomor HP pastor paroki. Pilih saja salah satu. Bapak hubungi saja dulu, besok baru datang. Kebetulan hari ini acara padat (hanya sekedar alasan).

Pastor             : Terima kasih. (pastor tamu itu pun pamit).

Siangnya pastor tamu itu menghubungi pastor paroki. Ia memberitahu kalau sebenarnya ia ingin ketemu langsung, bukan hanya sekedar melapor, melainkan ngobrol sebagai sesama imam, berbagi pengalaman sebagai sesama rekan imam. Ia merasa tak enak bicara via HP. Pastor paroki mengundangnya datang besok pagi. Kepada sekretaris ia memberitahu bahwa yang tadi datang itu adalah pastor dari keuskupan lain.

Keesokan harinya. Ketika sang pastor tamu baru tiba di gerbang pastoran, sang sekretaris sudah siap menyambut dengan wajah senyum ceria. Dia langsung menyalami pastor tamunya itu.

Sekretaris       : Waduh, maaf ya romo. Saya pikir kemarin itu bukan romo. Ternyata saya keliru. Soalnya romonya tak pake tanda pengenal sih.

Sang pastor tamu hanya tersenyum saja. Sekretaris itu dengan sopan mempersilahkan pastor tamu itu duduk di ruang tamu, lalu mengambilkan air minum. Kemudian dia ke kamar pastor paroki untuk memberitahu bahwa pastor tamunya sudah datang.

Rasa hormat merupakan salah satu keutamaan moral setiap manusia. Hanya manusia bermoral saja yang punya rasa hormat satu dengan lainnya. Dari sinilah muncul istilah perikemanusiaan. Bahkan terkadang rasa hormat manusia ditujukan juga kepada makhluk ciptaan lain.

Akan tetapi kemunculan rasa hormat ini bisa saja otomatis bisa juga terprogram. Rasa hormat otomatis muncul dengan sendirinya karena sesama yang dihadapinya memang layak untuk dihormati. Orang dengan rasa hormati otomatis tidak akan mempedulikan status sosial, gelar ataupun pangkat orang yang dihadapinya. Ketika dia merasa bahwa orang ini pantas menerima hormat, maka ia akan memberikannya. Rasa hormat itu timbul dengan sendirinya. Orang dengan rasa hormat otomatis memberi rasa hormat karena melihat kemanusiaan sesamanya.

Berbeda dengan rasa hormat terprogram. Rasa hormat terprogram adalah rasa hormat yang baru muncul kalau sudah diprogram. Biasanya orang yang memiliki rasa hormat terprogram baru memunculkan rasa hormat jika ia tahu orang yang dihadapinya masuk kriteria pantas diberi hormat atau tidak. Misalnya seperti sekretaris di atas. Rasa hormatnya sudah diatur untuk para pastor. Ketika ia belum tahu bahwa yang dihadapinya itu adalah pastor, rasa hormat itu tidak muncul. Baru ketika ia tahu, rasa hormat itu muncul. Jadi, orang dengan rasa hormat terprogram memberi rasa hormat karena melihat status, gelar atau pangkat yang sudah terprogram dalam benaknya.

Bagaimana dengan rasa hormat Anda terhadap sesama?
Jakarta, 3 Maret 2014
by. adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar