VIRUS HEDON MERASUK KAUM MUDA
Dalam Majalah HIDUP, edisi no.
43, tanggal 21 Oktober 2012, khusus rubrik “Konsultasi Keluarga”, terdapat topik
Kaum Muda dan Hedonisme. Topik ini
berangkat dari pertanyaan seorang gadis berasal dari Yogyakarta, bernama Anita.
Dia bertanya, “Romo Benny yang baik, saya sering mendengar kecaman bahwa
orang muda cenderung hedonis. Apa yang dimaksud dengan tuduhan itu? Bukankah
hal-hal fun yang sering kami cari itu baik adanya? Terima kasih.”
Gaya hidup hedonis memang lagi
melanda kehidupan manusia, termasuk kaum muda. Ada banyak kaum muda jatuh dalam
budaya hedonisme ini. Mereka lupa akan panggilannya sebagai warga Gereja. Mereka
lebih mengejar kesenangan daripada Gereja. Karena itulah, ada banyak gereja
mulai ditinggalkan oleh kaum muda sehingga gereja tersebut menjadi gereja tua,
yaitu gereja yang hanya diisi oleh kaum tua. Gereja dilihat sebagai sesuatu
yang membosankan dan tidak menyenangkan.
Bukan hanya kehadiran kaum muda
yang kurang dalam gereja saat perayaan ekaristi, melainkan juga keterlibatan
kaum muda dalam berbagai kegiatan di gereja. Misalnya ketika ada kegiatan
Valentine Day bersama OMK, ada banyak kaum muda lebih memilih ber-valentine-day-an
berdua dengan pacarnya.
Apakah salah bila kaum muda mencari kesenangannya sendiri? Berikut
ini adalah jawaban romo pengasuh rubrik tersebut, yaitu Romo Dr. Benny Phang, OCarm.
Kami akan menampilkan jawaban beliau secara utuh agar terhindar dari kesalahan
tafsir.
Kesenangan versus
Kebahagiaan
“Damai Tuhan besertamu, Anita. Hedonisme berasal dari kata hedone
(Yunani) yang berarti kesenangan. Sebagai suatu aliran pemikiran, hedonisme
berpendapat bahwa yang baik adalah yang menyenangkan. Orang yang mengikuti pola
hidup ini akan hanya terus mencari kesenangan demi kesenangan. Maka, salah satu
jargon dalam pemikiran ini adalah carpe diem, yang berarti nikmatilah
hari ini dengan mencari kesenangan di dalamnya.
Ini pemikiran yang berbahaya. Coba renungkan, apakah dalam
hidupmu yang kamu jumpai hanyalah kesenangan? Ada perbedaan besar antara
fun atau kesenangan (pleasure) dan kebahagiaan (happiness).
Kesenangan biasanya hanya pada level permukaan dan kebahagiaan jauh lebih
mendalam. Misalnya, membeli tas bermerek dan memakainya akan menimbulkan
kesenangan, tapi sampai berapa lama kesenangan itu akan bertahan? Apakah tas
bermerek itu sungguh membawa kebahagiaan sampai ke lubuk hatimu yang terdalam?
Tidak bukan?
St Thomas Aquinas mengatakan bahwa kebahagiaan sejati tak
dapat ditemukan dalam kehormatan, kekayaan, ketenaran, kekuasaan, kesehatan,
kenikmatan, dan seluruh ciptaan, tapi hanya pada Allah. St Agustinus juga
pernah berseru, “Engkau telah mencipta
kami bagi-Mu, dan jiwaku takkan dapat beristirahat dengan tenteram sebelum aku
beristirahat dalam Engkau!”
Anita, janganlah fokuskan dirimu pada hal-hal yang fun saja, tetapi lebih dari itu
fokuskanlah hidupmu pada Allah. Karena “hanya
dekat Allah saja aku tenang, daripada-Nyalah keselamatanku” (Mzm 62:2).”
Kesenangan Tidak Salah Asal...
Dari jawaban Romo Benny di atas dapatlah disimpulkan bahwa
sebenarnya tidak ada yang salah dengan kesenangan. Adalah hak setiap manusia
untuk mencari dan menikmati kesenangan. Tentulah semua manusia menghendaki
kesenangan. Tidak ada larangan untuk itu. Karena itu juga, kaum muda dapat
menikmati kesenangannya. Kesenangan bukanlah merupakan kesalahan dan dosa.
Kesenangan menjadi sebuah kesalahan ketika ia hanya menitikberatkan
pada kesenangan semata yang berpusat pada diri. Artinya, orang mencari
kesenangan demi kesenangan dan terlebih lagi demi dirinya sendiri. Pada titik
ini akan lahirlah semangat egoisme demi kesenangan tersebut. Orang tidak lagi
peduli pada nasib dan penderitaan sesama. Orang hanya sibuk menikmati
kesenangannya.
Tentu sikap seperti ini bertentangan dengan ajaran Gereja
yang terdapat, baik dalam Kitab Suci maupun dalam dokumen Gereja lainnya. Dalam
Injil kita dapat melihat teladan hidup Yesus yang menunjukkan semangat
solidaritasnya terhadap orang miskin, terpinggirkan, sakit dan orang berdosa.
Karena itu, Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Roma menulis, “Bersukacitalah
dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” (Rm
12: 15). Dan salah satu dokumen Konsili Vatikan II berkata, “KEGEMBIRAAN DAN HARAPAN, duka dan kecemasan
orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita,
merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.”
(Gaudium et Spes, no. 1).
Dalam
jawabannya di atas, Romo Benny menegaskan bahwa ada perbedaan mendasar antara kesenangan dan kebahagiaan. Kebahagiaan memiliki kualitas yang jauh lebih baik dan
lebih tinggi ketimbang kesenangan. Kebahagiaan itu menyentuh inti terdalam
kemanusiaan kita, yaitu HATI. Karena itu bisa dikatakan bahwa kebahagiaan lebih
baik daripada kesenangan. Adalah lebih bagus jika manusia, khususnya kaum muda,
mencari kebahagiaan. Akan tetapi, Romo Benny juga meminta kepada kaum muda
untuk tidak berhenti pada kebahagiaan sebagai kebahagiaan semata. Romo Benny,
dengan mengutip St. Thomas Aquinas, mengingatkan soal kebahagiaan sejati yang ada
pada Allah.
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar