Sekilas kutang tampak hanya barang biasa, pakaian dalam
perempuan untuk menyangga buah dada. Namun, keberadaan kutang saat ini bukan
semata-mata karena nilai guna itu. Kutang telah ditahbiskan sebagai simbol femininitas
atau identitas perempuan yang mengukuhkan citra sosial. Manusia modern pun
menjelmakan kutang sebagai simbol kecantikan dan erotisme.
Orang Indonesia juga mengenalnya sebagai bra (Brassiere) atau BH (Buste hounder). Linda Hamalian
(2005) mencatat, bra modern seperti dikenakan jamak perempuan terkini
diciptakan pada 1910 oleh Ceresse Crosby (1891 – 1970), seorang sosialita
Amerika yang bernama kecil Mary Phelps Jacob, meski cikal bakal bra telah ada
sejak jauh-jauh zaman sebelumnya, misal korset di Eropa, dudou di China atau kolasiris
di Mesir.
Kutang telah mendominasi cara berpakaian perempuan Indonesia
hari ini. Tanpa kutang, identitas perempuan dianggap seolah tak genap. Sebab,
kutang juga telah diarak di tengah pernik simbol moralitas. Taruhlah, perempuan
dewasa tak berkutang rentan dicap sebagai kurang adab.
Belum diketahui secara persis kapan para perempuan pribumi
mulai mengenal dan mengenakan kutang. Sementara sebelumnya, sebagian
masyarakat, khususnya perempuan di Jawa atau Bali, telah mengenal kemben, yakni sejenis kain atau
selendang yang dililitkan menutupi dada.
Novel Pangeran
Dipenogoro: Mengagas Ratu Adil (2007: 227) karya Remy Silado menghadiai satu jejak historis perkenalan perempuan
pribumi dengan kutang. Pada abad ke-19, banyak budak laki-laki dan perempuan
dipekerjakan dalam proyek pembangunan Jalan Pos Anyer – Panarukan. Kala itu,
lelaki dan perempuan terbiasa ngligo atau
bertelanjang dada. Don Lopez Comte de
Paris, seorang mandor proyek itu,
menyuruh para perempuan menutup payudaranya. Ia memotong-motong kain putih dan
memberikannya kepada salah seorang budak perempuan belia, “Tutup bagian
berharga itu,” katanya. Beberapa kali Don Lopez mengulang kata coutant (Perancis: berharga) untuk
menunjuk payudara perempuan. Orang-orang pribumi kebingungan memahami maksud
sang mandor, lantas mengira coutant
adalah penutup payudara dan dilafalkan dengan “kutang”.
Tampaknya, perkenalan perempuan pribumi dengan kutang tidak
serta merta mengikis kebiasaan ngligo
di pedesaan ataupun perkotaan hingga abad ke-20.
Elitisme kutang terbetik dalam kisah Entrok (2010), novel Okky
Madasari, yang berlatar pertengahan abad ke-20. Alkisah, Marni, gadis yang
payudaranya mulai mekar, sangat ingin memiliki entrok (kutang) agar saat berlari atau melompat tidak terguncang. Entrok hanya mampu dijangkau orang-orang
kaya, sementara Marni hanyalah anak seorang
buruh pengupas ubi di Pasar Singget. Demi kutang, Marni bekerja keras
sebagai kuli angkut hingga ia berhasil membeli entrok. Lantas entrok
menjadi atribut bagi Marni sebagai perempuan yang “berbeda” dari sebelumnya.
Pencitraan
Produksi kutang dewasa ini pun semakin gencar menyasar pada
nilai citrawi. Misalnya, Victoria’s Secret, perusahaan pakaian dalam perempuan
tersohor dari Amerika Serikat, membuat kutang berenda berlian atau permata
seharga jutaan dollar AS. Perempuan papan atas atau artis memakainya sebagai simbol
kecantikan sekaligus pengukuh status sosial mereka.
Gaya berpakaian yang cenderung “memamerkan” kutang telah
menjerumuskan pakaian dalam itu sebagai simbolitas erotik. Padahal, dahulu, lelaki
dan perempuan berada di ruang-ruang publik dengan bertelanjang dada tanpa
menimbulkan efek seksual yang negatif.
Mardi Luhung, dalam cerpennya yang berjudul Tukang Cuci (Kompas, 19 Juli 2009), menyinggung nasib kutang yang kehilangan
tempat persembunyian. Kisahnya, seorang lelaki, yang sedang mencuci kutang
isterinya, membayangkan seandainya benda itu bisa berbicara, mungkin begini
keluhannya: “Aku dibentuk dari keindahan. Semestinya aku tersembunyi. Dan semestinya
juga aku hanya terbuka bagi yang memang layak untuk membuka. Tapi, apa mau
dikata, roda terus berputar. Yang di atas, kini di bawah. Dan yang rapat pun
kini tak rapat lagi. Tak ada tempat bersembunyi.”
Maka, tak aneh jika hari ini sebagain orang berkata bahwa
kutang bukan lagi pakaian dalam. Begitulah tragedi kutang terjadi di tengah
pamrih berpakaian yang merayakan keterbukaan tubuh untuk merebut citra
kecantikan.
by: Musyafak, Kompas, 13 Maret 2012, hlm 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar