DENDAM & PSIKOLOGI MEMAAFKAN
“Pak
Felix, tolong bantu saya menghadapi anak bungsu saya,” kata ibu Vinta (55
tahun) di telepon. Ibu yang bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan di
jalan protokol Jenderal Sudirman ini bercerita panjang lebar tentang Fanta (16
tahun)
Tinggal di Amerika
Anak bungsu dari tiga bersaudara (semuanya perempuan) itu baru saja pulang dari Amerika Serikat. Tinggal di sana selama setahun bersama kakak sulung (30 tahun), Fanta tidak betah. Sehari-hari ia bertengkar dengan kakak dan suaminya yang orang Amerika.
Kendati sangat suka tinggal di Amerika, Fanta terpaksa kembali ke Jakarta dan tinggal berdua ibunya. Ayahnya sendiri tinggal dan bekerja di Amerika Serikat. Kakaknya yang kedua (25 tahun) tinggal dan bekerja di luar Jawa.
Kelakuan Fanta semakin menjadi-jadi. Tiada kata dari ibunya tanpa bantahan Fanta. Di sekolah pun ia sering didamprat guru-guru karena -- menurut mereka -- Fanta tidak dapat diatur. Ibu Vinta kehabisan akal.
"Saya ingin ia berkonsultasi, tapi jangan sampai dia tahu bahwa bapak itu psikolog," pinta ibu Vinta. "Kebetulan dia pernah bertanya kepada saya, 'Kenapa sih kita harus beragama?'" kata ibu Vinta seakan mendapatkan jalan keluar. Berbekal pertanyaan kritis itu, ibu Vinta mengajak anaknya berdiskusi dengan penulis.
Kelainan Emosi
Sesi pertama diisi dengan diskusi filsafat dan teologi tentang pertanyaan Fanta. Kebetulan penulis berlatar belakang filsafat, teologi dan psikologi klinis. Senang akan diskusi yang berlangsung seru, Fanta bersedia berkonsultasi beberapa kali.
Sebenarnya pertanyaan Fanta itu mempunyai latar belakang masalah psikisnya. Ia berseteru dengan kakak sulung yang bertipe kepribadian conscientious (J. Oldham dan J. Morris, 2003, The Personality Self-Portrait: Why You Think, Work, Love, and Act the Way Tou Do) yang salah satu cirinya adalah religius dan taat aturan/hukum. Sementara Fanta sendiri bertipe adventurous yang berciri utama senang tantangan dan mengutamakan kebebasan. Dengan latar belakang tipe kepribadian yang berseberangan, tanpa mereka sadari api-api permusuhan tersulut antara kakak beradik itu sejak masa kecil.
Lagi pula berdasarkan analisis konstelasi keluarga (jumlah dan kedudukan anak: W. Toman, 1961, Family Constellation: Theory and Practice of a Psychological Game), ketidakcocokan antara anak sulung dan anak bungsu kemungkinan besar bisa saja terjadi, apalagi bila mereka itu sesama jenis. Kasus ini terjadi pada Fanta dan kakaknya, hal mana diperkuat oleh latar belakang kepribadian yang berbeda.
Dalam 'perang' itu, jelaslah Fanta berada dalam posisi kalah. Akibatnya, pelan tapi pasti terbentuklah kelainan emosional pada diri Fanta. Kelainan yang Fanta alami oleh para ahli disebut oppositional defiant disorder (melawan dan memberontak; American Psychiatrist Association, 1994, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV). Kelainan ini sesuai dengan tipe kepribadiannya.
Psikologi Amarah dan
Dendam
Di atas ibu Vinta menyebut beberapa bentuk dari perlawanan dan pemberontakan Fanta (oppositional defiant disorder). Namun apakah yang menjiwai perilaku tersebut?
Aaron
Beck, M.D, pencetus Terapi Kognitif, dalam bukunya Prisoners of Hate: The Cognitive Basis of Anger, Hostility and Violence
(1999), menjelaskan bahwa di balik perilaku Fanta itu ada psikologi amarah dan
dendam.
Berbagai aturan dan larangan dari kakak ditafsirkan Fanta sebagai "perilaku kakak yang tidak menyukai adik." Penafsiran ini terjadi karena egocentricity (cara berpikir yang berpusat pada diri sendiri). Dengan kepribadian yang adventurous (mengutamakan kebebasan, tantangan), egocentricity Fanta menjadi berlebihan. Egocentricity berlebihan mengakibatkan letupan emosi, amarah.
Kemarahannya itu makin bertambah saat dia berproses pikir seperti ini: "Seharusnya kakak menyayangi adik, tetapi kenyataannya tidak." Berdasarkan pengalaman-pengalaman terdahulu, ia juga lalu mengembangkan self statement yang keliru: "Mengapa sih saya harus kalah dari dia?" Ia mensugesti diri untuk tidak mengalah.
Tampaklah bahwa psikologi amarah dalam diri Fanta itu berlanjut melalui mind reading (membaca pikiran) yang keliru. Ia keliru membaca motif-motif dari tindakan-tindakan (larangan dan pembatasan) kakak. Kekeliruan membaca membawa Fanta pada kesimpulan keliru bahwa dirinya layak menyerang (aggression), baik secara verbal maupun secara fisik. Kepada penulis ia mengaku bahwa ia hampir saja membunuh kakaknya. Pada suatu kesempatan ia telah menyiapkan pisau di kamarnya. Untunglah kakaknya tidak memasuki kamar Fanta saat melarang Fanta berpergian.
Bingkai Permusuhan
Egocentricity, mind reading yang keliru, aggression menjadi suatu lingkaran setan jika ketiganya berproses ke dalam bingkai permusuhan alias hostile frame. Proses itu berlangsung dalam kaitan dengan isu apa saja. Mereka bagaikan memfoto dan membingkai diri masing-masing dalam pola pikir negatif. Biasanya Fanta melihat diri sebagai 'korban', dan kakak sebagai 'pelaku'. Pembingkaian negatif (pola pikir negatif) membuat mereka keliru menginterpretasi setiap tindakan, motof, pikiran masing-masing.
Ada dua kekeliruan utama yang sering diakibatkan bingkai permusuhan. Kekeliruan pertama adalah catastrophic distortion. Kesalahan kecil masing-masing merusak seluruh citra baik masing-masing. Kekeliruan kedua adalh pola pikir generalisasi. Larangan atau pembatasan apa pun ditafsirkan sebagai "tidak menyukai diriku."
Psikologi Memaafkan
Setelah menjelaskan kondisi permasalahannya, penulis membantu Fanta menyadari ciri-ciri kelebihan dan kekurangan dari orang yang bertipe kepribadian seperti dirinya. Tentu penulis memberi petunjuk untuk memanfaatkan kelebihan diri dan menetralisir kekurangan dirinya.
Namun demikian fokus perhatian dalam kasus Fanta adalah kemampuan mengatasi amarah. Setelah memahami psikologi amarah, Fanta merumuskan sejumlah self-statement positive (pernyataan bagi diri sendiri) untuk mensugesti diri. Dalam setiap situasi yang menimbulkan amarah, Fanta mensugesti diri untuk mengalahkan amarah yang telah disimbolisasi sebagai setan dalam diri sendiri.
Kemudian Fanta dibantu memahami dan menerapkan 'psikologi memaafkan' seperti disarankan John Monbourquette (2000) dalam How to Forgive. Memaafkan iu merupakan keputusan untuk tidak berbalas dendam yang merupakan konsekuensi dari keadilan instinktual. Setelah berkeputusan untuk memaafkan, kita berusaha menyadari bahwa dalam banyak hal kita sendiri perlu dimaafkan.
Mengapa kita berat untuk memaafkan orang lain? Karena kita terjebak dalam pikiran bahwa orang tersebut itu bencana bagi kita. Karena itu ia harus dilawan dan diperangi. Saat menyadari bahwa kita juga perlu dimaafkan, kita ternyata juga merupakan bencana bagi orang lain. Nah, daripada saling membencanakan diri masing-masing, mengapa tidak kita saling memaafkan. Untuk itu, kita mesti melakukan proses baru reframing (memahami diri masing-masing dan orang lain) dengan cara yang lebih positif.
Barangkali kita perlu merenung kata seorang teolog katolik Jacques-Marie Pohier, "Memaafkan itu sulit karena kita takut akan resikonya."
Felix Lengkong MA PhD (Konselor dan dosen psikologi konseling klinis
Unika Atma Jaya dan Universitas Pelita Harapan) dari http://www.hidupkatolik.com/2013/06/04/dendam-dan-psikologi-memaafkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar