KATAKAN “YA” BILA “YA”,
DAN “TIDAK” BILA “TIDAK”
Format Komunikasi
Ideal
Kalau kita mengikuti kursus atau
membaca buku komunikasi, biasanya kita akan didoktrin untuk belajar mengatakan
TIDAK pada hal-hal yang memang tidak kita kehendaki. Slogan yang kerap dipakai
adalah: "jangan mengatakan YA jika Anda ingin mengatakan TIDAK". Secara
teori, ini memang format komunikasi yang ideal. Kenapa?
Kalau kita mengatakan YA, padahal
hati kita sebetulnya ingin mengatakan TIDAK, maka YA yang kita ucapkan itu
menyisakan ganjalan di hati. Bentuknya antara lain: menggerutu, merasa diri
sebagai korban, atau akan menyimpan kenangan negatif terhadap orang yang
memaksa kita itu. Perasaan seperti ini akan menjadi perampok kebahagiaan.
Bahkan jika itu sudah menjadi
kebiasaan / sifat, maka ungkapan YA di situ akan menjadi titik lemah. Ini
karena ucapan YA di situ, lebih-lebih jika kita seorang pemimpin, pembuat
kebijakan atau orang yang diserahi tanggung jawab, akan membawa konsekuensi
yang panjang dan luas, misalnya konsekuensi waktu, biaya, tenaga, dan lainnya.
Ya-nya kita akan menjadi incaran pemanfaatan.
Pada tingkat pribadi, kalau kita
terlalu sering sudah terlanjur mengatakan YA, padahal kita menginginkan TIDAK,
itu bisa menimbulkan gangguan internal atau bahkan bisa sampai taraf
penyimpangan. Hal itu sudah mencabut fokus dari sesuatu yang semestinya kita
tekuni, hanya karena adanya tuntutan untuk melayani. Ini karena, ungkapan YA
itu bisa mengundang konsekuensi dalam bentuk (tuntutan yang mengharuskan kita)
atau menghilangkan self-connectedness (keterkaitan dengan diri) yang
dapat melemahkan kekuatan dan kemampuan.
Sesuaikah Dengan Kultur Kita?
Meski secara teori sangat mudah
dipahami dan diamini, tapi dalam prakteknya kerap memunculkan pertanyaan.
Misalnya, apa bisa itu kita terapkan di kantor? Apa ada atasan atau
organisasi yang mau mendengarkan kata TIDAK dari kita? Apa bisa itu kita
terapkan pada orang yang tingkat hubungannya dengan kita sudah memasuki level
intimasi personal (semacam sahabat karib, teman dekat, mitra yang sudah seperti
saudara, dll) dan apakah kejujuran selalu harus di nomerduakan.
Seorang kenalan saya yang sudah
merasakan betapa slogan di atas tak bisa dipraktekkan sembarangan di kantor
langsung menyimpulkan bahwa Don’t say YES if you want to say NO itu adalah budaya Barat yang tidak bisa begitu
saja dipraktekkan di Timur. Teman saya ini membeberkan sejumlah contoh.
Misalnya, kata You di Barat itu digunakan juga untuk seorang anak kepada
ayahnya. Coba kalau itu diterapkan di Timur, apa kata orang?
Dipikir-pikir, kenalan saya ini ada
benarnya juga. Terlalu frontal berterus terang dengan kata TIDAK di tempat
kerja atau dalam hubungan pertemanan bisa mengundang pelabelan eksplisit atau
implisit yang dapat berdampak kurang sehat pada hubungan kita. Ini
misalnya antara lain:
Pertama, kita
akan dicap sebagai orang yang resistant (keras kepala / maunya sendiri /
sulit didekati). Tempat kerja membutuhkan orang yang fleksibel dan supportive
terhadap perubahan agar bisa berperan optimal. Kalau kita resisten dengan sikap
yang serba-TIDAK, tentu akan ada dampak tersendiri. Lebih-lebih itu kita
nyatakan tanpa memandang orang dan kebutuhan.
Ki Hajar Dewantoro menawarkan
panduan yang fleksibel dan supportive yang bisa diterapkan dalam
kehidupan, baik di tempat kerja maupun di lingkungan keluarga. Apa panduannya?
Ki Hajar merumuskan, kalau kita di depan, kita harus menjadi contoh /
teladan. Kalau kita di tengah, kita harus menjadi orang yang memunculkan inisiatif-inisiatif
positif. Tapi kalau kita di belakang, kita harus menjadi orang yang
menyemangati. Jadi, di kultur Indonesia, mengatakan TIDAK juga butuh
kebijaksanaan, kedewasaan serta kepekaan roso; tahu kapan, dimana,
bagaimana mengatakan TIDAK dan apa implikasinya. Sebaliknya, TIDAK yang
dinyatakan membabi buta, justru mencerminkan ketidakmatangan pribadi kita.
Kedua, kita
akan dicap sebagai orang yang konfrontatif (tidak bersahabat, atau sulit diajak
kerjasama). Cap ini mungkin akan menjadi ganjalan bagi karier kita.
Kenapa? Dalam prakteknya, tempat kerja itu tak hanya butuh kompetensi kita
semata. Selain kompetensi, mereka juga membutuhkan semangat kooperasi atau teamwork.
Ini pasti tak hanya butuh YA dan TIDAK secara hitam putih. Tidak mau mendengarkan
pendapat orang lain, atau menolak informasi yang bertentangan dengan pengalaman
kita, bisa jadi berbahaya karena bisa berarti kita menutup pintu perubahan buat
diri sendiri. Banyak orang jadi radikal karena begitu yakin dan percaya diri
bahwa YA atau TIDAK miliknya, sudah didasari oleh logika yang dilandasi nilai
universal.
Teamwork sangat
dinamis. Adakalanya butuh kooperasi, butuh konsensus, butuh konsesi, dan butuh
kompromi. Bahkan dalam transaksi bisnis pun leluhur kita melarang secara
gegabah mengatakan TIDAK terhadap transaksi yang tidak menguntungkan.
Adakalanya kita hanya untung pada relasi meskipun kita tidak untung padai
transaksi, untung ing konco meski tak untung ing bondo.
Ketiga, sudah
banyak cerita dari kisah nyata betapa sikap saklek mempersulit
karir. Apalagi, jika kita masuk dalam organisasi yang iklim
politiknya sangat kental. Meski dunia kerja itu dikenal sangat mendewakan
kompetensi, tapi dalam prakteknya di beberapa hal, tak sedikit keputusan yang
dilandasi oleh kalkulasi personal yang bukan lagi kompetensi.
Jika sudah bicara kalkulasi personal
ini, maka rumus yang akan dipakai secara alam bawah sadar adalah: orang akan
lebih cenderung melibatkan orang lain yang menurut pengetahuannya lebih loyal,
lebih mendukung, atau lebih siap untuk mengatakan YA. Kalau kita terlalu sering
mengatakan TIDAK secara sembarangan, bisa-bisa akan membahayakan karier kita.
Sebaliknya, mengatakan YA tapi sebenarnya TIDAK, tidak bisa dianggap sebagai
pengejawantahan pepatah jawa, wani ngalah luhur wekasane, yang artinya,
berani mengalah mulia budi pekertinya, mulia di kemudian hari.
Lebih Pada
Keahlian
Ternyata, untuk bisa mengatakan
TIDAK yang baik itu bukan soal kita produk budaya Barat atau Timur, suku Jawa,
Sunda atau Sumatra, tetapi lebih karena keahlian. Karena itu, dalam
literaturnya, kata TIDAK itu dibedakan menjadi berbagai macam, antara lain:
Kata TIDAK yang asertif. Ini adalah kata TIDAK yang kita ucapkan dengan bahasa /
ungkapan yang tidak menganggu hubungan, dengan cara yang baik (sesuai kultur /
maruuf), dan didukung dengan alasan yang kuat. Alasan ini mungkin berupa
pertimbangan pribadi, kebaikan atau kemaslahatan. Kata TIDAK yang asertif ini
bisa saja tidak harus ternyatakan dalam kalimat secara vulgar, tergantung
dengan siapa kita berbicara.
Kata TIDAK yang asertif inilah yang
merupakan produk dari keahlian sehingga dinilai paling baik. Keahlian di sini
merujuk pada pengertian bahwa tidak ada orangtua, suku, atau bangsa yang mampu
melahirkan bayi dengan bawaan langsung asertif secara otomatik. Orang menjadi
asertif karena belajar, entah dengan belajar dari buku, belajar dari kesalahan,
atau belajar dengan melihat orang lain.
Kata TIDAK yang agresif-egoistik. Kata TIDAK seperti ini terlontarkan secara
agresif (menyerang, menyalahkan, atau menguasai) dan itu dilandasi motif untuk
memenangkan kepentingan pribadi yang egois, tanpa mempertimbangkan suasana
batin orang lain. Kata TIDAK seperti ini tidak seluruhnya jelek. Dalam beberapa
hal tertentu dan terhadap orang tertentu, terkadang ini dibutuhkan. Cuma,
secara umum, kata TIDAK seperti ini kurang cocok digunakan untuk / terhadap
orang yang punya kedekatan tertentu dengan kita, entah itu kedekatan personal
atau profesional, lebih-lebih kedekatan istimewa.
Ada juga yang disebut kata TIDAK
yang pasif-manipulatif. Kata ini
mungkin kita ucapkan dengan kata TIDAK atau YA, tetapi tujuan kita mungkin
hanya untuk memanipulasi, atau terungkapkan dengan cara yang politis dan
manipulatif. Secara umum, lebih-lebih kepada orang yang punya kedekatan
tertentu dengan kita, YA atau TIDAK yang manipulatif dan politis itu jelas
tidak baik untuk hubungan jangka panjang. Cepat atau lambat, pertentangan di
batin akan muncul dalam sikap; ketidaksinkronan antara hati pikiran menyebabkan
ketidaksinkronan antara apa yang diucapkan dengan tindakan.
Mengasah Keahlian
Dengan kata lain, kesesuaian slogan
komunikasi itu bukan tergantung pada kebenaran slogannya. Kenapa? Kalau soal
kebenarannya sudah tak perlu diperdebatkan lagi. Cuma, supaya kebenaran itu membawa
kebaikan dan kemaslahatan saat dipraktekkan, maka dibutuhkanlah keahlian. Beberapa
proses yang penting untuk mengasah keahlian itu antara lain:
Pertama, kita
perlu belajar melihat konteks dan kepentingan. Hubungan kita dengan orang lain,
lebih-lebih di tempat kerja, tak akan cukup diakomodasi oleh YA dan TIDAK. Ada
kalanya kita harus mengatakan YA (padahal mestinya TIDAK), tapi itu untuk
kebaikan jangka panjang. Adakalanya kita harus mengatakan TIDAK (padahal
mestinya YA), tapi itu untuk kemaslahatan yang lebih besar. Intinya, kita perlu
belajar melihat konteks dan kemaslahatannya, tidak main asal TIDAK atau asal
YA.
Kedua, kita
perlu belajar menggunakan cara-cara mengungkapkan isi hati menurut orang yang
kita ajak bicara. Di sini, kemampuan empati sangat penting untuk bisa menakar
situasi. Secara umum, ada beberapa petunjuk yang bisa kita pilih untuk
mengungkapkan isi hati itu:
diolah kembali dari tulisan Ubaydillah, AN, " Jangan Katakan YA Jika Ingin Berkata TIDAK"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar