Bumi
kita satu, tapi dihuni oleh manusia yang beraneka ragam, baik ras, suku, status
sosial-ekonomi maupun agama. Ini membuktikan bahwa manusia hidup di alam
pluralisme. Sebagai makhluk sosial pertemuan antar manusia dengan perbedaan ini
tak dapat dihindari. Dan pertemuan ini terkadang berakhir dengan pernikahan.
Pernikahan dua anak manusia dengan beda suku atau ras tidak terlalu menimbulkan
masalah.
Yang
sering menjadi persoalan adalah pernikahan beda agama. Banyak agama menolak umatnya
melakukan nikah beda agama. Islam dengan tegas menyatakan bahwa nikah beda
agama adalah haram. Dalam islam, pernikahan itu harus seagama atau seiman.
Maka, ketika umat islam menikah dengan yang non islam, menggunakan tata cara
islam (menikah secara islam), maka yang non islam harus masuk islam dulu. Dan
kebetulan, dalam ritusnya ada kewajiban mengucapkan kalimat syahadatin.
Dengan mengucapkan kalimat itu, seseorang telah menjadi islam.
Sementara
Gereja Katolik melihat nikah beda agama sebagai suatu halangan, namun halangan
ini dapat dihapus dengan izin atau dispensasi. Jadi, secara tak langsung Gereja
Katolik membolehkan menikah beda agama. Dan kebetulan dalam Gereja Katolik ada
ritus perkawinan campur. Dengan nikah beda agama di Gereja Katolik, yang non
katolik tetap dengan agama atau imannya.
Akan
tetapi, pernikahan beda agama bukannya tanpa masalah. Memang banyak orang
mengatakan bahwa nikah yang seagama juga tak luput dari masalah. Namun perlu
disadari bahwa yang seagama saja sudah rawan masalah, apalagi yang tidak.
Masalah apa saja yang biasa muncul pada pernikahan beda agama, khususnya antara
orang islam dan katolik?
Perbedaan
Konsep Keagamaan
Ada
banyak perbedaan mengenai konsep keagamaan. Karena iman akan keallahan Yesus
dan juga iman akan Tritunggal Mahakudus, orang Kristen pada umumnya dicap
sebagai orang kafir. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Al Quran surah
al-Maidah ayat 72 dan 73. Paham tentang keselamatan juga berbeda. Memang
perjalanan akhir adalah sama, yaitu masuk sorga. Namun untuk ke sananya
berbeda. Dengan mengislamkan orang kafir, seorang islam pasti masuk sorga. Ini
didasarkan pada sabda Nabi Muhammad dalam hadits al-Thabrani.
Sebagai
sebuah contoh pasangan Fery Mulyana (islam) dan Devi P Fery (katolik). Beberapa
bulan setelah hidup bersama, Fery mulai usil mengkritisi dan mempertanyakan
iman akan trinitas dan isi alkitab. Kebetulan Fery suka membaca buku tentang
islam dan tentang perbandingan agama karya Ahmad Deedat dan Irene Handono. Aksi
usil Fery ini membuat hubungan mereka diwarnai dengan cek-cok. Devi tidak
terima iman dan alkitabnya dihina dan dilecehkan. Tapi sayangnya, Devi tidak
memiliki modal kuat untuk “membalas” serangan suaminya. Maklum, umumnya umat
katolik hanya menerima saja konsep trinitas, keallahan Yesus atau alkitab tanpa
pernah berusaha memahaminya. Akhirnya, Devi “kalah” dan kemudian menjadi
seorang muslimah. (Kado Cinta bagi Pasangan Nikah Beda Agama, 2009, 233).
Dalam contoh di atas, dapatlah dikatakan kenapa Fery mulai mengusik iman istrinya. Dia ingin mengislamkan istrinya supaya bisa masuk sorga. Dan kebetulan pemahaman iman katolik Devi lemah, maka berhasillah Fery mengislamkan istrinya. Sementara Devi sama sekali tidak punya pikiran untuk mengkatolikkan sang suami, karena selain pemahaman agamanya lemah, dia juga tahu tak punya keharusan mengkatolikkan orang. Orang katolik hanya terpanggil untuk memperkenalkan Yesus dan karya keselamatan-Nya. Soal menjadi katolik atau tidak, itu urusan Roh Kudus.
Nah,
bukan tidak mungkin hal ini terjadi juga dalam pasangan beda agama lainnya.
Adanya konsep pemahaman iman yang berbeda terkadang menjadi kerikil-kerikil
dalam kehidupan rumahtangga. Masalah ini sering tidak dilihat dan disadari oleh
pasangan ketika mereka lagi pacaran. Umumnya, saat pacaran hanya romantisme
hidup yang dialami.
Perbedaan
Konsep Pernikahan
Orang
katolik, sejak kecil sudah mengetahui bahwa pernikahan katolik itu tak
terceraikan dan monogami. Sementara yang islam mengakui adanya perceraian dan
membolehkan umatnya untuk berpoligami. Sekalipun, sudah “dicekoki” lewat KPP
tentang perkawinan katolik, tetap saja efeknya tidak kuat (bayangkan, konsep
yang sudah diketahuinya sejak kecil dengan sebuah konsep baru yang hanya
diterima selama 1 jam).
Dalam
contoh pasangan Fery dan Devi di atas, kita bisa bertanya kenapa Devi tidak mau
cerai saja? Hal ini disebabkan karena sejak kecil Devi tahunya tidak ada cerai.
Karena mempertahankan pernikahannya, Devi akhirnya memilih mengorbankan
imannya. Dalam hal ini dapat dipahami, karena pemahaman akan imannya sangatlah
lemah.
Menjadi
tantangan adalah ketika akibat percek-cokan itu terjadilah perceraian (islam
membolehkan hal ini). Tantangan terberat ada pada pihak katolik. Jika
pasangannya yang islam meninggalkannya atau menggugat cerai, tentulah dia tidak
dapat menikah lagi secara katolik, kecuali status perkawinannya yang pertama
dinyatakan batal (nulisitas).
Keterpecahan
Kepribadian Anak
Mohammad
Monib dan Ahmad Nurcholish, dalam bukunya Kado Cinta bagi Pasangan Nikah Beda
Agama, mengungkapkan salah satu bahaya yang muncul dari pernikahan beda agama
adalah split of personality anak (hlm 228 – 231). Anak yang
lahir dari pasangan nikah beda agama akan dihadapkan dua model tuntunan teologi
dan ibadah dua agama. Mereka akan mengalami ketegangan dan tarik menarik
keyakinan.
Masalah
ini berusaha dipecahkan Gereja Katolik jika pasangan memilih menikah menurut
tata cara Gereja Katolik. Kanon 1125 no 1 menyatakan bahwa semua anak dibaptis
dan dididik dalam Gereja Katolik. Dengan ini, maka anak tidak lagi menghadapi
dualisme keyakinan. Namun, hal ini bukan lantas menghilangkan masalah sama
sekali. Tetap saja anak, sekalipun sudah “dikatolikkan” menemukan sesuatu yang
asing di rumahnya. Belum lagi, bila suami atau istri yang islam terpanggil
untuk mengislamkan anaknya, supaya dia bisa masuk sorga, tentu tak akan
berhenti mempengaruhi iman sang anak. Dan jika suatu saat anak beralih ke
islam, bukankah ini menimbulkan “masalah” di Gereja Katolik? Anak akan dicap
murtad.
Beban
Ekonomi Keluarga
Tak
bisa dipungkiri bahwa rumahtangga beda agama mempunyai biaya pengeluaran yang
tinggi. Pengeluaran terbesar ada pada saat hari raya. Pasangan islam dan
katolik tentulah memiliki hari raya idul fitri, idul adha dan natal. Jadi,
ketika hari raya idul fitri (yang diawali dengan ramadhan) dan idul adha mereka
harus mengeluarkan biaya untuk merayakannya. Demikian pula saat hari raya
natal.
Tentulah
masalah ini menjadi beban tersendiri. Memang hal ini tidak menjadi persoalan
bagi keluarga yang mampu. Namun tidaklah demikian bagi keluarga yang
berpenghasilan pas-pasan.
Demikianlah
beberapa problema nikah beda agama. Memang pernikahan yang ideal adalah
pernikahan seagama atau seiman. Namun, Gereja tak menutup mata akan umatnya
yang hidup dalam kemajemukan. Untuk itu, Gereja memberi fasilitas bagi pasangan
nikah beda agama. Gereja hanya sebatas memberi fasilitas, bukan berarti dengan
fasilitas itu masalah tidak akan muncul.
Masalah
dapat terjadi, baik dalam pasangan seagama maupun beda agama. Orang pernah
bilang, pasangan seagama pun ada yang “cerai”. Nah, yang seagama saja sudah
begitu, apalagi yang tidak seagama, dimana salah satunya membolehkan
perceraian. Semua masalah itu dapat dihindari jika pasangan beda agama ini
benar-benar sudah saling mengenal pribadi masing-masing pasangannya serta
memiliki komitmen yang kuat. Jadi, bukan hanya didasarkan pada indahnya masa
pacaran. Karena pada masa pacaran, ada banyak hal, terkait dengan pribadi,
disembunyikan.
Selain
itu, keutuhan keluarga, baik yang seagama maupun beda agama, dapat dipelihara
dengan kekuatan doa. Rawannya keluarga beda agama ini ibarat, mengutip
kata-kata Paulus dalam suratnya kepada umat di Korintus, harta yang ada dalam
bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal
dari Allah, bukan dari manusia (bdk. 2Kor 4: 7).
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar