Senin, 01 Agustus 2022

SEBENARNYA SEKOLAH KATOLIK BISA MURAH

 

Masalah klasik dunia pendidikan kita adalah mahalnya sekolah katolik. Karena desakan kebutuhan ekonomi dan hadangan biaya sekolah katolik yang mahal, para orang tua akhirnya memilih sekolah negeri untuk anak-anaknya. Sekolah di sekolah negeri terjangkau biayanya, bahkan ada yang gratis. Memang soal kualitas pendidikan, umumnya masih di bawah sekolah-sekolah katolik. Namun orang tua lebih mementingkan aspek ekonomi.

Siapa yang salah? Jelas, dalam hal ini orang tua tidak dapat disalahkan, karena urusan memilih sekolah adalah kewenangan mutlak para orang tua. Orang tua bebas menentukan pilihan sekolah untuk anaknya (lih. Gravissimum Educationis, no. 6, Kitab Hukum Kanonik, Kan. 797). Namun dokumen konsili Vatikan II menghendaki agar orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah katolik (GE, no 8, lihat juga KHK, Kan 798). Memang umat katolik terpanggil untuk mendukung dan menopang sekolah-sekolah katolik (KHK, Kan 800 § 2). Memasukkan anak ke sekolah katolik merupakan salah satu wujud mendukung sekolah katolik.

Akan tetapi, mengapa sekolah-sekolah katolik mahal sehingga orang tua tidak mau menyekolahkan anaknya ke sekolah katolik? Inilah pertanyaan yang sering dilontarkan. Berbagai argumen telah dikemukakan dari pihak sekolah-sekolah katolik, yang intinya adalah pembenaran atas mahalnya biaya sekolah katolik. Dan saya tidak tertarik untuk mengulasnya lagi. Saya lebih memilih bertanya, mungkinkah sekolah katolik gratis atau murah?

Dan saya menemukan jawabannya: BISA. Bagaimana hal itu diterangkan? Saya bukan ahli pendidikan dan juga bukan ahli ekonomi. Saya hanya mau berpikir praktis. Dan dari kepraktisan itulah saya menemukan jawaban itu.

Saya mengambil contoh sekolah-sekolah katolik yang dikelola oleh yayasan milik keuskupan. Sekolah-sekolah itu tersebar di beberapa wilayah keuskupan. Ada sekolah unggulan, sekolah biasa dan sekolah “miskin”. Baik sekolah unggulan, biasa maupun “miskin” mengambil pungutan uang sekolah dari siswa untuk biaya operasional sekolah, gaji guru dan keperluan lainnya. Keunggulan sekolah unggulan bukan hanya dilihat dari sisi kemampuan intelek siswa, melainkan juga kemampuan uang sekolahnya. Sekolah ini diisi oleh murid-murid pintar dari keluarga kelas atas. Sedangkan sekolah biasa diisi oleh murid dari keluarga kelas menengah dan sekolah “miskin” dari keluarga kelas bawah.

Biasanya untuk biaya operasional sekolah, yayasan memakai sistem subsidi silang. Artinya, keuangan sekolah-sekolah unggulan membantu keuangan sekolah-sekolah “miskin” atau juga sekolah biasa. Akan tetapi, sering terdengar keluhan bahwa sekolah-sekolah unggulan hanya dilihat dan dijadikan sebagai sapi perahan. Selain itu juga, banyak anak-anak katolik yang pintar dari keluarga kelas menengah ke bawah tidak dapat masuk sekolah unggulan. Semuanya terbentur soal biaya.

Nah, bagaimana caranya agar anak-anak katolik bisa bersekolah di sekolah katolik, baik yang unggulan maupun biasa-biasa saja?

Umumnya di yayasan yang mengelola pendidikan ada beberapa imam keuskupannya. Mungkin ketua yayasan dan bendahara yayasannya berasal dari kalangan imam. Sebagai imam keuskupan mereka tentulah sudah mendapat gaji sesuai standar keuskupan, misalnya 1 juta. Namun sebagai pegawai yayasan mereka dapat gaji sesuai ketentuan yayasan, misalnya untuk ketua yayasan sebesar 20 juta dan bendahara sebesar 15 juta per bulan. Ini baru gaji pokok saja, belum lagi tunjangan dan lainnya.

Seandainya para imam yang bertugas di yayasan itu cukup puas dengan gaji yang sudah ditentukan keuskupan saja (1 juta), maka iasada sisa 33 juta setiap bulan. Dengan 33 juta itu, yayasan ias membiaya anak-anak katolik untuk bersekolah di sekolah katolik untuk tingkat dasar (TK – SMP), baik dengan biaya sekolah gratis maupun potongan 75%. Mungkin dapat dibuat kebijakan bahwa anak dari keluarga tidak mampu digratiskan, sedangkan dari keluarga mampu mendapat potongan sekitar 50% – 75%.

Mari kita buat pengandaian. Misalnya, di keuskupan jumlah TK ada 10, SD ada 10 dan SMP juga 10 sekolah yang tersebar di sejumlah wilayah keuskupan. Jika setiap TK ada sekitar 10 anak katolik, maka total jumlah anak katolik yang TK di seluruh keuskupan ada sekitar 100 anak.  Jika setiap SD ada sekitar 10 anak katolik per kelas, maka total jumlah anak katolik yang di SD seluruh keuskupan ada sekitar 600 anak. Dan jika setiap SMP ada sekitar 10 anak katolik per kelas, maka total jumlah anak katolik yang di SMP seluruh keuskupan ada sekitar 300 anak. Jika semua TK digratiskan, di mana biaya per bulan adalah 50 ribu, maka total semuanya adalah 5 juta (masih ada 28 juta dari 33 juta). Jika semua SD digratiskan, di mana biaya sekolah per bulan adalah 30 ribu, maka total semuanya adalah 18 juta (masih ada sisa 10 juta). Dan jika semua SMP digratiskan, di mana biaya sekolah per bulan adalah 30 ribu, maka total semuanya adalah 9 juta (masih ada sisa 1 juta). Ini adalah hitungan kasar orang yang tidak mengerti ilmu ekonomi.

Dari hitungan-hitungan di atas tampak jelas bahwa anak-anak katolik dapat bersekolah di sekolah katolik tanpa dikenakan uang sekolah. Jika dibuat kebijakan bahwa di setiap jenjang pendidikan anak katolik dikenakan potongan uang sekolahnya sebesar 75 persen, bukan tidak mungkin anak-anak katolik dapat menikmati sekolah hingga tingkat SLTA. Dengan keringanan biaya ini tentulah para orang tua akan mau menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah katolik. Dan dengan ini yayasan katolik turut menjalankan misinya, mencerdaskan putera-puteri Gereja sebagai masa depan Gereja (bdk GE, no 2, 9). Namun semua ini tergantung pada kemauan para imam yang bertugas di yayasan untuk puas dengan gaji 1 juta per bulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar