Masalah klasik dunia pendidikan kita adalah mahalnya sekolah katolik.
Karena desakan kebutuhan ekonomi dan hadangan biaya sekolah katolik yang mahal,
para orang tua akhirnya memilih sekolah negeri untuk anak-anaknya. Sekolah di
sekolah negeri terjangkau biayanya, bahkan ada yang gratis. Memang soal
kualitas pendidikan, umumnya masih di bawah sekolah-sekolah katolik. Namun
orang tua lebih mementingkan aspek ekonomi.
Siapa yang salah? Jelas, dalam hal ini orang tua tidak dapat disalahkan,
karena urusan memilih sekolah adalah kewenangan mutlak para orang tua. Orang
tua bebas menentukan pilihan sekolah untuk anaknya (lih. Gravissimum
Educationis, no. 6, Kitab Hukum Kanonik, Kan. 797). Namun dokumen
konsili Vatikan II menghendaki agar orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah
katolik (GE, no 8, lihat juga KHK, Kan 798). Memang umat katolik terpanggil
untuk mendukung dan menopang sekolah-sekolah katolik (KHK, Kan
800 § 2). Memasukkan anak ke sekolah katolik merupakan salah satu
wujud mendukung sekolah katolik.
Akan tetapi, mengapa sekolah-sekolah katolik mahal sehingga orang tua tidak
mau menyekolahkan anaknya ke sekolah katolik? Inilah pertanyaan yang sering
dilontarkan. Berbagai argumen telah dikemukakan dari pihak sekolah-sekolah
katolik, yang intinya adalah pembenaran atas mahalnya biaya sekolah katolik.
Dan saya tidak tertarik untuk mengulasnya lagi. Saya lebih memilih bertanya,
mungkinkah sekolah katolik gratis atau murah?
Dan saya menemukan jawabannya: BISA. Bagaimana hal itu diterangkan? Saya bukan ahli pendidikan dan juga bukan ahli ekonomi. Saya hanya mau berpikir praktis. Dan dari kepraktisan itulah saya menemukan jawaban itu.
Saya mengambil contoh sekolah-sekolah katolik yang dikelola oleh yayasan
milik keuskupan. Sekolah-sekolah itu tersebar di beberapa wilayah keuskupan.
Ada sekolah unggulan, sekolah biasa dan sekolah “miskin”. Baik sekolah
unggulan, biasa maupun “miskin” mengambil pungutan uang sekolah dari siswa
untuk biaya operasional sekolah, gaji guru dan keperluan lainnya. Keunggulan
sekolah unggulan bukan hanya dilihat dari sisi kemampuan intelek siswa, melainkan
juga kemampuan uang sekolahnya. Sekolah ini diisi oleh murid-murid pintar dari
keluarga kelas atas. Sedangkan sekolah biasa diisi oleh murid dari keluarga
kelas menengah dan sekolah “miskin” dari keluarga kelas bawah.
Biasanya untuk biaya operasional sekolah, yayasan memakai sistem subsidi
silang. Artinya, keuangan sekolah-sekolah unggulan membantu keuangan
sekolah-sekolah “miskin” atau juga sekolah biasa. Akan tetapi, sering terdengar
keluhan bahwa sekolah-sekolah unggulan hanya dilihat dan dijadikan sebagai sapi
perahan. Selain itu juga, banyak anak-anak katolik yang pintar dari keluarga
kelas menengah ke bawah tidak dapat masuk sekolah unggulan. Semuanya terbentur
soal biaya.
Nah, bagaimana caranya agar anak-anak katolik bisa bersekolah di sekolah
katolik, baik yang unggulan maupun biasa-biasa saja?
Umumnya di yayasan yang mengelola pendidikan ada beberapa imam
keuskupannya. Mungkin ketua yayasan dan bendahara yayasannya berasal dari
kalangan imam. Sebagai imam keuskupan mereka tentulah sudah mendapat gaji
sesuai standar keuskupan, misalnya 1 juta. Namun sebagai pegawai yayasan mereka
dapat gaji sesuai ketentuan yayasan, misalnya untuk ketua yayasan sebesar 20
juta dan bendahara sebesar 15 juta per bulan. Ini baru gaji pokok saja, belum
lagi tunjangan dan lainnya.
Seandainya para imam yang bertugas di yayasan itu cukup puas dengan gaji
yang sudah ditentukan keuskupan saja (1 juta), maka iasada sisa 33 juta setiap
bulan. Dengan 33 juta itu, yayasan ias membiaya anak-anak katolik untuk
bersekolah di sekolah katolik untuk tingkat dasar (TK – SMP), baik dengan biaya
sekolah gratis maupun potongan 75%. Mungkin dapat dibuat kebijakan bahwa anak
dari keluarga tidak mampu digratiskan, sedangkan dari keluarga mampu mendapat
potongan sekitar 50% – 75%.
Mari kita buat pengandaian. Misalnya, di keuskupan jumlah TK ada 10, SD ada
10 dan SMP juga 10 sekolah yang tersebar di sejumlah wilayah keuskupan. Jika
setiap TK ada sekitar 10 anak katolik, maka total jumlah anak katolik yang TK
di seluruh keuskupan ada sekitar 100 anak. Jika setiap SD ada
sekitar 10 anak katolik per kelas, maka total jumlah anak katolik yang di SD
seluruh keuskupan ada sekitar 600 anak. Dan jika setiap SMP ada sekitar 10 anak
katolik per kelas, maka total jumlah anak katolik yang di SMP seluruh keuskupan
ada sekitar 300 anak. Jika semua TK digratiskan, di mana biaya per bulan adalah
50 ribu, maka total semuanya adalah 5 juta (masih ada 28 juta dari 33 juta).
Jika semua SD digratiskan, di mana biaya sekolah per bulan adalah 30 ribu, maka
total semuanya adalah 18 juta (masih ada sisa 10 juta). Dan jika semua SMP
digratiskan, di mana biaya sekolah per bulan adalah 30 ribu, maka total
semuanya adalah 9 juta (masih ada sisa 1 juta). Ini adalah hitungan kasar orang
yang tidak mengerti ilmu ekonomi.
Dari hitungan-hitungan di atas tampak jelas bahwa anak-anak katolik dapat
bersekolah di sekolah katolik tanpa dikenakan uang sekolah. Jika dibuat
kebijakan bahwa di setiap jenjang pendidikan anak katolik dikenakan potongan
uang sekolahnya sebesar 75 persen, bukan tidak mungkin anak-anak katolik dapat
menikmati sekolah hingga tingkat SLTA. Dengan keringanan biaya ini tentulah
para orang tua akan mau menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah katolik.
Dan dengan ini yayasan katolik turut menjalankan misinya, mencerdaskan
putera-puteri Gereja sebagai masa depan Gereja (bdk GE, no 2, 9).
Namun semua ini tergantung pada kemauan para imam yang bertugas di yayasan
untuk puas dengan gaji 1 juta per bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar