Selasa, 24 Mei 2022

MENGENAL MENTAL ASAL BAPAK SENANG

Pada jaman rezim Soeharto, kita kenal istilah “Asal Bapak Senang” alias ABS. Istilah ini dikenakan kepada Presiden RI, Soeharto. Maksud dari istilah ini adalah bawahan-bawahan Soeharto selalu memberi laporan yang baik dan bagus dengan tujuan supaya Soeharto senang. Apapun keadaan dan situasinya, laporannya selalu yang baik dan bagus.

Presiden tidak suka jika ada berita negatif tentang negeri ini. Presiden akan marah kalau mendengar berita buruk itu. Tentulah, pemberi laporan akan sedikit mendapat teguran dan ancaman. Oleh karena itu, para menteri berusaha memberikan laporan yang positif, bukan hanya untuk menghindari dari teguran dan amarah, melainkan juga supaya presiden senang. Dari sinilah muncul istilah ABS itu.

Bisa dikatakan bahwa metode “Asal Bapak Senang” menutup mata dan telinga presiden akan situasi dan kondisi bangsa yang sebenarnya. Presiden tidak akan tahu bahwa ada rakyat yang kekurangan makanan atau anak sekolah terlantar. Bawahan-bawahan presiden selalu memberi laporan bahwa rakyat hidup damai sejahtera dan pendidikan Indonesia maju.

Metode Asal Bapak Senang ini ternyata bukan hanya ada dalam dunia sekular (politik kenegaraan). Di kehidupan Gereja juga bisa ditemui metode dan juga sekaligus mental ABS ini. Mungkin istilahnya tidak ABS melainkan AUS (Asal Uskup Senang).

Tak jauh berbeda dengan dunia sekular tadi, mental atau metode Asal Uskup Senang juga lahir dari keinginan uskup yang hanya menghendaki laporan positif dari bawahannya. Para bawahan uskup, misalnya seperti pastor paroki dan ketua-ketua yayasan milik keuskupan, selalu berusaha menampilkan berita dan laporan yang positif dan menutupi atau malah menghilangkan hal yang negatif. Karena itu, uskup hanya tahu yang positif saja.

Kita tidak tahu apakah memang uskup hanya ingin berita yang positif saja karena tak mau dengan berita negatif atau uskup hanya ingin dihibur. Hiburan bisa datang dari laporan-laporan yang menyenangkan. Laporan yang tak menyenangkan tentu tidak akan mendatangkan perasaan senang dan tenang. Bawaannya adalah resah dan gelisah. Atau juga mungkin uskup punya pemikiran bahwa berita positif dapat membawah efek perubahan positif.

Apapun faktor alasannya, sikap uskup yang hanya ingin senang tadi dengan menerima laporan positif, melahirkan mental AUS dalam diri imamnya. Setiap kali kunjungan uskup ke paroki-paroki, pastor paroki selalu setia mendampingi uskup. Pendampingan ini bukan semata-mata karena tuntutan tugas, melainkan menjadi sarana pengalihan perhatian uskup. Pastor paroki dapat dengan mudah menjelaskan hal-hal positif di parokinya. Pastor paroki dapat segera mengalihkan uskup dari hal-hal yang negatif, baik itu dari penglihatan langsung maupun dari komentar umat. Keadaan paroki semuanya dalam keadaan baik. Umat berkembang, keuangan meningkat, ada program ini itu, dan lain sebagainya. Tentu uskup akan senang dengan laporan ini, meski jika ditelisik dengan benar maka akan terlihat bahwa tidak semuanya itu benar; atau mungkin kebalikannya.

Kita bisa bertanya kenapa imam-imam bermental Asal Uskup Senang? Apakah karena mereka meniru mental pejabat pemerintahan di era Orde Baru?

Jika diperhatikan dan direnungkan baik-baik, kita bisa menemukan tiga alasan para imam bermental AUS. Pertama, ada imam yang memang sudah memiliki karakter penjilat. Mental AUS dilakukan untuk membuat uskup senang, karena dengan demikian ia memiliki citra positif di mata uskup. Ada banyak keuntungan yang didapat dengan adanya citra positif ini, di antaranya (1) pelanggengan kekuasaan. Karena positif di mata uskup dengan cara menjilat supaya uskup senang, seorang imam bisa mempertahankan posisi nyamannya. Posisi imam, entah sebagai pastor paroki entah ketua yayasan atau lainnya, tak tergantikan meski kinerjanya kacau dan tak becus. Namun ia akan tetap di posisi itu karena sudah positif di mata uskup. (2) kemudahan jabatan. Karena positif di mata uskup dengan cara menjilat supaya uskup senang, seorang imam bisa mendapatkan jabatan dengan sangat mudah. Sekalipun banyak kinerjanya yang tak beres, namun karena sudah positif di mata uskup, ia selalu mendapat jabatan. (3) pertahanan diri. Karena positif di mata uskup dengan cara menjilat supaya uskup senang, seorang imam bisa mendapat pertahanan diri langsung dari uskup jika ia mendapat kasus. Sekalipun ia korupsi uang atau skandal lainnya, ia akan mendapat pembelaan dari uskup.

Kedua, cari aman. Mental AUS dilakukan demi mencari aman. Sama seperti para pejabat di masa Orde Baru, para imam sudah tahu kalau memberi laporan buruk atau negatif kepada uskup, maka uskup akan marah. Mungkin sang imam tahu bagaimana keadaan uskup yang sedang marah. Bisa saja sangat menakutkan atau mungkin imamnya memikirkan efek kemarahan itu bisa lari ke kesehatan uskup (jantung, misalnya). Karena itu, demi amannya, imam terpaksa menyampaikan hal-hal positif dan menghindari hal-hal negatif dalam laporannya. Sikap cari aman ini terarah kepada dua pihak, yaitu uskup agar tidak mendapat serangan jantung, misalnya; serta imam sendiri supaya posisi jabatannya tak terusik dan terhindari dari ketakutan melihat amarah uskupnya.

Ketiga, sikap apatis. Mental AUS dilakukan sebagian imam karena ia bersikap apatis. Sikap ini lahir dari perjalanan panjang. Mungkin sudah sering ia menyuarakan ketidak-beresan yang terjadi di keuskupan, entah itu di yayasan atau juga di paroki, namun tak pernah ditanggapi. Malah suaranya dirasakan aneh oleh uskup dan imam-imam, yang masuk kategori penjilat. Ia seperti anak-anak kecil yang meniupkan seruling tapi tidak ada yang menari atau menyanyikan kidung duka namun tak ada yang menangis (bdk. Mat 11: 16 – 17). Karena berhadapan dengan kesia-siaan inilah, imam ini memilih bersikap apatis. Di hadapan uskup ia akan bercerita tentang hal-hal yang positif saja. Yang penting Uskup Senang. Bukankah menghibur orang itu baik?

Dapat disimpulkan bahwa mental ABS atau AUS dapat menghambat perkembangan Gereja. Uskup, sebagai pimpinan Gereja Lokal, tidak bisa melihat situasi keuskupannya secara berimbang. Karena hanya mendapatkan laporan positif saja, maka kebijakan uskup bisa tidak tepat sasaran. Umat, yang berada dalam situasi negative, dipaksa untuk mengikuti arahan kebijakan keuskupan yang lahir dari situasi positif. Selain itu, mental ini merusak kehidupan menggereja. Korupsi bisa merajalela dan keburukan imam akan terpelihara karena ia bisa membuat uskup senang.

Menilik semuanya ini, pusat masalahnya ada pada uskup. Dapat dikatakan, uskuplah yang menentukan wajah keuskupannya. Jika uskup suka akan mental atau prinsip AUS ini, maka wajah keuskupan bisa hancur. Tapi jika uskup lebih suka dengan apa adanya, maka wajah keuskupan bisa jernih.

diambil dari tulisan 7 tahun lalu 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar