Jumat, 22 April 2022

KAJIAN ISLAM ATAS SURAH AN-NAML AYAT 91

Aku (Muhammad) hanya diperintahkan menyembah Tuhan negeri ini (Mekah) yang Dia telah menjadikan suci padanya dan segala sesuatu adalah milik-Nya. Dan aku diperintahkan agar aku termasuk orang muslim. (QS 27: 91)


Kutipan ayat di atas adalah kutipan ayat Al-Qur’an. Umat islam yakin bahwa Al-Qur’an merupakan firman yang berasal dari Allah sendiri. Firman itu disampaikan secara langsung kepada nabi Muhammad SAW (570 – 632 M). Berhubung Muhammad adalah seorang yang tidak bisa membaca dan menulis, maka setelah mendapatkan firman Allah itu dia langsung mendiktekan kepada pengikutnya untuk ditulis. Semua tulisan-tulisan itu kemudian dikumpulkan, dan jadilah kita
b yang sekarang dikenal dengan nama Al-Qur’an. Karena itu, apa yang tertulis dalam Al-Qur’an adalah merupakan kata-kata Allah sendiri. Tak heran bila umat islam menganggap kitab tersebut sebagai sesuatu yang suci, karena Allah sendiri adalah mahasuci. Penghinaan terhadap Al-Qur’an adalah juga penghinaan terhadap Allah, dan orang yang melakukan hal tersebut wajib dibunuh. Ini merupakan kehendak Allah sendiri, yang tertuang dalam Al-Qur’an (QS al-Maidah: 33).

Berangkat dari keyakinan umat islam ini, maka kutipan ayat Al-Qur’an di atas haruslah dikatakan merupakan perkataan Allah. Apa yang tertulis di atas, kecuali yang ada dalam tanda kurung, merupakan kata-kata Allah sendiri yang disampaikan kepada Muhammad. Ada 2 kata yang ada dalam tanda kurung, yaitu “Muhammad” dan “Mekkah”. Dapat dipastikan kedua kata tersebut merupakan tambahan kemudian yang berasal dari tangan manusia, bukan asli perkataan Allah. Karena itu, sejatinya wahyu Allah berbunyi sebagi berikut: “Aku hanya diperintahkan menyembah Tuhan negeri ini yang Dia telah menjadikan suci padanya dan segala sesuatu adalah milik-Nya. Dan aku diperintahkan agar aku termasuk orang muslim.”

Dalam perjalanan waktu, umat islam sadar akan kekacauan bahasa dari wahyu Allah tersebut. Mereka bersikukuh bahwa ayat-ayat Al-Qur’an adalah asli wahyu Allah, namun ketika ayat ini dipahami demikian, maka terjadi kekacauan logika. Bagaimana mungkin Allah yang berbicara diperintahkan menyembah Tuhan negeri ini. Hal ini tentu akan memperlihatkan bahwa Allah islam itu tidak hanya satu tetapi dua, yaitu Allah yang bersabda, yang sabda-Nya menjadi kitab suci Al-Qur’an, dan Allah yang disembah oleh Allah yang bersabda. Tentulah ini bertentangan dengan konsep tauhid islam, meski masalah ini ada banyak ditemui dalam Al-Qur’an. Sekali lagi ini membuktikan betapa kacau balaunya Al-Qur’an, sekalipun ia diyakini berasal dari Allah, dan Allah itu maha sempurna. Bagaimana mungkin Allah yang sempurna menghasilkan sesuatu yang tidak sempurna dan kacau balau.

Sadar akan kekacauan logika ini, maka manusia islam di kemudian hari memberi tambahan pada wahyu Allah. Mereka memasukkan kata “Muhammad” sebagai arti dari kata ganti “aku”, dan kata “Mekkah” untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan “negeri ini”. Dalam kutipan ayat yang asli terdapat 3 kali kata ganti “aku”, dan semua itu dimaknai sebagai “Muhammad”. Dengan tambahan ini maka dapatlah dipahami bahwa “Muhammad-lah yang diperintahkan untuk menyembah Tuhan di negeri Mekkah; dan Muhammad-lah yang diperintahkan agar ia menjadi orang muslim.” Karena itu, dapatlah dikatakan kalau Al-Qur’an sekarang sudah tidak asli lagi. Al-Qur’an sekarang tidak murni wahyu Allah, karena di dalamnya ada bahasa manusia yang dibuat oleh manusia.

Penambahan dua kata, secara khusus kata “Muhammad”, pada awalnya menyelesaikan masalah dualisme Allah. Memang masalah dualisme Allah selesai, akan tetapi muncul masalah baru terkait konsep Al-Qur’an adalah wahyu Allah. Apa yang tertulis di dalamnya adalah perkataan Allah. Dengan penambahan kata “Muhammad”, sehingga kutipan tersebut bisa dimaknai “Muhammad-lah yang diperintahkan….” Sangatlah jelas kalau makna tersebut tidak sejalan dengan konsep Al-Qur’an adalah wahyu Allah. Sangat jelas bahwa kutipan ayat tersebut bukanlah wahyu Allah, tetapi perkataan Muhammad. Dengan demikian, konsep Al-Qur’an sebagai wahyu Allah runtuh dengan adanya ayat ini. Jika kata “aku” dimaknai sebagai “Muhammad”, maka ayat ini merupakan perkataan langsung Muhammad, bukan perkataan Allah. Ini bukan saja menunjukkan kekacauan Al-Qur’an tetapi juga ketidak-jelasan dan ketidak-asliannya.

Tak sedikit ulama berusaha menjelaskan permasalahan ini dengan tetap berpegang pada konsep Al-Qur’an adalah wahyu Allah, dan ayat tersebut adalah juga wahyu Allah dengan pemaknaan seperti yang ada sekarang (aku itu adalah Muhammad). Mereka mengatakan bahwa waktu itu Allah berusaha mendikte Muhammad untuk mengulangi kata-kata Allah. Penjelasan ini sedikit masuk akal, apalagi mereka mengatakan bukankah Muhammad itu buta huruf, alias tidak bisa membaca. Untuk yang terakhir ini sudah terbantahkan, karena Al-Qur’an sendiri membuktikan bahwa Muhammad bisa membaca. Penjelasan bahwa Allah berusaha mendikte Muhammad untuk mengulangi perkataan-Nya memang sedikit masuk akal, tapi tidaklah benar sepenuhnya. Jika memang demikian, seharusnya Allah mengawali wahyunya dengan: “Katakanlah ……” sebagaimana banyak dijumpai dalam Al-Qur’an. Jadi, sebelum kutipan ayat itu, ada satu kata tambahan dari Allah, yaitu “katakanlah”. Menjadi persoalan, kata itu tidak ada sehingga kutipan ayat itu tidak bisa dimaknai seperti penjelasan para ulama itu.

DEMIKIANLAH kajian atas surah an-Naml ayat 91. Dari telaah singkat tadi dapat ditarik beberapa kesimpulan

1.    Ayat 91 dari surah an-Naml dapat dipastikan bukanlah wahyu Allah, tetapi perkataan Muhammad. Jika demikian maka ayat ini menodai kesucian dan kemurnian Al-Qur’an sebagai wahyu Allah. Bukankah pada QS al-Kahf: 27 Allah sudah mengatakan tidak ada yang bisa mengubah-ubah (menambah atau mengurangi) Al-Qur’an.

2.    Sekalipun Al-Qur’an dikatakan sebagai kitab yang jelas, kutipan ayat ini, seandainya benar merupakan perkataan Allah, sungguh tidaklah jelas. Jika tanpa tambahan kemudian (“Muhammad” dan “Mekkah”) tentulah ayat ini sangat sulit dipahami sebagai wahyu Allah.

3.    Apabila kutipan ayat ini dianggap sebagai asli wahyu Allah, dengan tanpa tambahan kemudian, maka akan melahirkan pemahaman dualisme Allah. Tentu saja ini bertentangan dengan konsep tauhid islam.

4.    Ada begitu banyak kekacauan dan ketidak-jelasan ayat Al-Qur’an. Hal ini seakan membenarkan apa yang dikatakan Ali Sina, dalam bukunya “Understanding Muhammad: A Psychobiography”, bahwa Al-Qur’an “adalah buku yang membingungkan, tulisannya kacau balau, penuh khayalan dan pernyataan-pernyataan yang tidak masuk akal.” (hlm 224). Dan J.K Sheildlin, dalam bukunya, “The People vs Muhammad: Psychological Analysis”, mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan “pikiran orang bingung yang dituliskan di atas kertas.” (hlm. 81).

Masihkah kita percaya Al-Qur’an itu wahyu Allah yang langsung turun dari surga? Pakailah akal sehatmu untuk menjawabnya.

Dabo Singkep, 11 Februari 2022 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar