Jumat, 10 Desember 2021

KAJIAN ISLAM ATAS SURAH AL-BAQARAH AYAT 113

 


Dan orang Yahudi berkata, “Orang Nasrani itu tidak memiliki sesuatu (pegangan),” dan orang-orang Nasrani (juga) berkata, “Orang-orang Yahudi tidak memiliki sesuatu (pegangan),” padahal mereka membaca Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak berilmu, berkata seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili mereka pada hari kiamat, tentang apa yang mereka perselisihkan. (QS 2: 113)

Kutipan ayat di atas diambil dari Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 113. Karena Al-Qur’an diyakini merupakan wahyu yang langsung dari Allah, maka kutipan kalimat di atas harus dilihat sebagai perkataan Allah sendiri. Seperti itulah kata-kata Allah (kecuali 3 kata yang ada dalam tanda kurung), saat diucapkan-Nya kepada Muhammad. Dan Muhammad kemudian meminta pengikutnya untuk menulis kembali apa yang dikatakan Allah itu. Tulisan-tulisan itu kemudian dikumpulkan, dan jadilah kitab Al-Qur’an, seperti yang sekarang ini. Tiga kata dalam tanda kurung pada kutipan kalimat di atas, harus dilihat bukan sebagai kata-kata Allah, melainkan tambahan dari manusia dikemudian hari.

Bagi umat islam, Al-Qur’an diyakini sebagai pusat spiritualitas dan dasar iman bagi hidupnya. Karena Allah itu mahabenar, maka perkataan-Nya, yang tertulis di dalam Al-Qur’an adalah juga benar. Hal inilah yang kemudian membuat Al-Qur’an dikenal sebagai kitab kebenaran. Jika ditanya kepada umat islam kenapa begitu, pastilah mereka menjawab karena itulah yang dikatakan Al-Qur’an. Ini ibarat seseorang mengaku dirinya pintar karena dia sendiri yang mengatakannya.

Jika mencermati kutipan wahyu Allah di atas, dapatlah dikatakan bahwa kutipan tersebut tidak sepenuhnya berasal dari Allah. Setidaknya kutipan di atas terdiri dari 3 kalimat. Dua kalimat pertama merupakan pernyataan manusia yang bukan pengikut Muhammad, yang kebetulan didengar oleh Allah. Kalimat pertama adalah kutipan langsung pernyataan orang Yahudi dan Nasrani, dan Allah memberi sedikit penilaian atau tanggapan, “padahal mereka membaca Kitab.” Sedangkan kalimat kedua merupakan kutipan tidak langsung. Di sini Allah sama sekali tidak memberi tanggapan atau penilaian. Jadi, terlihat jelas di sini Allah hanya sekedar mengutip kembali apa yang dikatakan orang-orang yang bukan islam dan menyampaikannya kepada Muhammad. Baru kalimat ketiga bisa dikatakan merupakan kata-kata Allah. Kalimat ketiga ini menjadi tanggapan atas dua kalimat sebelumnya.

Kutipan perkataan Allah di atas sungguh menarik untuk dicermati dan ditelaah. Agar bisa sedikit lebih fokus, maka penelaahan wahyu Allah tersebut didasarkan pada kalimat-kalimat yang ada. Dengan perkataan lain, penelaahan dilakukan kalimat per kalimat.

Pada kalimat pertama, tampak jelas kutipan langsung pernyataan orang Yahudi dan Nasrani. Dapat dikatakan bahwa di sini terjadi pertentangan dan persaingan antara orang Yahudi dan Nasrani, dan kebetulan Allah mendengar lalu menyampaikannya kepada Muhammad. Yang dipertentangkan atau diperselisihkan di antara dua kelompok ini adalah soal “pegangan”. Apa yang dimaksud dengan “pegangan” itu? Tentu ini akan menjadi perdebatan, sekalipun atas perselisihan itu Allah memberikan tanggapan-Nya bahwa orang Yahudi dan Nasrani membaca Kitab. Akan tetapi, kitab apa yang dimaksud? Bukankah “kitab” itu juga bisa menjadi bahan perselisihan, karena kitab Yahudi tentulah berbeda dengan kitab Nasrani? Di sini terlihat bahwa tanggapan atau penilaian Allah ngawur atau tidak jelas. Ketidak-jelasan yang diberikan Allah di sini membuat wahyu Allah bertentangan dengan dirinya sendiri, karena Al-Qur’an dikatakan sebagai kitab atau keterangan yang jelas, serta penjelasan yang sempurna (QS Ali Imran: 138 dan QS Ibrahim: 52).

Masih di kalimat pertama, kutipan langsung dari orang Yahudi dan Nasrani dapat dinilai sebagai omongan orang “murahan”. Artinya, yang mengatakan orang Nasrani atau orang Yahudi “tidak memiliki sesuatu (pegangan)” itu ibarat diskusi warung kopi, atau debat kusir, bukan berasal dari tokoh agama kedua agama tersebut. Omongan-omongan tersebut sama sekali tidak mempunyai dasar resmi ajaran agama; semuanya murni ungkapan emosional. Dan yang menariknya adalah omongan ini yang didengar dan dipersoalkan oleh Allah. Hal yang sama juga dengan kalimat kedua. Dalam kalimat tersebut, secara implisit terungkap Allah mempersoalkan omongan orang yang tak berilmu. Ini mirip seperti seorang professor menanggapi diskusi atau debat kusir anak SD. Wahyu Allah ini, khususnya dua kalimat pertama, kembali hendak menegaskan salah satu ciri khas Allah islam, yaitu sibuk menanggapi pernyataan-pernyataan orang yang belum jelas juga kebenarannya. Gambaran Allah yang sibuk mengurusi pernyataan-pernyataan orang non muslim banyak ditemukan dalam Al-Qur’an.

Selain itu, kalimat kedua juga mengungkapkan ketidak-jelasan wahyu Allah ini. Siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang tak berilmu? Apa isi ucapan orang-orang itu, dan siapa yang dimaksud dengan kata “mereka”? Jika memang benar Al-Qur’an adalah kitab atau keterangan yang jelas (QS Ali Imran: 138 dan QS Ibrahim: 52), maka sudah seharusnya ketika menyampaikan firman-Nya kepada Muhammad, Allah sudah langsung menegaskan sosok (entah itu oknum atau kelompok) orang tidak berilmu, dan siapa yang dimaksud dengan “mereka” serta apa isi ucapannya.

Kalimat ketiga berisi pernyataan Allah yang akan mengadili atau menghakimi perselisihan antara orang Yahudi dan orang Nasrani, termasuk juga orang-orang yang tak berilmu. “Maka Allah akan mengadili mereka pada hari kiamat, tentang apa yang mereka perselisihkan.” Pengadilan tersebut akan terjadi pada akhir zaman. Ada dua poin menarik dari wahyu Allah ini. Pertama, dikatakan bahwa Allah akan mengadili. Pertama-tama harus disadari dan dipahami bahwa yang mengucapkan kalimat tersebut adalah Allah. Jadi, Allah menggunakan kata “Allah”, yang secara linguistik bisa dimaknai bahwa Allah yang disebut itu bukanlah Allah yang sedang berbicara. Dengan kata lain, ada 2 Allah, yaitu Allah yang sedang berbicara dan Allah yang akan mengadili. Allah yang akan mengadili tidak sama dengan Allah yang berbicara.

Kedua, Allah yang mana, yang akan mengadili kelompok-kelompok yang berselisih? Karena, bila dikaitkan dengan ayat 112, terlihat jelas bahwa tiap-tiap agama memiliki Allahnya sendiri. Di sini akan terlihat kekacauan pikiran Allah, yang sedang berbicara kepada Muhammad. Apakah mungkin Allah orang Yahudi atau Allah orang Nasrani yang mengadili perselisihan kelompok-kelompok itu? Tentulah, sangat sulit untuk membayangkan hal ini. Namun, bila Allah islam yang melakukannya, semakin jelas ciri khas Allah islam, yaitu mahasibuk. Sepertinya Allah SWT tidak punya pekerjaan penting lain untuk umat islam, sehingga sibuk mengurusi umat agama lain. Ciri Allah ini menjadi ciri umum islam. Hanya islam saja agama yang sibuk mengurusi agama lain. Misalnya, mengatakan kitab suci agama lain palsu, mengatakan yang bukan islam adalah kafir atau mengatakan bahwa Yesus tidak mati di salib. Ada kesan kalau ciri ini merasuk juga ke dalam kehidupan umat islam. Karena itu, sekali pun sekolah negeri, tapi siswi non muslim wajib pakai jilbab demi menciptakan akhlak; atau saat bulan Ramadhan umat lain harus menghormati umat islam yang puasa.

DEMIKIANLAH kajian atas surah al-Baqarah ayat 113. Dalam kutipan wahyu Allah ini tidak ditemukan nilai atau pesan berharga sebagai pedoman hidup. Tidak ada pesan untuk membangun umat islam. Yang justru ada adalah semangat mengurusi atau mencampuri urusan orang lain. Di sini Allah islam terlihat arogan. Selain itu, terlihat juga adanya ketidak-jelasan wahyu Allah ini. Hal inilah membuat Al-Qur’an yang dinilai sebagai keterangan yang jelas menjadi tidak jelas. Namun sayangnya, umat islam tetap saja yakin bahwa wahyu Allah itu jelas. Dapatlah dikatakan bahwa yang pasti jelas itu adalah ketidak-jelasan.

Di atas sudah dikatakan bahwa kutipan ayat di atas adalah perkataan Allah sendiri. Namun ketika ditelaah terlihat Allah begitu bodoh alias tidak bijaksana. Hal ini tentulah membuat orang akan meragukan kalau ayat itu berasal dari Allah. Bagaimana mungkin Allah yang maha bijaksana bisa tampil bodoh. Bagaimana mungkin Allah yang maha sempurna bisa tidak jelas. Bagi orang yang punya akal sehat pastilah akan mengatakan bahwa kutipan ayat di atas bukanlah merupakan wahyu Allah, tetapi hasil rekayasa manusia. Hanya manusia yang suka sibuk mencampuri urusan orang lain. Dan hanya manusia saja, yang karena keterbatasannya, bisa tampil bodoh. Dan manusia yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah Muhammad.

Lingga, 4 November 2021

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar