Setiap pemeluk agama di muka bumi ini tentulah mempunyai hari-hari istimewa
keagamaan. Umat muslim memiliki Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Umat Hindu
ada Hari Raya Nyepi dan Galungan. Hari Raya Waisak merupakan hari istimewa bagi
umat Buddha. Orang Kristen punya Hari Raya Natal dan Paskah. Konghucu atau
etnis Tionghoa merayakan imlek.
Adalah kebiasaan umum bila menjelang atau pada saat hari raya yang
bersangkutan sering terdengar ucapan selamat hari raya antar manusia. Bagi
masyarakat plural, adalah wajar dan biasa jika ucapan selamat itu diucapan.
Ketika orang islam merayakan Hari Raya Idul Fitri, ucapan selamat hari raya itu
tidak hanya diucapkan oleh umat muslim saja, melainkan juga oleh umat agama
lain. Demikian pula bila orang Buddha merayakan Waisak, maka akan ada ucapan
selamat dari rekan, kenalan atau keluarga yang non Buddha.
Pengalaman pribadi sudah membuktikan hal itu.
Sekalipun kami bukan muslim, namun ketika Idul Fitri atau Idul
Adha, kami sudah terbiasa berkunjung dan mengucapkan selamat
kepada salah satu anggota keluarga, rekan, kenalan dan sahabat.
Adalah suatu kebahagiaan saat mengucapkan hal itu, apalagi bila ucapan itu
dilakukan secara langsung dengan salaman dan seuntai senyum. Sungguh dunia
terasa damai. Demikian saat Hari Raya Waisak (kepada kenalan) atau Imlek.
Tak lama lagi umat kristen, baik katolik, ortodoks maupun protestan, akan merayakan hari raya natal. Umumnya natal diidentikkan dengan perayaan ulang tahun kelahiran Yesus Kristus. Sebenarnya perayaan ini tidak hanya buat umat kristiani saja, tetapi juga umat islam karena islam menghormati Yesus. Dalam islam Yesus dikenal dengan sebutan Isa Almasih. Jadi, kelahiran Yesus adalah juga kelahiran Isa Almasih. Merayakannya tak jauh beda ketika merayakan maulid nabi (ulang tahun kelahiran Muhammad). Akan tetapi, kenapa islam mengharamkan natal?
Karena itu, menjelang hari raya natal jamak ditemui kampanye dari umat
islam untuk tidak mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani. Dalam islam
hukumnya haram. Tak heran ketika ketua Majelis
Permusyawaratan Ulama Banda Aceh, Abdul Karim Syeikh, mengeluarkan
fatwa haram bagi ucapan selamat Natal. Artinya, umat muslim Aceh dilarang
mengucapkan selamat Hari Raya Natal kepada umat kristiani. Dikatakan bahwa
larangan tersebut merupakan aqidah. Bahkan Jamaah Ansharus
Syariah di Mojokerto sempat menyebarkan dan membawa spanduk
berisi larangan mengucapkan selamat natal bagi umat muslim.
Sebenarnya, soal fatwa haram mengucapkan Selamat Hari Raya Natal bukanlah
merupakan hal yang baru. Pada level nasional pun sebenarnya fatwa ini sudah
ada. Pada Maret 1981, Majelis Ulama Indoesia, yang saat itu dipimpin oleh Haji Abdul Karim
Amrullah, atau yang biasa dikenal Buya Hamka, mengeluarkan fatwa
haram ucapan selamat Natal. Konon, sekalipun mendapat tekanan dari penguasa
saat itu, Presiden Soeharto, yang memintanya untuk mencabut fatwa itu, Buya
Hamka bersikukuh. Ia tidak mau mencabut fatwanya. Beliau malah lebih
memilih mundur dari MUI ketimbang menarik kembali fatwa haram tersebut. Di
sini terlihat bahwa Buya Hamka lebih taat pada ajaran agama ketimbang kekuasaan
politik sekular.
Sampai saat ini fatwa haram tersebut belum pernah dicabut oleh MUI. Ini
menunjukkan bahwa fatwa itu masih berlaku. Jadi, fatwa haram yang dikeluarkan
oleh ulama Aceh atau pernyataan dari Jamaah Ansharus Syariah hanya
sekedar menegaskan atau mengingatkan kembali umat muslim akan fatwa lama.
Artinya, umat islam di Indonesia dilarang mengucapkan Selamat Hari Raya
Natal kepada umat kristiani yang merayakannya.
Seperti yang telah dikatakan di atas, reaksi
awal kami adalah kaget. Namun kami berusaha memahami. Salah
satu pemahaman sederhana adalah, fatwa haram tersebut lahir dari seorang dengan
“jabatan” sebagai ulama. Bagi kami, ulama adalah sosok orang yang ahli
dalam bidang agama. Mereka bukanlah orang sembarangan. Segala keputusan mereka
selalu berdasarkan pertimbangan ajaran agama. Oleh karena itu, fatwa haram ini
lahir dengan pertimbangan ajaran agama. Dengan kata lain, agama mengajarkan
umatnya untuk tidak mengucapkan Selamat Hari Raya Natal kepada umat kristiani.
Dari sinilah akhirnya muncul sikap menghargai. Kami menghargai
keputusan tersebut. Kami menghormati fatwa haram itu, karena ia lahir
dari ajaran agama. Agama Islam melarang umat islam memberi ucapan Selamat Natal kepada
umat kristen. Karena itu, kami dapat memaklumi bila pada Hari Raya
Natal nanti, kami tidak menerima ucapan salam dari saudara, kenalan,
rekan dan sahabat.
Kami mengajak umat kristiani untuk bisa juga memakluminya. Umat
kristen hendaknya memahami situasi yang dihadapi oleh rekan, kenalan, keluarga
atau sahabatnya yang muslim, karena mereka terikat oleh fatwa haram tersebut.
Umat kristiani tidak boleh merasa bingung dan aneh, karena fatwa itu bukan
lahir dari orang yang tidak paham akan agamanya, melainkan orang yang
benar-benar mengerti. Bahkan bisa dikatakan bahwa fatwa itu merupakan
ajaran agamanya. Jika agama sudah mengajarkan demikian, maka sebagai umat
muslim terikat untuk menaatinya. Sementara umat non muslim hanya bisa
memahaminya saja. Dengan memahami, maka kita akan bisa menghargai. Yang
dihargai bukan hanya orangnya, tetapi juga agamanya.
Semoga fatwa haram ini tidak mengurangi rasa hormat umat kristiani kepada
umat muslim, sehingga benih toleransi tetap terjaga dan terpelihara di bumi
Indonesia yang bhineka ini. Yesus, yang pada natal ini diperingati
kelahiran-Nya, mengajarkan kita untuk memberkati, bukan mengutuk, mereka yang
membenci dan memusuhi kita.
diolah dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar