Minggu, 21 Desember 2014

Orang Kristen Sikapi Fatwa Haram Ucap Selamat Natal

Setiap pemeluk agama di muka bumi ini tentulah mempunyai hari-hari istimewa keagamaan. Umat muslim memiliki Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Umat Hindu ada Hari Raya Nyepi dan Galungan. Hari Raya Waisak merupakan hari istimewa bagi umat Buddha. Orang Kristen punya Hari Raya Natal dan Paskah. Konghucu atau etnis Tionghoa merayakan imlek.

Adalah kebiasaan umum bila menjelang atau pada saat hari raya yang bersangkutan sering terdengar ucapan selamat hari raya antar manusia. Bagi masyarakat plural, adalah wajar dan biasa jika ucapan selamat itu diucapan. Ketika orang islam merayakan Hari Raya Idul Fitri, ucapan selamat hari raya itu tidak hanya diucapkan oleh umat muslim saja, melainkan juga oleh umat agama lain. Demikian pula bila orang Buddha merayakan Waisak, maka akan ada ucapan selamat dari rekan, kenalan atau keluarga yang non Buddha.

Pengalaman pribadi sudah membuktikan hal itu. Sekalipun kami bukan muslim, namun ketika Idul Fitri atau Idul Adha, kami sudah terbiasa berkunjung dan mengucapkan selamat kepada salah satu anggota keluarga, rekan, kenalan dan sahabat. Adalah suatu kebahagiaan saat mengucapkan hal itu, apalagi bila ucapan itu dilakukan secara langsung dengan salaman dan seuntai senyum. Sungguh dunia terasa damai. Demikian saat Hari Raya Waisak (kepada kenalan) atau Imlek.

Karena itu, kami sedikit kaget membaca berita bahwa ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Banda Aceh, Abdul Karim Syeikh, mengeluarkan fatwa haram bagi ucapan selamat Natal. Artinya, umat muslim Aceh dilarang mengucapkan selamat Hari Raya Natal kepada umat kristiani. Dikatakan bahwa larangan tersebut merupakan aqidah. Bahkan baru-baru ini (17/12), Jamaah Ansharus Syariah di Mojokerto sempat menyebarkan dan membawa spanduk berisi larangan mengucapkan selamat natal bagi umat muslim.

Sebenarnya, soal fatwa haram mengucapkan Selamat Hari Raya Natal bukanlah merupakan hal yang baru. Pada level nasional pun sebenarnya fatwa ini sudah ada. Pada Maret 1981, Majelis Ulama Indoesia, yang saat itu dipimpin oleh Haji Abdul Karim Amrullah, atau yang biasa dikenal Buya Hamka, mengeluarkan fatwa haram ucapan selamat Natal. Konon, sekalipun mendapat tekanan dari penguasa saat itu, Presiden Soeharto, yang memintanya untuk mencabut fatwa itu, Buya Hamka bersikukuh. Ia tidak mau mencabut fatwanya. Beliau malah lebih memilih mundur dari MUI ketimbang menarik kembali fatwa haram tersebut. Di sini terlihat bahwa Buya Hamka lebih taat pada ajaran agama ketimbang kekuasaan politik sekular.
Sampai saat ini fatwa haram tersebut belum pernah dicabut oleh MUI. Ini menunjukkan bahwa fatwa itu masih berlaku. Jadi, fatwa haram yang dikeluarkan oleh ulama Aceh atau pernyataan dari Jamaah Ansharus Syariah hanya sekedar menegaskan atau mengingatkan kembali umat muslim akan fatwa lama. Artinya, umat islam di Indonesia dilarang mengucapkan Selamat Hari Raya Natal kepada umat kristiani yang merayakannya.

Seperti yang telah dikatakan di atas, reaksi awal kami adalah kaget. Namun kami berusaha memahami. Salah satu pemahaman sederhana adalah, fatwa haram tersebut lahir dari seorang dengan “jabatan” sebagai ulama. Bagi kami, ulama adalah sosok orang yang ahli dalam bidang agama. Mereka bukanlah orang sembarangan. Segala keputusan mereka selalu berdasarkan pertimbangan ajaran agama. Oleh karena itu, fatwa haram ini lahir dengan pertimbangan ajaran agama. Dengan kata lain, agama mengajarkan umatnya untuk tidak mengucapkan Selamat Hari Raya Natal kepada umat kristiani.

Dari sinilah akhirnya muncul sikap menghargai. Kami menghargai keputusan tersebut. Kami menghormati fatwa haram itu, karena ia lahir dari ajaran agama. Agama Islam melarang umat islam memberi ucapan Selamat Natal kepada umat kristen. Karena itu, kami dapat memaklumi bila pada Hari Raya Natal nanti, kami tidak menerima ucapan salam dari saudara, kenalan, rekan dan sahabat.

Kami mengajak umat kristiani untuk bisa juga memakluminya. Umat kristen hendaknya memahami situasi yang dihadapi oleh rekan, kenalan, keluarga atau sahabatnya yang muslim, karena mereka terikat oleh fatwa haram tersebut. Umat kristiani tidak boleh merasa bingung dan aneh, karena fatwa itu bukan lahir dari orang yang tidak paham akan agamanya, melainkan orang yang benar-benar mengerti. Bahkan bisa dikatakan bahwa fatwa itu merupakan ajaran agamanya. Jika agama sudah mengajarkan demikian, maka sebagai umat muslim terikat untuk menaatinya. Sementara umat non muslim hanya bisa memahaminya saja. Dengan memahami, maka kita akan bisa menghargai. Yang dihargai bukan hanya orangnya, tetapi juga agamanya.

Semoga fatwa haram ini tidak mengurangi rasa hormat umat kristiani kepada umat muslim, sehingga benih toleransi tetap terjaga dan terpelihara di bumi Indonesia yang bhineka ini. Yesus, yang pada natal ini diperingati kelahiran-Nya, mengajarkan kita untuk memberkati, bukan mengutuk, mereka yang membenci dan memusuhi kita.
Tanjung Pinang, 20 Desember 2014
by: adrian

4 komentar:

  1. aneh ya..., koq ada agama yang mengajarkan kebencian kepada sesama manusia

    BalasHapus
  2. aneh ya! Mau ucap selamat hari raya orang pun di larang. Dosa lagi. Dan itu atas dasar agama. Sungguh aneh!

    BalasHapus
    Balasan
    1. menurut kalian mungkin aneh, atau itu merupakan hal yang tidak baik, karena hal tersebut kalian lihat dari sudut pandang kalian dan dari posisi kalian saat ini, tapi dalam ajaran islam, larangan pengucapan selamat hari raya untuk orang yang bukan islam adalah hal yang wajar dan memang seharusnya begitu, karena jika kami melakukan itu atau mengucapkan selamat hari raya untuk orang yang bukan islam itu artinya kami ikut merasa gembira dan senang atas perayaan hari besar umat non-muslim, dan bagaimana bisa kami merasa gembira dengan perayaan umat non-muslim yang sudah jelas bahwa kalian-kalian itu (non-muslim) adalah agama yang menutup kebenaran bahwa nabi Muhammad adalah nabi terakhir yang membawa ajaran pelengkap dari para nabi-nabi sebelumnya?? sedangkan kalian saja tidak percaya dan tidak meyakini dengan adanya nabi Muhammad SAW?

      Hapus
    2. Benar juga apa yang dikatakan SMA Negeri 5 Batam. Semua itu karena masing-masing memakai cara pandang sendiri. Mungkin tulisan berikut ini (linknya: http://budak-bangka.blogspot.co.id/2013/12/opiniku-menyikapi-fatwa-haram-ucap.html#links) bisa sedikit membantu.

      Ternyata kritiknya kena juga untuk dirinya sendiri ketika menyentuh nabi Muhammad. SMA Negeri 5 merasa aneh ketika umat non muslim tidak mau menerima Muhammad sebagai nabi terakhir. Tapi dia lupa bahwa kenabian Muhammad ditolak berdasarkan standar umum. Dengan standar itu, orang justru melihat Muhammad sebagai pembohong. Bagaimana mungkin dikatakan nabi jika nafsu seksnya tinggi, sadis nan biadab. Demikianlah dasar penolakan kebanyakan orang.

      Hapus