Jumat, 12 November 2021

TELAAH ATAS SURAH HUD AYAT 27

 


Maka berkatalah para pemuka yang kafir dari kaumnya, “Kami tidak melihat engkau, melainkan hanyalah seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang yang mengikuti engkau, melainkan orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya. Kami tidak melihat kamu memikili sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami menganggap kamu adalah orang pendusta. (QS 11: 27)

Dewasa kini, jika dikatakan Al-Qur’an tentulah orang langsung memahaminya sebagai kitab suci umat islam yang bertuliskan bahasa Arab, yang terdiri dari 114 surah. Harus diakui Al-Qur’an merupakan pusat spiritualitas umat islam. Ia dipercaya sebagai wahyu Allah yang disampaikan langsung kepada nabi Muhammad SAW (570 – 632 M). Kepercayaan ini didasarkan pada perkataan Allah sendiri yang banyak tersebar dalam Al-Qur’an. Karena Allah itu mahabenar, maka perkataan-Nya, yang tertulis di dalam Al-Qur’an adalah juga benar. Hal inilah yang kemudian membuat Al-Qur’an dikenal sebagai kitab kebenaran, meski kebenaran Al-Qur’an sungguh membingungkan bagi orang yang terbiasa menggunakan akal sehat. Selain itu, Al-Qur’an juga dikenal sebagai kitab yang jelas, karena bersumber dari Allah yang maha mengetahui. Jika ditanya kepada umat islam kenapa Al-Qur’an merupakan kitab kebenaran dan kitab yang jelas, pastilah mereka menjawab karena itulah yang dikatakan Al-Qur’an.

Berangkat dari premis bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah, maka kutipan ayat Al-Qur’an di atas haruslah dikatakan berasal dari Allah dan merupakan satu kebenaran. Apa yang tertulis pada kutipan di atas (kecuali yang ada di dalam tanda kurung), semuanya diyakini merupakan kata-kata Allah, yang kemudian ditulis oleh manusia. Seperti itulah kata-kata Allah (sekali lagi minus yang di dalam tanda kurung), saat berbicara kepada Muhammad. Di kemudian hari Muhammad meminta pengikutnya menulis apa yang dia dengar. Karena surah ini masuk dalam kelompok surah Makkiyyah, maka bisa dipastikan bahwa Allah menyampaikan wahyu ini saat Muhammad ada di Mekkah.

Jika membaca dengan perlahan dan sedikit merenungkannya, maka dapatlah dikatakan bahwa kutipan ayat di atas sebenarnya bukanlah merupakan perkataan asli Allah, melainkan para pemuka orang kafir. Allah hanya sekedar mengutip kembali apa yang dikatakan para pemuka kafir itu dan menyampaikannya kepada Muhammad. Hanya itu saja. Hal ini membuat wahyu Allah dalam surah Hud: 27 menjadi menarik untuk ditelaah. Kajian atas kutipan ayat Al-Qur’an di atas akan membongkar premis-premis tentang Al-Qur’an.

Sebelum menelaah lebih lanjut ayat Al-Qur’an di atas, terlebih dahulu diberikan tafsiran atas ayat tersebut. Kalau membaca sekilas, bisa dikatakan bahwa kutipan ayat di atas mau bercerita tentang sikap orang kafir terhadap Muhammad. Memang dalam kutipan wahyu Allah di atas sama sekali tidak ada tertulis kata “Muhammad”. Namun, kata ganti “engkau” (2 kali) dan “kamu” (2 kali) merupakan kata ganti yang merujuk pada sosok Muhammad. Ada tiga sikap yang tersurat dalam wahyu Allah itu, yaitu [1] menganggap Muhammad sebagai manusia biasa; [2] merendahkan Muhammad (terlihat dari gambaran pengikutnya dan tidak ada kelebihan Muhammad; [3] menilai Muhammad sebagai pendusta. Secara tersirat, sikap orang kafir terhadap Muhammad dapat disederhanakan menjadi sikap menolak kenabian Muhammad.

Atas ketiga sikap orang kafir terhadap Muhammad ini, dapatlah diajukan beberapa pertanyaan. Namun, sebelum sampai ke sana, pertama-tama bisa dipertanyakan, siapa yang dimaksud dengan “para pemuka yang kafir dari kaumnya”. Frase ini muncul sebanyak 7 kali dalam bentuk kata ganti orang “kami”. Akan tetapi, tidak jelas siapa yang dimaksud dengan pemuka orang kafir ini. Ayat 27 ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan ayat sebelum dan sesudahnya (ayat 26 dan 28). Sungguh lucu, ayat sebelum dan sesudahnya berkisah tentang Nuh, namun dipotong oleh ayat 27 yang baru sama sekali. Dapatlah dipastikan bahwa ayat 27 sama sekali tidak berkisah tentang Nuh, melainkan tentang Muhammad. Bagaimana mungkin ayat 26 berbicara tentang Nuh, namun tiba-tiba muncul tentang Muhammad dalam ayat 27 dan kembali kepada kisah Nuh (ayat 28). Hal ini hendak menunjukkan tidak jelasnya jalan pikiran Allah.

Pertanyaan tentang siapa “para pemuka yang kafir dari kaumnya” tentulah menjadi perdebatan. Berhubung wahyu Allah ini turun di Mekkah, ada beberapa kelompok kaum kafir di sana. Ada orang Arab sendiri, orang Yahudi, orang Kristen dari aliran Nestorian, yang telah dianggap sebagai bida’ah, dan masih banyak orang kafir lainnya. Mereka semua sama-sama menolak Muhammad sebagai nabi. Nah, yang mana yang dimaksud dalam wahyu Allah tersebut? Sungguh tidak jelas. Hal ini membuat premis yang mengatakan Al-Qur’an sebagai kitab yang jelas menjadi runtuh. Dan jika runtuh, maka sumbernya pun, yakni Allah, patutlah dipertanyakan. Sungguhkah Allah yang berfirman?

Sekarang tiga sikap penolakan Muhammad sebagai nabi perlu ditelaah. Ada dua alasan kenapa orang kafir menolak Muhammad sebagai nabi. Pertama, karena Muhammad tak jauh beda dengan kaum kafir. Muhammad hanyalah manusia biasa. Dia tidak punya kelebihan, sebagaimana dimiliki oleh orang yang dianggap sebagai nabi. Pada titik ini, bisalah diperkirakan bahwa yang dimaksud dengan “para pemuka yang kafir dari kaumnya” adalah orang Yahudi atau Kristen. Bagi orang Yahudi dan Kristen, sosok nabi memiliki keistimewaan, yang membuatnya lain dari manusia biasa. Nah, keistimewaan itu tak terlihat pada diri Muhammad. Para pengikutnya pun berasal dari kalangan rendahan dan juga bodoh, yang mudah dibodoh-bodohi Muhammad.

Kedua, karena Muhammad adalah seorang penipu. Bagaimana orang kafir bisa sampai pada kesimpulan ini? Berdasarkan kutipan wahyu Allah di atas, dapatlah ditafsirkan bahwa kesimpulan orang kafir itu berangkat dari penilaian mereka atas diri pengikut Muhammad. Dikatakan bahwa mereka itu “lekas percaya”. Frase ini hendak menunjukkan kurangnya daya kritis. Lebih lanjut bisa dikatakan bahwa orang yang lekas percaya adalah orang yang bodoh. Orang bodoh mudah sekali dibodoh-bodohi, alias ditipu. Mereka tak mempunyai kemampuan bernalar. Tentulah jika hanya berdasarkan ini, kesimpulan Muhammad sebagai penipu masih terasa lemah. Harus ada pembuktian lain. Mungkin orang Kristen dan Yahudi pernah mendengar warta Muhammad yang terasa tidak masuk akal. Misalnya, kisah Adam dan Hawa yang berada di surga bersama dengan iblis (QS al-Araf: 19 – 25), atau warta tentang proses jadinya manusia (QS al-Mukminum: 12 – 14; QS Fatir: 11; QS Mukmin: 67).

Gelar Muhammad sebagai pembohong ternyata banyak ditemukan pada surah-surah lain, yang masih satu kelompok dengan surah Hud. Misalnya, dalam QS al-Furqan: 4 dan QS Saba: 43. Di sini dikatakan bahwa Al-Qur’an yang diwartakan Muhammad hanyalah kebohongannya. Secara implisit mau dikatakan bahwa Al-Qur’an hanyalah ciptaan Muhammad, bukan wahyu Allah.

Ada satu hal yang menarik dari kutipan wahyu Allah di atas. Seperti yang telah dikatakan, kutipan ayat Al-Qur’an itu merupakan pernyataan para pemuka kaum kafir yang dikutip Allah lalu disampaikan kepada Muhammad. Model wahyu seperti ini jamak ditemukan dalam Al-Qur’an. Di sini terlihat kalau Allah tidak mampu melahirkan wahyu sendiri, tetapi mengutip pernyataan manusia lain. Yang membuat kutipan wahyu Allah di atas menjadi menarik adalah Allah hanya sebatas mengutip dan menyampaikan kepada Muhammad. Ini tidak seperti biasanya. Umumnya, Allah mengutip, menyampaikan kepada Muhammad dengan tambahan pernyataan. Ambil contoh QS al-Furqan: 4; QS al-Maidah: 18; QS al-Ankabut: 12, dan masih banyak contoh lainnya. Di sini, Allah tidak hanya sekedar mengutip pernyataan dari kaum kafir, tetapi juga menanggapinya.

Karena itulah, bisa diajukan pertanyaan, apa maksud wahyu Allah ini? Apakah wahyu Allah ini hendak menegaskan Muhammad sebagai pendusta? Apakah wahyu Allah ini sepakat dengan pernyataan “para pemuka yang kafir dari kaumnya”? Apakah bisa dikatakan bahwa Allah juga sebenarnya menolak kenabian Muhammad? Sekali lagi ini bukti betapa Al-Qur’an tidak jelas. Premis awal bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang jelas, menjadi runtuh. Keruntuhan ini tentulah membuat orang mempertanyakan keaslian wahyu Allah. Sungguhkah kutipan ayat di atas merupakan wahyu Allah, atau rekayasa manusia, yang bernama Muhammad?

Dabo Singkep, 21 Okt 2021

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar