Apabila mendengar istilah Al-Qur’an, tentulah pikiran orang terarah kepada sebuah kitab yang terdiri dari 114 surah dan 6.236 ayat. Sebagai sumber iman umat islam, kitab ini menjadi penuntun, pedoman dan petunjuk bagi hidup kaum muslim. Kitab ini aslinya ditulis dalam bahasa Arab, karena memang Allah sendiri menghendaki demikian.
Umat
islam percaya bahwa Al-Qur’an itu merupakan wahyu Allah SWT secara langsung
kepada nabi Muhammad SAW. Apa yang tertulis dalam Al-Qur’an diyakini sebagai
kata-kata Allah SWT sendiri. Karena ini, umat islam menaruh rasa hormat yang
sangat tinggi kepada kitab ini. Pelecehan terhadapnya sama saja berarti
menghina Allah SWT. Setiap umat islam dipanggil untuk membela Allahnya dari
setiap upaya penghinaan terhadap diri-Nya dan juga agama-Nya. Allah sendiri
telah memberi petunjuk bagaimana seharusnya umat islam memperlakukan mereka
yang telah menghina dirinya (QS al-Maidah: 33).
Akan
tetapi, ketika umat islam ditanya soal makna “langsung” dari wahyu Allah yang
menjadi kitab ini, terdapat perbedaan pendapat. Setidaknya ada dua penafsiran
atas kata “langsung” ini.
1. Ada
yang menafsirkan kata “langsung” ini secara harafiah. Artinya, Al-Qur’an
sebagai kitab turun langsung sebagai kitab utuh kepada nabi Muhammad SAW. Ada
dua pendasaran akan penafsiran ini. Pertama,
kisah tentang turunnya wahyu pertama kepada Muhammad, dimana Allah yang
berbicara kepada Muhammad berkata, “Iqra!”. Perkataan Allah ini lebih merupakan
sebuah perintah dimana Muhammad disuruh untuk membaca. Kata iqra sendiri biasa dimaknai dengan bacalah. Berangkat dari makna ini,
tentulah saat itu sudah ada KITAB sehingga Muhammad diminta untuk membacanya.
Atau dengan kata lain, saat itu Allah sudah menyerahkan sebuah KITAB, yang
kemudian dikenal dengan nama Al-Qur’an, dan menyuruh Muhammad untuk membacanya.
Kisah seperti ini tak jauh berbeda dengan kisah pertobatan Santo Agustinus, yang kebetulan lebih dahulu ada darpada kehadiran islam. Agustinus hidup dalam abad IV, sedangkan islam baru hadir pada akhir abad VI. Dalam kisah pertobatan Agustinus, dikisahkan bahwa seorang anak kecil, yang kemudian diyakini sebagai jelmaan malaikat Tuhan, berkata kepada Agustinus, “Tole lege!” Perkataan anak kecil ini tak jauh beda maknanya dengan iqra. Perkataan tersebut dimaknai dengan ambil dan bacalah. Diceritakan bahwa setelah itu, Agustinus mengambil Alkitab dan membukanya. Kitab itu terbuka pada halaman Surat Paulus kepada Jemaat di Roma, dan akhirnya Agustinus membacanya.
Jadi, kitabnya sudah ada
sehingga perkataan atau perintah tersebut menjadi masuk akal. Mana mungkin
disuruh baca tapi tidak ada sesuatu untuk dibaca. Hal ini sejalan dengan
prinsip pepatah Latin: nemo dat quod non
habet.
Pendasaran kedua adalah berdasarkan perkataan Allah
sendiri yang ada dalam Al-Qur’an. Ada banyak kutipan ayat dimana dikatakan
bahwa Allah SWT menurunkan KITAB kepada nabi Muhammad SAW. Sekedar menyebut QS
2: 4, 23; QS 3: 3, 7; QS; 4: 105; QS 5: 48; QS 13: 1; QS QS 16: 89; QS 18: 1;
QS 20: 2; QS 22: 16; QS 25: 1; QS 27: 6; QS 35: 29; QS 39: 2; QS 57: 9; QS 69:
40. Dalam kutipan ayat Al-Qur’an ini, tidak dikatakan bahwa Allah menurunkan
ayat per ayat, tetapi KITAB dimana beberapa di antaranya langsung diikuti
dengan keterangan AL-QUR’AN dalam tanda kurung (QS 3: 3; QS 4: 105; dll). Itu artinya, yang dimaksud
dengan Kitab dalam kutipan itu adalah Al-Qur’an. Malah ada yang terang-terang
dikatakan bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an (QS
20: 2; QS 27: 6; dll).
2. Ada
juga yang menafsirkan kata “langsung” ini secara harafiah namun dalam pemahaman
yang berbeda dengan kelompok pertama tadi. Mereka yakin bahwa Al-Qur’an
merupakan kumpulan wahyu yang berasal langsung dari Allah SWT. Wahyu Allah ini
tidak langsung turun dalam bentuk KITAB jadi, melainkan ayat per ayat. Diyakini
bahwa wahyu Allah ini diturunkan secara bertahap
dalam kurun waktu 23 tahun. Ada dua lokasi besar turunnya wahyu, yaitu Mekkah
dan Madinah.
Dasar keyakinan ini
didasarkan pada perkataan Allah SWT sendiri dalam Al-Qur’an (QS al-Isra: 106 dan QS al-Insan: 23). Dalam surah al-Isra, Allah
SWT berfirman, “Dan Al-Qur’an itu telah
Kami turunkan dengan berangsur-angsur ....
dan Kami menurunkannya bagian demi
bagian.” Dan dalam
surah al-Insan Allah SWT bersabda, “Sesungguhnya Kami telah
menurunkan Al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.” Dalam wahyu Allah ini
orang bisa memahami bahwa memang Al-Qur’an tidak turun langsung dalam bentuk
satu KITAB, melainkan bertahap. Dalam
perjalanan waktu kemudian para pengikut Muhammad mengumpulkan wahyu-wahyu
tersebut dan menyatukannya dalam sebuah KITAB yang kemudian diberi nama Al-Qur’an.
Keyakinan seperti ini
bukannya tanpa resiko. Bagi umat yang kritis, tentulah akan meragukan keaslian
Al-Qur’an sekarang sebagai sungguh wahyu Allah tanpa adanya campur tangan
manusia. Kesuciannya pun patut diragukan. Bagaimana mungkin manusia, makhluk
fana dan berdosa, yang membuat Kitab Allah bernama Al-Qur’an. Adanya campur
tangan manusia dalam penciptaan Al-Qur’an membuat sebagian umat berpikir bahwa
yang ilahi telah bercampur dengan yang profan. Hal ini dirasakan sangat
bertentangan dengan akal sehat manusia. Hal ini juga yang membuat umat islam
tidak dapat menerima konsep inkarnasi dalam ajaran kristiani, dimana Yesus
(ilahi) menjadi manusia (duniawi). Jika umat islam dapat menerima Al-qur’an,
seharusnya mereka juga dapat merima konsep Allah menjadi manusia dalam diri Isa
Al-Masih.
Selain itu, pengadaan
penomoran ayat dalam Al-Qur’an pun masih menimbulkan problem. Sangat aneh dan
tak masuh akal jika sebagai wahyu yang langsung dari Allah, dipahami bahwa
nomor-nomor ayat itu juga disebut Allah SWT ketika Dia bersabda.
DEMIKIANLAN
uraian singkat tentang keyakinan umat islam bahwa Al-Qur’an sebagai wahyu Allah
SWT. Dari penjelasan ini kita menemukan satu kesimpulan awal yang sederhana,
yaitu betapa carut-marutnya konsep pemahaman Al-Qur’an itu. Ada dua perbedaan
dasar mengenai konsep pemahaman Al-Qur’an, dimana perbedaan tersebut
berdasarkan pada Al-Qur’an sendiri. Surah an-Nisa ayat 59 menyatakan bahwa
penafsir perbedaan pendapat ada pada nabi Muhammad SAW. Menjadi persoalan,
penafsir tersebut sudah mati. Jadi, kemana lagi umat islam mengadu untuk
menyelesaikan carut-marut ini.
Dari
kesimpulan awal ini, orang bisa saja sampai kepada kesimpulan akhir dalam
bentuk pertanyaan: benarkah Al-Qur’an itu wahyu Allah, atau hanya sekedar rekayasa Muhammad. Silahkan Anda
pikirkan sendiri.
Tanjung
Pinang, 27 Oktober 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar