Selasa, 21 September 2021

SUDAH SAATNYA GEREJA TRANSPARAN SOAL KEUANGAN

 

Gereja adalah bagian dari dunia. Karena itu prinsip-prinsip keduniaan, meski tidak semuanya, dapat diadopsi oleh Gereja. Salah satunya adalah soal transparansi laporan keuangan. Paus Fransiskus, sejak terpilihnya, mencanangkan transparansi keuangan di pusat Gereja Katolik, yaitu Vatikan. Karena itu, sudah saatnya pengelolaan harta benda Gereja, termasuk keuangan, dilakukan secara transparan agar umat mengetahuinya.

Apakah ajakan Paus Fransiskus untuk terbuka dalam keuangan Gereja sudah diikuti semua Gereja di belahan dunia? Harus diakui bahwa masih ada paroki yang menolak membuka laporan keuangannya kepada umat. Laporan keuangan hanya khusus untuk Pastor Kepala Paroki dan bendahara paroki saja. Umat, bahkan pastor pembantu pun tak diperkenankan untuk mengetahuinya. Lebih miris lagi ada paroki hanya mau transparan ke “atas” bukannya ke “bawah”. Padahal, yang sungguh mengetahui situasi yang terkait dengan harga ada di “bawah” bukan yang di “atas”.

Alasan Kuno Menolak Transparansi

Ada saja orang, bahkan dari hirarki, yang tidak setuju dengan transparansi keuangan. Mereka menilai bahwa di balik transparansi ada prinsip do ut des: saya memberi, maka saya menerima. Artinya, pemberian itu ada pamrih. Jadi, umat yang memberi kolekte, intensi, stipendium, dll, disinyalir memiliki pamrih pribadi, bukan murni persembahan kepada Tuhan, Gereja dan karya pastoral. Pemberian tersebut tidak seperti persembahan janda miskin (bdk. Lukas 21: 1 – 4).

Malahan orang menentang transparansi keuangan dengan menggunakan dasar biblis untuk menguatkan argumennya. Teks Kitab Suci yang biasa dipakai adalah Matius 6: 3: “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.” Teks ini biasanya dipakai sebagai prinsip dasar kristiani dalam memberi persembahan (kolekte, intensi, stipendium, dll).

Benarkah transparansi keuangan bertentangan dengan prinsip kristiani dalam hal memberi? Pertama-tama perlu dilihat konteks Injil Matius berkaitan dengan persembahan secara keseluruhan. Matius 6: 3 itu berkaitan dengan tradisi memberi sedekah yang merupakan kewajiban bagi orang Yahudi. Keluarnya pernyataan Yesus ini harus dikaitkan dengan kebiasaan orang yang suka pamer dalam memberi sedekah. Sikap pamer membuat orang jatuh ke dalam keangkuhan dan kesombongan. Sikap pamer, yang berdampak pada kesombongan diri, inilah yang dikritik oleh Yesus. Untuk menghindari hal ini, Yesus mengajarkan agar persembahan atau sedekah itu diberikan dengan sembunyi, tidak ada orang lain yang tahu. Artinya, sedekah atau pemberian itu bukan untuk pamer.

Transparansi bukanlah bertujuan untuk pamer, apalagi menyombongkan diri. Tanpa transparansi pun orang bisa jatuh ke dalam kesombongan pribadi berkaitan dengan persembahan. Kecenderungan pamer dan menyombongkan diri itu tergantung pada hati dan motivasi. Karena itu, tidak beralasan tudingan bahwa transparansi keuangan melanggar prinsip dasar kristiani dalam memberi persembahan. Dan janganlah kecenderungan itu menjadi alasan untuk meniadakan transparansi.

Alasan Paroki Wajib Transparan

Terlihat bahwa alasan penolakan atas transparansi keuangan terkesan mengada-ada atau dicari-cari. Lebih aneh lagi alasan pencegahan tindak kriminal pencurian, perampokan atau pemerasan. Justru kita dapat menilai ada sesuatu mencurigakan di balik ketertutupan itu. Sungguh ironis, orang menggunakan dasar biblis untuk menyembunyikan tindakan korupsinya.

Karena itu, tidak ada alasan untuk menolak transparansi keuangan. Ada beberapa alasan kenapa Gereja, dalam hal ini paroki, harus transparan. Pertama, uang paroki adalah uang umat yang didapat dari umat melalui kolekte, intensi, stipendium, donasi, dll. Uang itu akan digunakan untuk kepentingan umat (pastoral), bukan untuk kepentingan pribadi pastor apalagi keluarganya. Oleh karena itu, umat berhak untuk mengetahui pengelolaan keuangan paroki: berapa yang masuk, bagaimana dikelola, bagaimana pemakaiannya, berapa keluar, berapa hasil akhirnya, dll. Dapatlah dikatakan bahwa transparansi merupakan bentuk akuntabilitas. Pertanggungjawaban keuangan kepada umat sudah diamanatkan oleh Hukum Gereja (Kan. 1287, §2).

Kedua, paroki itu bukan milik pastor paroki atau segelintir umat, melainkan milik semua umat. Maka, dengan adanya transparansi keuangan berarti umat dilibatkan; umat menjadi berpartisipasi aktif. Umat bukan penonton atau ATM bagi pastor. Di sini umat akan merasa memiliki Gereja (cinta akan parokinya), melalui kontrolnya atas laporan keuangan yang dibuat secara transparan. Jika tidak semua umat mengetahui, minimal ada perwakilan umat yang melakukan kontrol tersebut.

Ketiga, tak ada manusia yang sempurna. Semua manusia memiliki kelemahan, terlebih dalam hal uang. Manusia, bahkan imam sekalipun, sangat rentan terhadap penyalahgunaan uang. Karena itu benar kata orang bahwa korupsi tidak pandang bulu. Korupsi bukan hanya milik para pejabat negara, tetapi juga bisa melanda pejabat Gereja (baca: hirarki): uskup, imam dan suster. Gebrakan Paus Fransiskus dalam menegakkan transparansi keuangan mengindikasikan adanya korupsi di tubuh Gereja. Transparansi dapat meminimalisir bahaya penyelewengan keuangan. Penyalahgunaan uang akan dengan mudah diketahui. Tentulah hal ini membuat orang segera mengerem niat korupsinya. Karena itu, dapatlah dikatakan bahwa yang menolak transparansi keuangan mengindikasikan adanya niat untuk korup.

Keempat, transparansi membuat pengelolaan uang paroki bisa tepat sasaran. Seperti yang sudah dikatakan, ketertutupan laporan keuangan sangat rentan bagi penyalahgunaan uang paroki. Pastor Kepala Paroki dan bendaharanya bisa saja menggunakan uang itu untuk keperluan yang sama sekali tidak sesuai dengan tujuannya. Memang di pembukuan bisa saja mereka membuat laporan yang sesuai. Pihak keuskupan tidak akan mengetahui dengan pasti penggunaan persisnya; mereka hanya melihat laporan bulanan saja. Umat-lah yang lebih mengetahui situasi parokinya.

Kelima, memang transparansi bukan merupakan ajaran iman. Akan tetapi, dengan menerapkan transparansi keuangan, Gereja Paroki menunjukkan kebersatuannya dengan Gereja Induk, yaitu Vatikan. Gebrakan Paus Fransiskus di Vatikan hendaknya dibaca bukan hanya untuk internal Vatikan saja, melainkan juga untuk Gereja universal. Paroki merupakan bagian dari Gereja universal itu, sehingga sudah semestinya menerapkan juga transparansi keuangan itu. Sangat ironis jika pimpinan tertingginya menyerukan transparansi, namun yang di bawah tak bereaksi. Bukankah ini seperti sikap kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat terhadap seruan-seruan Yesus di jaman Perjanjian Baru? Karena itu, sebagai bagian dari Gereja universal, paroki wajib melakukan transparansi keuangan.

Akhir Kata

Banyak orang mengkritik bahkan mengecam orang yang melakukan tindak korupsi, tapi sayang ia tak mau menunjukkan usaha memberantas korupsi itu. Transparansi merupakan salah satu cara sederhana dan mudah untuk mencegah korupsi. Tapi kenapa ada orang menolak dan menentangnya?

diambil dari tulisan 7 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar