Jumat, 02 Juli 2021

INILAH SEHARUSNYA SIKAP UMAT ISLAM TERHADAP ORANG KAFIR MENURUT SURAH AN-NISA

 


Al-Qur’an merupakan pusat iman dan spiritualitas islam. Al-Qur’an diyakini langsung berasal dari Allah, tanpa sentuhan tangan-tangan manusia. Apa yang tertulis di dalamnya, termasuk titik koma, adalah perkataan Allah sendiri. Umat islam dikatakan beriman bila ia menghidupi dan mengamalkan apa yang tertulis dalam Al-Qur’an. Sikap dan spirit hidup umat islam mengalir dari sana.

Wahyu Allah yang terangkum dalam kitab yang bernama Al-Qur’an ini tidak turun sekaligus, melainkan berangsur-angsur dengan rentang waktu kurang lebih 23 tahun. Ada dua lokasi besar turunnya wahyu, yaitu Mekkah dan Madinah, yang kemudian melahirkan istilah Surah Makkiyyah dan Surah Madaniyyah. Surah Makkiyyah adalah surah-surah yang merupakan kumpulan wahyu Allah, yang turun ketika Muhammad masih berada di Mekkah (sebelum hijrah). Sedangkan Surah Madaniyyah adalah wahyu-wahyu Allah yang turun ketika Muhammad berada di Madinah (setelah hijrah), yaitu sejak Juni 622 M. Surah an-Nisa, biasa disebut juga sebagai surah keempat berdasarkan urutannya dalam Al-Qur’an, merupakan wahyu Allah yang turun di Madinah.

Sebagai pusat iman dan spiritualitas islam, Al-Qur’an dilihat juga sebagai pedoman yang menuntun langkah umat islam. Allah telah mewahyukan kehendak-Nya sebagai petunjuk bagi umat muslim. Karena itu, banyak dijumpai di dalam Al-Qur’an pedoman hidup bagi umat islam, termasuk bagaimana bersikap terhadap orang kafir. Dalam Al-Qur’an, yang dimaksud dengan orang kafir adalah orang kristen, baik itu katolik, ortodoks maupun protestan, dan juga orang yang bukan islam. Mereka ini dilabeli “kafir” karena tidak menerima Al-Qur’an sebagai kitab suci dan Muhammad sebagai nabi. Orang kristen disebut kafir karena iman mereka akan keallahan Yesus dan juga karena iman mereka akan tritunggal mahakudus.

Bagaimana sikap dan tindakan umat islam terhadap orang kafir? Petunjuk apa yang diminta Allah untuk dilakukan oleh umat-Nya ini?

Ada beberapa pedoman yang diberikan oleh Allah untuk disikapi oleh umat islam sebagai ungkapan iman mereka. Beberapa pedoman itu adalah:

1.    Memerangi orang kafir (ay. 76 dan ay. 84)

2.    Menawan dan membunuh orang kafir (ay. 89)

3.    Tidak menjadikan orang kafir sebagai teman (ay. 89)

4.    Tidak menjadikan orang kafir sebagai penolong (ay. 89)

5.    Tidak menjadikan orang kafir sebagai pemimpin (ay. 139 dan ay. 144)

6.    Tidak duduk bersama orang kafir (ay. 140)

Demikianlah 6 sikap umat islam terhadap orang kafir. Jika mau diringkas, keenam sikap itu akan menjadi sikap memusuhi. Ada gradasi sikap memusuhi ini, dari yang rendah seperti tidak duduk bersama hingga yang tinggi seperti membunuh. Dari keenam sikap ini dapatlah disimpulkan bahwa memusuhi orang kafir merupakan sikap utama umat islam; dan itu merupakan kehendak Allah, karena Allah yang mewahyukan itu.

Menjadi pertanyaan, kenapa Allah begitu memusuhi orang kafir dan mengajar umat-Nya juga untuk bermusuhan dengan orang kafir. Tak dapat dipungkiri, dalam sikap memusuhi itu terdapat sikap kebencian terhadap orang kafir. Rasa benci ini menjadi akar dari sikap memusuhi. Tak mungkin orang memusuhi orang lain tanpa ada rasa benci. Sikap permusuhan umat islam terhadap orang kafir mengalir dari mata air kebencian. Lantas apa penyebab munculnya sikap memusuhi orang kafir ini?

Jika kita kembali membaca surah an-Nisa, dapat ditemukan adanya semacam “ketakutan” Allah sehingga melihat orang kafir sebagai musuh yang nyata (ay. 101). Ada beberapa faktor yang menjadi dasar “ketakutan” Allah itu sehingga menurunkan wahyu sebagai petunjuk bagi umat-Nya untuk memusuhi orang kafir, atau menganggap orang kafir sebagai musuh yang nyata. Pertama-tama Allah melihat orang kafir itu adalah kawan setan (ay. 76). Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa setan itu bukan saja musuh Allah, tetapi juga akan membawa umat manusia ke neraka (QS Fatir: 6). Selain itu Allah melihat dan menilai bahwa orang kafir dapat menghalangi umat islam dari jalan Allah (ay. 167). Dengan kata lain, orang kafir dinilai akan menjauhkan umat muslim dari jalan Allah. Hal ini mirip juga dengan “ketakutan” Allah bahwa orang kafir akan mengkafirkan umat islam (ay. 89 dan ay. 140). Dengan menjadi kafir, maka tidak akan ada lagi orang yang mau mendengarkan nasehat, perintah atau perkataan Allah. Tidak akan ada lagi orang yang menyembah Allah. Inilah salah satu akar “ketakutan” Allah sehingga melabeli orang kafir sebagai musuh yang nyata sehingga pantas dan layak untuk dimusuhi juga.

Demikianlah seharusnya sikap-sikap umat islam terhadap orang kafir. Sebagai orang yang beriman, dan jika memang benar-benar beriman, maka seorang muslim harus menunjukkan sikap tersebut kepada kepada orang kafir “dimana pun mereka kamu temukan.” (ay. 89). Seorang muslim wajib memusuhi orang kafir, bila perlu membunuhnya. Ini adalah perintah dan sekaligus kehendak Allah. Jika umat islam hanya sebatas mengaku beriman tapi tidak melaksanakan perintah dan kehendak Allah ini, ia tak jauh beda dengan kaum munafik atau kaum fasik. Allah telah berfirman bahwa orang fasik dan munafik akan mendapat siksa yang keras dan pedih, dan mereka akan menjadi penghuni neraka (bdk. QS an-Nisa: 138; QS al-Ahzab: 73; QS al-Fath: 6; QS al-Araf: 165; QS as-Sadjah: 20; QS al-Ahqaf: 35).

Berangkat dari sikap-sikap tersebut, satu pertanyaan kecil: dapatkah terbangun semangat toleransi dengan pemeluk agama lain, jika agamanya mengajarkan untuk menghayati semangat permusuhan dan kebencian? Silahkan jawab sendiri.

Lingga, 21 April 2021

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar