Rabu, 31 Maret 2021

ANTARA MEMBUNUH MATI DAN MEMBUNUH HIDUP


 

Hari Jumat, 7 Maret 2014, sekitar jam 20.00, seorang teman yang tinggal di Tanggerang menelepon saya. Awalnya dia ungkapkan kekesalannya terhadap saya karena susah sekali menghubungi saya. Dia sebenarnya sudah mengontak saya pada jam 16.00 tadi. Tujuannya agar saya menonton acara di Metro TV, tentang vonis mati mantan pastor.

Karena saya tidak menonton, maka dia akhirnya menceritakan sedikit acara tersebut yang berisi wawancara dengan mantan pastor yang divonis hukuman mati karena terbukti membunuh kekasih dan anak hasil hubungan gelapnya. Saat peristiwa itu terjadi, sang mantan itu masih berstatus pastor. Dan baru terbongkar setelah 10 tahun.

Satu komentar singkat teman saya itu adalah, koq pastor itu tega menghabisi tiga nyawa. Sungguh amat keji. Teman saya belum bisa menerima hal itu, mengingat pelakunya adalah seorang imam. Kalau awam biasa, mungkin dia bisa terima. Saya hanya menjawab singkat, itulah manusia.

Saya mengatakan bahwa memang apa yang dilakukan mantan pastor itu adalah tindakan keji. Semua orang mengetahui dan menyadarinya. Namun, semuanya selesai dengan adanya vonis itu. Pastor pembunuh itu membunuh orang dan orangnya mati. Tindakannya diketahui dan vonis sudah diputuskan. Selesai. Pastor itu tentunya akan merasa tenang. Arwah korban pun mendapat ketenangan. Keluarga korban juga puas. Apa yang dilakukan oleh mantan pastor ini saya istilahkan dengan “membunuh mati”.

Akan tetapi, ada satu tindakan keji lainnya yang juga dilakukan oleh pastor, yaitu “membunuh hidup”. Apa yang dilakukan pastor ini sebenarnya sudah “membunuh” namun tidak mengakibatkan kematian. Yang menjadi persoalannya adalah semua orang belum mengetahui dan menyadarinya. Karena itu, tidak ada vonis apapun terhadap pastor ini, sehingga tindakan ini terus berulang-ulang. Dan pastornya pun terus saja melakukan tindakannya, karena merasa tidak bersalah.

Tindakan apa yang dimaksud? Tindakan itu adalah mengorupsi uang umat (Gereja). Seringkali pastor “memaksa” umat untuk mengumpulkan uang untuk keperluan ini atau kepentingan itu dengan mengatasnamakan kepentingan Gereja. Karena “demi Gereja” umat pun akan berusaha memberi. Setelah uang terkumpul, pastor mengambilnya sebagian untuk kepentingan pribadi (mungkin juga keluarga). Uang kolekte, uang persembahan, stipendium, intensi misa dan uang lainnya, yang sebenarnya dipergunakan untuk pembangunan iman umat, diambil untuk kepentingan pribadi pastor. Dan ketika uang untuk pembangunan iman umat kurang, pastor tinggal meminta lagi kepada umat.

Korupsi yang dilakukan pastor ini secara tidak langsung berarti memeras umat. Pastornya hidup senang dan enak, sementara umatnya hidup sederhana. Terkesan bahwa umat “dipaksa” untuk membiayai kesenangan hidup pastornya. Umat seakan menjadi ATM pastor. Inilah yang dimaksudkan dengan “membunuh hidup”. Secara tidak langsung pastor ini sudah “membunuh” umatnya, namun umatnya masih tetap hidup.

Sayang, tak ada yang menyadari hal ini sehingga peristiwa ini terus terjadi. Memang, “membunuh mati” bila diketahui akhirnya orang menilainya sebagai tindakan keji. Sebenarnya hal yang sama dengan “membunuh hidup”. Tindakan ini pun sebenarnya merupakan tindakan keji. Namun masih dibutuhkan kesadaran bersama untuk menghentikan tindakan itu terus berlangsung.

diambil dari tulisan 7 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar