Senin, 09 November 2020

INI KATA ALKITAB TENTANG CARA MEMILIH CALON KEPALA DAERAH

 

Pemilihan kepala daerah, kepala negara dan juga para wakil rakyat, yang bisa dikenal dengan istilah PEMILU (Pemilihan Umum) merupakan salah satu unsur penting dari dasar demokrasi. Setiap negara yang menganut asas demokrasi, pastilah akan mengadakan hal tersebut. Masing-masing negara mempunyai kriteria yang berbeda-beda, entah soal waktu maupun cara memilihnya. Terkait cara memilih, umumnya setiap warga negara menentukan sendiri pilihannya.

Bagaimana cara warga menyikapi pesta demokrasi ini? Tulisan ini lebih dikhususkan pada persiapan menghadapi pemilihan calon kepala daerah, meski dapat juga diterapkan pada pemilihan anggota legislatif. Di Indonesia sering dijumpai fenomena kelompok masyarakat yang menuntut adanya bukti dari para calon untuk kelompoknya. Misalnya, ketika calon mendatangi suatu kelompok masyarakat, tak jarang kelompok itu menuntut agar sang calon memberikan bukti yang nyata bagi kelompok mereka. Jika tidak ada bukti, maka kelompok itu tidak akan memberikan suara mereka kepada calon tersebut. Dari sinilah kemudian lahir semacam “kontrak politik”.

Dalam setiap acara pemilu, biasanya akan ada calon lama (petahana atau incumbent) dan pendatang baru. Untuk kategori kepala daerah, memberi bukti yang diminta sekelompok warga bukanlah perkara yang sulit, mengingat dirinya masih didukung oleh kepala dinas-kepala dinas yang ada di pemerintahan daerah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa jabatan kepala dinas merupakan jabatan politis. Biasanya yang duduk di kursi kepala dinas adalah mereka yang duhulu termasuk tim sukses bagi kepala daerah yang kini menjadi calon petahana. Dan tentulah para kepala dinas akan berusaha memenuhi keinginan calon petahana untuk mempertahankan kursinya.

Sementara calon yang masuk kategori pendatang baru, tentulah akan menemui kesulitan untuk memenuhi tuntutan sekelompok warga yang meminta bukti. Dia akan memikirkan untung rugi semuanya itu, dan biasanya resiko ruginya cukuplah besar. Karena itulah, setelah melalui kalkulasi ekonomi, wajar saja bila calon pendatang baru umumnya hanya sebatas memberi janji, bukan bukti.

Hal seperti inilah yang membuat suatu daerah (atau bangsa) menjadi tidak maju dan  berkembang. Warga tidak berusaha melihat 5 tahun masa kepemimpinan calon petahana dan peluang yang akan dapat diberikan calon pendatang baru. Terkait dengan masalah ini, adakah pedoman umum bagi warga untuk menentukan pilihannya? Bagi umat kristiani Alkitab diyakini sebagai pedoman hidup. Ia tidak hanya menuntun manusia dalam kehidupan rohani, tetapi juga kehidupan lainnya, termasuk memilih calon kepala daerah. Berikut ini kami mencoba membagikan apa yang dikatakan Alkitab terkait topik ini.

Pertama-tama kita memulai dari perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur, yang ada dalam Markus 12: 1 – 9 (bdk. Matius 21: 33 – 41). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pemilik kebun anggur menyewakan kebunnya kepada sekelompok penggarap dengan harapan para penggarap itu menyerahkan hasil kebun pada waktunya (Matius 21: 41). Akan tetapi, para penggarap yang sudah diberi kepercayaan tidak memberikan hasil kepada pemilik kebun. Mereka menikmati sendiri hasil kebun itu. Akhirnya pemilik kebun anggur itu membinasakan para penggarap itu dan mempercayakan kebunnya kepada penggarap lainnya.

Dari perumpamaan tersebut, kita dapat mengasosiasikan kebun anggur dengan daerah yang menjadi tugas pelayanan kepala daerah. Pemilik kebun itu adalah rakyat. Ketika pertama kali menyerahkan kebunnya kepada penggarap, pemilik kebun tidak meminta bukti nyata dari para penggarap itu. Dia justru meminta hasil pada waktunya. Jadi, Alkitab tidak mengajarkan agar kita menuntut bukti di awal kepada calon yang akan dipilih, melainkan pada waktunya. “Pada waktunya” di sini lebih dimaknai saat sang calon sudah menjabat dan menjalankan tugasnya. “Pada waktunya” bisa juga dipahami sebagai kriteria apakah di masa mendatang masih bisa dipercaya lagi.

Penggarap kebun anggur yang pertama dalam perumpamaan di atas bisa dikaitkan dengan kepala daerah yang tidak bekerja untuk rakyat. Ia justru menggunakan kekuasaannya untuk kesenangan dan memperkaya diri, kelompok dan juga keluarganya. Dengan kata lain, penggarap kebun yang pertama adalah gambaran kepala daerah yang korup. Tidak ada kerja nyata untuk daerahnya. Karena itulah, seperti dalam perumpamaan di atas, kepala daerah seperti ini harusnya “dibinasakan” dengan cara tidak lagi dipilih pada pemilihan berikutnya. Sama seperti pemilik kebun mempercayakan kebunnya kepada penggarap lain, demikian pula warga harus mengalihkan pilihannya kepada calon baru.

Ketika mempercayakan (artinya memberi kepercayaan) kepada calon pendatang baru, hendaklah warga tidak menuntut bukti (atau hasil). Bukankah hasil itu selalu berada di akhir, bukan di awal? Ketika kita memberi kepercayaan (karena itu, jabatan selalu diidentikkan dengan amanah) kepada calon pendatang baru, itu berarti kita percaya kepadanya. Kepercayaan kita itu haruslah disertai dengan harapan. Kita berharap calon baru dapat memberikan hasil pada waktunya. Haruskah harapan itu disertai dengan dasar (bukti)? Tentang hal ini, kita mendapatkan teladan agung dari Abraham. Rasul Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Roma, berkata, “Sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya,” (Roma 4: 18).

Jadi, percaya dan harapan di sini tidak perlu ditunjang dengan bukti di awal. Sikap yang selalu menuntut bukti terlebih dahulu, tak jauh beda dengan sikap kebanyakan orang Yahudi yang dikritik dan dicela Yesus karena mereka meminta tanda. Di sini “bukti” disamakan dengan “tanda”. Dalam Injil Sinoptik, beberapa kelompok orang Yahudi, seperti kaum Farisi, pernah meminta tanda kepada Yesus (Markus 8: 11 – 12; Lukas 11: 29; Matius 12: 39). Ada tanda (bukti), barulah mereka percaya. Yesus menyebut mereka yang selalu menuntut tanda sebagai “Angkatan yang jahat”.

Bukanlah lantas berarti tanpa bukti (atau tanda) kemudian dikatakan kepercayaan buta atau harapan semu. Karena kepercayaan dan harapan yang diberikan mempunyai batasan waktu, yaitu 5 tahun. Baru di akhir tahun kelima kita baru bisa mengatakan apakah kepercayaan dan harapan kita telah terbukti; dan yang membuktikan itu adalah kepala daerah yang 5 tahun lalu kita beri kepercayaan dan harapan.

Karena itu, kita tak perlu merasa malu dan bingung ketika memberi kepercayaan dan harapan kepada calon pendatang baru yang belum dapat memberi bukti. Yesus justru memuji sikap seperti ini. “Berbahagialah mereka yang tak melihat, namun percaya.” (Yohanes 20: 29).

Alkitab sama sekali tidak mengajarkan agar orang memilih calon yang seagama atau seiman dengannya. Tuan kebun anggur, ketika memilih penggarap, tidak melihat agama mereka. Tuan kebun hanya percaya bahwa mereka dapat bekerja dan memberikan hasil pada waktunya. Tak peduli apakah agama mereka sama dengannya. Yesus sendiri pernah berkata, “Barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu.” (Lukas 9: 50). Karena itu, sekalipun calon itu tidak seagama dengan kita, namun jika ia akan berjuang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai pemimpin, yang berarti ia tidak melawan kita, maka pantaslah dia mendapat dukungan.

Tanjung Pinang, 28 Oktober 2020

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar