Selasa, 10 November 2020

INILAH PARA BIDA'AH PADA MASA PAUS LEO AGUNG

 


Tidak ada kehidupan tanpa persoalan. Demikian halnya dengan Gereja. Sejak berdirinya, Gereja selalu diterjang permasalahan. Masalah itu bisa datang dari dalam, bisa juga dari luar. Setiap jaman masalahnya selalu berbeda. Misalnya, awal-awal abad keberadaan Gereja, jemaat mengalami tekanan dan penindasan. Namun ketika Gereja merasakan kebebasan, masalah yang dihadapi lainnya. Pada beberapa masa, selalu ada kemunculan aliran-aliran sesat yang mengacaukan doktrin Gereja. Aliran sesat tersebut lebih dikenal dengan sebutan bida’ah.

Pada masa kepemimpinan Paus Leo I atau dikenal juga sebagai Leo Agung, ada banyak bida’ah yang menyebarkan ajaran sesat yang menyimpang dari ajaran iman resmi Gereja. Paus Leo Agung berjuang keras melawan mereka dibantu beberapa tokoh-tokoh lainnya. Berikut ini adalah para bida’ah itu dengan ajarannya.

Pelagianisme

Pelagianisme dikembangkan oleh Pelagius. Sedikit sekali informasi yang dapat diketahui mengenai kehidupan Pelagius. Meskipun dia kerap disebut sebagai seorang rahib, namun hal itu tidak memberi kepastian bahwa dia memang adalah seorang rahib. Agustinus mengatakan bahwa dia hidup di Roma "dalam waktu yang sangat lama," dan bahwa dia berasal dari kepulauan Inggris. (Santo Heronimus menduga dia adalah seorang warga Skotlandia atau mungkin saja dari Irlandia). Yang pasti, dia terkenal di provinsi Romawi, baik karena kehidupan publiknya yang dijalaninya dengan matiraga-keras, maupun karena kekuatan dan persuasivitas dari khotbahnya. Sampai saat gagasan-gagasannya yang lebih radikal tercuat ke depan publik, bahkan tokoh-tokoh yang disebut sebagai sokoguru Gereja seperti Agustinus pun menyebutnya sebagai “orang suci.”

Pelagius mengajarkan bahwa kehendak manusia, dibarengi perbuatan-perbuatan baik dan kehidupan bermatiraga secara ketat, cukup untuk menjalani suatu kehidupan tanpa dosa. Dia mengatakan kepada para pengikutnya bahwa tindakan yang benar dari pihak manusia adalah segala-galanya yang diperlukan untuk mencapai keselamatan. Bagi dia, rahmat Allah hanyalah keuntungan tambahan; berguna, namun tidak esensial. Pelagius tidak percaya akan dosa asal, namun mengatakan bahwa Adam telah mengutuk umat manusia dengan teladan yang buruk, dan bahwa teladan baik Kristus menawarkan bagi kita suatu jalan menuju keselamatan, bukan melalui pengorbanan, melainkan melalui pengarahan kehendak. Heronimus bangkit sebagai salah seorang kritikus utama terhadap Pelagianisme, karena, menurut Heronimus, pandangan Pelagius secara mendasar mendustai karya Sang Mesias; dia secara pribadi lebih menyukai kata “pengajar” atau “guru” sebagai ganti sebutan apapun untuk kuasa ilahi.

Pelagianisme adalah faham yang meyakini bahwa dosa asal tidak merusak hakikat manusia (yakni hakikat ilahi, karena manusia diciptakan dari Allah) dan bahwa dengan kehendaknya yang fana manusia masih sanggup untuk memilih yang baik atau yang buruk tanpa pertolongan ilahi. Dengan demikian, dosa Adam "memberikan teladan yang buruk" bagi keturunannya, namun tindakan-tindakan Adam tidak mengandung konsekuensi-konsekuensi lain yang dihubung-hubungkan dengan dosa asal. Dari sudut pandang Pelagianisme, peran Yesus adalah "memberikan suatu teladan yang baik" bagi seluruh umat manusia (dengan demikian adalah kebalikan dari teladan buruk Adam). 

Singkatnya, manusia sepenuhnya memegang kendali, dan oleh karena itu sepenuhnya bertanggung jawab, atas keselamatannya sendiri selain itu juga sepenuhnya bertanggung jawab atas tiap dosa yang diperbuatnya ("sepenuhnya bertanggung jawab atas tiap dosa" ditekankan baik oleh pendukung maupun penentang Pelagianisme). Menurut Pelagianisme, oleh karena manusia tidak lagi memerlukan rahmat Allah di luar kreasi kehendaknya maka Sakramen Baptis tidaklah mengandung kualitas redemptif (pengampunan dosa) sebagaimana yang diajarkan oleh kaum Kristiani yang ortodoks.

Pelagianisme ditentang oleh Santo Agustinus dari Hippo, yang mengajarkan bahwa keselamatan seseorang itu terjadi semata-mata melalui rahmat Allah, dan hanya oleh kehendak Allah untuk menganugerahkannya bagi siapapun yang dipilih-Nya, tanpa perlu partisipasi dari pihak yang bersangkutan. Ajaran Agustinus mengakibatkan dikutuknya Pelagianisme sebagai suatu ajaran sesat dalam beberapa sinode lokal. Pelagianisme dikutuk pada tahun 416 dan 418 dalam konsili-konsili Kartago. Pengutukan-pengutukan ini secara ringkas disahkan dalam Konsili Efesus pada tahun 431, meskipun bukan tindakan utama dari konsili itu. Pelagianisme sebagai suatu gerakan bida’ah yang terstruktur lenyap selepas abad ke-6 namun gagasan-gagasan pokoknya terus-menerus menimbulkan perdebatan.

Thomas Bradwardine (1290 – 26 Agustus 1349), Uskup Agung Canterbury, dalam De causa Dei contra Pelagium et de virtute causarum menolak faham Pelagian pada abad ke-14, dan Gabriel Biel melakukan tindakan yang serupa pada abad ke-15.

Manicheisme

Aliran Manicheisme dikembangkan oleh seorang yang bernama Mani. Ia lahir di Persia sekitar tahun 215. Tidak banyak informasi yang dapat diketahui tentang orang ini. Yang jelas ia menganggap dirinya mengikuti nabi-nabi Perjanjian Lama, Zarathrustra, Buddha dan Yesus dengan menggabungkan unsur-unsur ajaran Zoroastrianisme, Buddhisme, Gnotisisme dan Kristianisme. Dengan ajarannya ini manusia dapat membebaskan diri dari benda dan kegelapan. Ajaran ini disertai dengan mati raga yang keras. Ia disebarkan melalui kegiatan misioner yang giat ke India, Cina, Italia, Afrika Utara, dan bagian lain dari kekaisaran Romawi.

Priscillianisme

Priscillian digambarkan sebagai pria bangsawan yang memiliki kekayaan besar, berani, gelisah, fasih, belajar melalui banyak membaca, sangat siap dalam debat dan diskusi. Pengikutnya yang pertama adalah seorang wanita bernama Agape dan seorang retorik bernama Helpidius. Melalui kharisma bicaranya dan reputasi dalam asketisme ekstrim ia menarik banyak pengikut, termasuk dua uskup: Instantius dan Salvianus. Sekte baru ini menjadi menarik perhatian Hyginus, uskup Codoba, Hydatius, uskup Emerita dan Ithacius dari Ossonoba. Para uskup dari Hispania dan Aquitaine ini kemudian mengadakan sinode di Zaragoza tahun 380. Meski dipanggil, para priscillian menolak untuk hadir, dan sinode menjatuhkan hukuman ekskomunikasi terhadap empat pimpinannya: Instantius, Salvianus, Helpidius dan Priscillian.

Ithacius dipilih untuk menegakkan keputusan sinode, tetapi ia gagal membawa bida’ah itu untuk berdamai. Ithacius kemudian mengajukan banding ke otoritas kekaisaran. Kaisar Gratian mengeluarkan dekrit yang menghukum para priscillian dalam pengasingan. Mereka meminta bantuan PausDamasus I di Roma, namun ditolak. Mereka pergi ke Milan untuk membuat permintaan yang sama kepada St. Ambrosius, namun hasilnya sama.

Melalui intrik dan suap di Pengadilan dengan sukses mereka dibebaskan dari hukuman pengasingan. Mereka juga diizinkan untuk mendapatkan kembali kepemilikan dari gereja-gereja mereka di Hispania, serta mereka memaksa Ithacius untuk meninggalkan negara itu.

Setelah kematian Priscillian, para pengikutnya meningkat. Paulus Orosius, seorang imam Galikan dari Barat Laut Hispania, menulis kepada St. Agustinus (415) untuk meminta bantuannya dalam memerangi ajaran sesat. Paus Leo I mengambil langkah tegas dan aktif untuk menghadang aliran sesat ini.

Landasan doktrin Priscillianisme adalah Gnostik Manichaean, yaitu keyakinan akan adanya dua kerajaan, yaitu Kerajaan Cahaya dan Kerajaan Kegelapan. Malaikat dan jiwa manusia dipisahkan dari substansi Ketuhanan. Jiwa manusia yang dimaksudkan untuk menaklukkan Kerajaan Kegelapan, tapi jatuh dan dipenjara dalam tubuh materi. Keselamatan manusia terdiri pembebasan dari dominasi materi.

Doktrin-doktrin ini bisa diselaraskan dengan ajaran Alkitab hanya oleh sebuah sistem yang kompleks penafsiran, menolak interpretasi konvensional dan mengandalkan ilham pribadi. Para Priscillian menerima sebagian besar Perjanjian Lama, tapi menolak kisah penciptaan. Beberapa Kitab Suci apokrif diakui sebagai asli dan terinspirasi. Karena Priscillian percaya bahwa materi dan alam yang jahat, mereka menjadi pertapa dan berpuasa pada hari Minggu dan Hari Natal. Karena doktrin mereka esoteris dan eksoteris, dan karena itu percaya bahwa laki-laki pada umumnya tidak bisa memahami jalan yang lebih tinggi atau setidaknya mereka dari mereka yang tercerahkan, diizinkan untuk berbohong demi akhir suci. Agustinus menulis sebuah karya yang terkenal, "Contra Mendacium" ("Melawan Berbohong") sebagai reaksi terhadap doktrin ini.

Monofisitisme

Monofisitisme (berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu mono yang berarti satu dan phusis yang berarti kodrat). Monofisit adalah ajaran yang diklaim sebagai ajaran bida’ah oleh Konsili Kalsedon pada tahun 451. Aliran ini memahami bahwa, Kristus hanya memiliki satu kodrat, yaitu kodrat ilahi.

Monofisit melihat bahwa tabiat yang Yesus miliki hanyalah tabiat tabiat yang satu dan kudus (ilahi). Terdapat dua doktrin utama dalam monofisit:

Eutychianisme meyakini bahwa kodrat manusiawi dan ilahi pada Kristus tergabung menjadi suatu kodrat yang tunggal: kodrat kemanusiannya telah hilang seperti memasukan madu ke dalam laut. Sesuai dengan nama alirannya, tokohnya adalah Eutykhes seorang rahib di biara arkimandrit di Konstantinopel.

Apollinarisme mempercayai bahwa Kristus memiliki tubuh dan dasar hidup manusiawi, tetapi Logos Ketuhanan telah mengambil tempat nous, atau "dasar pemikiran", dapat dianalogikan tetapi tidak identik dengan akal.

Cyrillus adalah seorang uskup Aleksandria yang setuju bahwa iman akan inkarnasi Allah hanya terjamin jika communicatio idiomatum diterima tanpa syarat dan gelar Theotokos diberikan kepada bunda Maria, maka akibat ini perhatian Cyrillus tertuju pada soteriologis. Ia menaruh perhatian, sekaligus menentang pandangan soteriologis dan pemahaman kodrat Yesus yang dipahami oleh Nestorius. Komentar Cyrillus pada ekaristi Nestorius yang menurutnya dalam ekaristi yang hadir di altar hanyalah tubuh manusia, sehingga daya ilahi tidak ada. Bertolak dari keprihatinan inilah, Cyrillus menegaskan bahwa Logos, ilahilah yang menjelma ke dalam Yesus Kristus. Ia meleburkan kedua kodrat demi kesatuan subjek, yaitu kodrat ilahi pada Yesus Kristus. Maka ajaran ini juga diteruskan oleh Rahib Eutykhes.

Yustianus adalah seorang yang dikenal sekali karena keorthodoksannya. Ia seorang kaisar yang memerintah di Byzantium (527-565). Dalam masa pemerintahannya, Yustianus dikenal sebagai kaisar yang tidak mau tunduk pada siapapun, bahkan setiap uskup baik dari gereja Timur ataupun Barat harus mematuhi setiap keputusan-keputusannya. Keorthodoksan dan kerasnya pemerintahan Yustianus, membuat ia mengawasi dengan sangat ketat setiap penyimpangan terhadap Kristen Orthodoks. Selama pemerintahan Yustianus, ia mengangkat sebuah undang-undang baru yang salah satu penekanannya adalah mengagungkan kekuasaan kaisar, menekankan juga pengaruh besar dari bapak-bapak gereja dan uskup di seluruh wilayah kekaisarannya, karena inilah akhirnya pengaruh gereja mencapai puncaknya di wilayah Timur. Selain kejayaan dalam masa kekaisarannya, Yustianus juga terpengaruh oleh karakter Kontantinus dalam usahanya mengembalikan kemuliaan kekaisaran yang murni. Maka usaha ini didukung oleh isterinya, yaitu Ratu Theodora yang dikenal sebagai pendukung Monofisit yang teguh. Atas dukungan besar dari isterinya untuk merebut kembali Afrika Utara, Italia, Sardinia, Sisilia, dan Spanyol bagian Selatan dan juga usaha untuk menyatukan kelima uskup, yaitu: Roma, Konstantinopel, Anthiokhia, Aleksandria, dan Yerusalem dilihat sebagai pengaruh besar yang membuat Yustianus akhirnya menerima Monofisit.

Setelah pisah dari gereja resmi melalui Konsili Kalsedon dan berdiri sendiri terjadi juga berbagai pandangan dalam kalangan Monofisit sendiri. Golongan itu adalah:

Golongan Yulianis atau dikenal dengan Aphthartodocetae yang mengajarkan bahwa tubuh Kristus tidak dapat binasa sejak inkarnasi.

Golongan Theopaschitisme yang muncul pada abad VI yang mengajarkan bahwa dalam inkarnasi Yesus, Allah sesungguhnya ikut menderita. Ajaran ini dipelopori oleh Yohanes Maxentius.

diambil dari tulisan 8 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar