Selasa, 02 Juni 2020

TELEVISI MENGANCAM KEHIDUPAN

Dewasa kini televisi sudah menjadi kebutuhan pelengkap utama dalam rumah tangga. Setiap rumah setidaknya mempunyai satu televisi. Hal ini dapat dimaklumi karena menonton acara televisi sudah menjadi budaya dalam masyarakat; sudah menjadi bagian dari agenda hidup keseharian sebagaimana makan dan tidur. Tak jarang anak dibiarkan sendiri menonton televisi tanpa pendampingan orangtua.
Akan tetapi, sering kali kita lupa kalau ternyata televisi memiliki akibat psikologis terhadap perkembangan anak. Salah satu dampak buruknya adalah anak akan kehilangan kepekaan gender dan moral. Kenapa bisa demikian?
Tak bisa dipungkiri bahwa pemilik stasiun televisi adalah seorang pebisnis. Semua pebisnis umumnya mempunyai orientasi profit: mencari keuntungan sebesar-besarnya. Hukum ekonomi menjadi pijakan dasarnya. Karena itu wajar bila televisi lebih mementingkan selera pasar dan iklan. Sebuah penelitian mengungkapkan 30% tayangan televisi berisi sinetron, 39% iklan, sedangkan acara yang mengandung pendidikan hanya 0,07%.
Jamak dijumpai dalam acara televisi, baik sinetron maupun acara hiburan lainnya, adegan kebanci-bancian. Sekilas adegan ini dirasa menghibur sehingga bisa mengundang tawa. Namun ketika adegan tersebut kontinu muncul di depan mata, terlebih mata anak, tentulah adegan tersebut menjadi suatu pembiasaan dan pembenaran. Anak tidak lagi dihadapkan pada kebingungan akan status gender: pria atau wanita, tetapi bahwa itu menjadi gender tersendiri. Dan bukan tidak mungkin anak akan mengambil peran tersebut bagi dirinya, karena dirasa bahwa peran tersebut bisa menghibur dan membuat orang lain senang.
Bukan cuma masalah gender yang muncul dari televisi. Perilaku kasar dan kekerasan juga bisa lahir dari televisi, khususnya acara sinetron atau film. Kekasaran itu terlihat pada kata-kata kasar dan tidak pantas, sedangkan kekerasan dapat dilihat pada aksi anak yang gemar berkelahi, menindas dan memeras (bulying), dan sebagainya. Harian KOMPAS pernah melakukan penelitian terkait masalah ini. Diberitakan bahwa 60% tayangan televisi maupun media lain telah membangun dan menciptakan perilaku kekerasan.

Belum lagi soal gaya hidup. Acara sinetron merupakan acara yang paling banyak mempengaruhi gaya hidup anak-anak, mulai dari gaya pakaian, gaya bicara hingga penampilan. Anak-anak tidak sadar kalau sinetron dan juga acara lain di televisi sebenarnya lebih merupakan dunia iimajiner. Cerita sinetron bukan berdasarkan kenyataan, tetapi rekayasa atau fiktif. Sekalipun dinyatakan “dari kisah nyata” namun tetap saja semua itu rekayasa karena televisi mengabdi pada pasar demi mendapat keuntungan. Dengan kata lain, televisi, khususnya tayangan sinetron dapat membuat anak tidak hidup dalam dunia nyata, tetapi dunia imajiner seperti sinetron itu.
DEMIKIANLAH dampak buruk televisi bagi kehidupan anak. Karena itu, sangat dianjurkan agar diadakan pembatasan waktu dalam menonton televisi. Jangan biarkan anak menghabiskan sebagian besar waktunya di depan televisi. Di samping itu sangatlah penting kehadiran orangtua dalam menonton acara televisi. Meski kerap terjadi orangtua juga telah larut dalam pengaruh televisi sehingga tak bisa menjalani perannya sebagai guide bagi anak-anaknya.
Secara khusus televisi harus dijauhkan dari anak bayi. Penelitian yang dilakukan sejumlah dokter spesialis, yang dimuat dalam majalah kedokteran Jerman, menegaskan bahwa televisi secara mendasar tidak baik bagi otak bayi.
disarikan dari tulisan 8 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar