Sabtu, 02 Juni 2012

TV Mengancam Kehidupan

MATIKAN TELEVISIMU
KUMPULAN ARTIKEL YANG MEMBANTU ANDA BAHWA BANYAK ACARA TELEVISI YANG MERUSAK PRIBADI MANUSIA

Kamis, 2009 Januari 08

DIA OM ATAU TANTE SIH???

Sumber : Koran Sindo
Jum’at, 12 September 2008 - 09:30 wib

SUATU hari seorang bocah bertanya kepada ibunya.”Bu, dia itu sesungguhnya om atau tante, sih?” Pertanyaan itu muncul setelah anak tadi sering menonton acara televisi dan pembawa acaranya sering berganti peran, kadang sebagai sosok laki-laki, lain kali sebagai perempuan.

Sekali waktu tampil gagah, pada waktu yang lain tampil cantik. Kebetulan kedua peran itu memang mengesankan sempurna, sehingga bocah tadi-dan mungkin sekali dia mewakili sekian banyak penonton lain-menjadi bingung.

Tidak bisa membedakan, presenter tadi laki-laki ataukah perempuan? Cerita tadi saya terima dari putri saya yang kebetulan seorang psikolog yang kini aktif di Yayasan Buah Hati bersama Ibu Elly Risman, psikolog senior yang sangat peduli dengan program pelatihan parenting berdasarkan nilai-nilai spiritual.Dari sudut pandang psikologi, yang memprihatinkan sesungguhnya bukan saja anak yang bingung tadi, melainkan juga perkembangan kepribadian selebriti yang kerap memainkan peran ganda dan sering bertingkah laku layaknya seorang “waria”: jenis kelamin boleh pria, bertingkah laku layaknya wanita.

Bahkan tingkahnya lebih kenes ketimbang umumnya wanita. Menurut nasihat psikolog, bagaimanapun sebuah peran yang diulang-ulang akan memengaruhi kepribadian seseorang. Jika seorang aktor atau aktris, baik sinetron maupun film sering kali berperan sebagai sosok pahlawan, misalnya, pasti akan berpengaruh ke dalam dirinya.

Sebab, dia dituntut untuk menjiwai alur cerita agar permainannya total dan bagus. Jadi, dalam peran itu ada proses peniruan dan identifikasi diri. Konon, ceritanya beberapa aktor kawakan kelas Hollywood seperti Antony Quinn, pribadinya berubah setelah memerankan sosok semacam Hamzah dalam film kolosal The Message.

Begitu pun aktor lain yang memerankan Saladin, ataupun Mahatma Gandi. Mereka menjadi lebih bijak dalam menjalani dan memaknai kehidupan. Pandangannya terhadap dunia Timur juga berubah. Mungkin sekali hal itu dipengaruhi oleh pemahaman dan penghayatan terhadap peran yang dimainkan.

Hiburan Cerdas dan Edukatif
Berdasarkan survei yang dilakukan Elly Risman di tujuh provinsi, adegan “kebanci-bancian” dalam acara televisi itu lama-lama bisa diterima sebagai hal yang biasa, bahkan dinikmati penonton. Acara itu menjadi tontonan keluarga.

Maklum, menonton televisi sudah membudaya di masyarakat, telah menjadi bagian dari agenda hidup keseharian sebagaimana makan dan tidur. Namun, pertanyaan Elly Risman, sadarkah pihak orangtua dan pengelola televisi akan akibat psikologis yang ditimbulkan oleh acara itu, khususnya terhadap perkembangan anak? Anak-anak dan orangtua akan kehilangan kepekaan gender dan moral.

Bahkan potensial mengganggu proses identifikasi jati diri karena bagaimanapun para selebriti itu menjadi salah satu model bagi anak-anak. Adapun terhadap “gay” yang senang pada praktik homoseksual, di kalangan psikolog sendiri muncul sikap pro-kontra. Ada yang mengatakan hal itu disebabkan kelainan jiwa yang bersifat bawaan, sehingga keberadaan mereka pantas dikasihani.

Jiwa wanita tetapi berada dalam tubuh laki-laki. Ada juga yang berpendapat, perilaku menyimpang itu semata produk lingkungan dan pendidikan. Terlepas dari pro-kontra tadi, selebriti yang sengaja tampil dengan peran berganti-ganti kelamin pada dasarnya laki-laki tulen namun senang berpenampilan sebagai perempuan, pantas dipertanyakan.

Mereka tampil seperti itu semata untuk mengundang tawa pemirsa, namun kurang menyadari bahwa hal itu telah membuat orangtua resah karena efek negatif yang ditimbulkan terhadap anak-anak. Ada anak laki-laki yang minta mengenakan pakaian perempuan dengan segala aksesorinya, ingin meniru apa yang dilihat di televisi.

Jika ini berkelanjutan, maka baik selebriti yang melakukan maupun anak-anak yang jadi pemirsa, akan mengalami perkembangan pribadi yang tidak normal. Dari sisi jumlah, selebriti yang senang dengan peran ini mungkin tidak banyak. Pemirsa pun mungkin bisa menghitung dan hafal nama-nama mereka.

Tetapi bagaimana dengan pihak anak-anak yang jadi penonton? Jumlahnya pasti lebih banyak. Apakah para selebriti itu juga senang kalau anak-anaknya nanti tumbuh dengan kepribadian ganda? Menarik direnungkan, terdapat pendapat dari kalangan kritikus panggung, pelawak yang tidak kreatif dan tidak cerdas, jika kekurangan bahan lawakan maka cenderung menyajikan lawakan yang bersifat porno atau bertingkah yang paradoksal semacam laki-laki lalu jadi “wanita”.

Padahal pelawak yang memang berbakat dan cerdas, untuk menjadi lucu tidak mesti menyinggung hal-hal porno. Kalaupun menyinggung, caranya tidaklah vulgar. Para psikolog, pendidik dan ahli agama rasanya perlu duduk bersama menyikapi fenomena “waria” dalam acara televisi ini.

Diperlukan pendekatan yang bijak dan penuh empati, bukan dengan kebencian dan penghakiman. Ajak dialog baik-baik tanpa merendahkan pihak lain. Pasti banyak pelajaran dan penjelasan ilmiah mengapa mereka bertingkah seperti itu serta akibat negatif apa saja yang ditimbulkan.

Komaruddin HidayatRektor UIN Syarif Hidayatullah(//mbs)

***

AWAS SINETRON

HINDARI SINETRON..!!!

Tayangan televisi mempengaruhi tingkah laku anak-anak bukan hanya berasal dari acara yang terkait dengan kekerasan seperti Smack Down. Televisi menghasilkan ragam acara mempengaruhi tingkah laku anak-anak dari yang masih ingusan sampai yang beranjak remaja. Salah satu acara televisi mempengaruhi anak-anak adalah sinetron. Sinetron merupakan salah satu tayangan yang dominan mengisi tayangan di saluran stasiun televisi. Laporan departemen komunikasi dan informatika menyatakan 30% dari tayangan televisi berisi sinetron dan 39% iklan. Tayangan yang mengandung unsur pendidikan hanya 0,07% berbicara soal pendidikan. Sinetron cenderung merujuk pada ide yang sama.

Sinetron menampilkan judul dengan ide nama tokoh yang cenderung sama, misal Cinderella, Diva, Bunga. Dan bakal muncul nama-nama lainnya. Tokoh-tokoh diusahakan akrab di telinga agar ditonton oleh anal-anak dan remaja. Tokoh ditampilkan dengan karakter laki-laki ganteng dan pemimpin perusahaan atau laki-laki dari golongan menengah ke atas dengan gaya mentereng, sedangkan perempuan ditampilkan cewek cantik yang kurang mampu atau cewek cantik yang kaya dengan gaya yang manja. Gejala ini menurut Miftahussurur dkk (2007:12) menyatakan tayangan layar kaca sebenarnya lebih merupakan dunia ide atau dunia imajiner. Cerita sinetron bukan berdasarkan kenyataan sebenarnya, tetapi lebih mementingkan selera pasar dan iklan.

Berita di harian kompas membuat penulis tertarik membahas sinetron. Semua gejala yang terdapat pada sinetron sangat mempengaruhi apa yang dicerna oleh anak-anak dan remaja. Harian Kompas (15/01/08) memberitakan bahwa enam puluh persen tayangan televisi maupun media lainnya telah membangun dan menciptakan prilaku kekerasan. Penyimpangan prilaku tidak hanya berupa tindak kekerasan, tetapi juga kata-kata kasar dan tidak pantas. Rusdi Muchtar melakukan penelitian di Medan, Makasar, Palembang, dan Bandung tayangan berbau kekerasan cenderung mempengaruhi anak-anak remaja. So, perhatikan setiap tayangan TELEVISI, atau seperti kata kak Seto.... MATIKAN TV ANDA.

***

JAUHKAN TV DARI BAYI

KapanLagi.com - Meski sudah banyak diciptakan acara khusus televisi dan rancangan film untuk bayi, tetap tak bisa mengubah pemikiran bahwa televisi bisa membawa dampak buruk bagi otak si kecil. Menurut sejumlah dokter spesialis yang dimuat dalam majalah kedokteran Jerman awal pekan ini secara tegas menyebutkan bahwa televisi secara mendasar tidak baik bagi otak bayi.

"Acara khusus televisi dan DVD rancangan khusus bagi bayi yang mengklaim dapat meningkatkan perkembangan otak secara nyata lebih membawa pengaruh buruk bagi perkembangan otak bayi," demikian pernyataan dokter ahli yang dimuat dalam majalah Neu-Isenburg.

Bayi belajar mengalami gangguan dari televisi, kata laporan ilmuwan yang mengacu kepada daya kerja otak yang merupakan penelitian Profesor Manfred Spitzer dari Ulm. Menurut Manfred Spitzer bayi tak dapat memproses rangkaian dari tampilan benda maupun suara dari televisi.

Spitzer mengatakan dalam satu penelitian di Amerika Serikat sekelompok bayi yang memiliki kisaran umur sembilan hingga 12 bulan dibacakan cerita dalam bahasa China sementara sekelompok bayi lainnya mendengarkan cerita yang sama dari sebuah televisi.
Bayi-bayi dari kelompok pertama dalam waktu dua bulan berselang dapat mengenali suara dalam bahasa China namun kelompok dua yang melulu hanya mendengarkan dan melihat tampilan layar di televisi tidak mempelajari apapun.

Para peneliti otak mengatakan bahwa letak televisi yang salah dapat berbahaya apabila seorang dewasa membacakan cerita bagi bayinya. Menurut satu penelitian lainnya yang melibatkan 1000 keluarga yang memiliki bayi dengan kisaran usia delapan hingga 16 bulan yang secara berkala dibacakan cerita, maka anak-anak tersebut mengenali atau mengetahui jumlah kata 8 persen lebih banyak dari rata-rata.

Jumlah perbendaharaan kata anak-anak yang banyak melihat acara Baby TV atau DVD yang khusus diperuntukkan bagi bayi adalah 20 persen lebih rendah dari jumlah kata yang dimiliki anak-anak secara rata-rata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar