MATIKAN TELEVISIMU
Kamis, 2009 Januari 08
DIA OM ATAU TANTE SIH???
Sumber : Koran Sindo
Jum’at, 12 September 2008 - 09:30 wib
SUATU hari seorang bocah bertanya kepada ibunya.”Bu, dia itu sesungguhnya om atau tante, sih?” Pertanyaan itu muncul setelah anak tadi sering menonton acara televisi dan pembawa acaranya sering berganti peran, kadang sebagai sosok laki-laki, lain kali sebagai perempuan.
Jum’at, 12 September 2008 - 09:30 wib
SUATU hari seorang bocah bertanya kepada ibunya.”Bu, dia itu sesungguhnya om atau tante, sih?” Pertanyaan itu muncul setelah anak tadi sering menonton acara televisi dan pembawa acaranya sering berganti peran, kadang sebagai sosok laki-laki, lain kali sebagai perempuan.
Sekali waktu tampil gagah, pada waktu yang lain tampil cantik. Kebetulan kedua peran itu memang mengesankan sempurna, sehingga bocah tadi-dan mungkin sekali dia mewakili sekian banyak penonton lain-menjadi bingung.
Tidak bisa membedakan, presenter tadi
laki-laki ataukah perempuan? Cerita tadi saya terima dari putri saya yang
kebetulan seorang psikolog yang kini aktif di Yayasan Buah Hati bersama Ibu
Elly Risman, psikolog senior yang sangat peduli dengan program pelatihan
parenting berdasarkan nilai-nilai spiritual.Dari sudut pandang psikologi, yang
memprihatinkan sesungguhnya bukan saja anak yang bingung tadi, melainkan juga
perkembangan kepribadian selebriti yang kerap memainkan peran ganda dan sering
bertingkah laku layaknya seorang “waria”: jenis kelamin boleh pria, bertingkah
laku layaknya wanita.
Bahkan tingkahnya lebih kenes ketimbang
umumnya wanita. Menurut nasihat psikolog, bagaimanapun sebuah peran yang diulang-ulang akan memengaruhi
kepribadian seseorang. Jika seorang aktor atau aktris, baik
sinetron maupun film sering kali berperan sebagai sosok pahlawan, misalnya,
pasti akan berpengaruh ke dalam dirinya.
Sebab, dia dituntut untuk menjiwai alur cerita agar permainannya
total dan bagus. Jadi, dalam peran itu ada proses peniruan dan identifikasi
diri. Konon, ceritanya beberapa aktor kawakan kelas Hollywood seperti Antony
Quinn, pribadinya berubah setelah memerankan sosok semacam Hamzah dalam film
kolosal The Message.
Begitu pun aktor lain yang memerankan
Saladin, ataupun Mahatma Gandi. Mereka menjadi lebih bijak dalam menjalani dan
memaknai kehidupan. Pandangannya terhadap dunia Timur juga berubah. Mungkin
sekali hal itu dipengaruhi oleh pemahaman dan penghayatan terhadap peran yang
dimainkan.
Hiburan Cerdas dan Edukatif
Berdasarkan survei yang dilakukan Elly Risman di tujuh provinsi, adegan “kebanci-bancian” dalam acara televisi itu lama-lama bisa diterima sebagai hal yang biasa, bahkan dinikmati penonton. Acara itu menjadi tontonan keluarga.
Berdasarkan survei yang dilakukan Elly Risman di tujuh provinsi, adegan “kebanci-bancian” dalam acara televisi itu lama-lama bisa diterima sebagai hal yang biasa, bahkan dinikmati penonton. Acara itu menjadi tontonan keluarga.
Maklum, menonton televisi sudah membudaya di
masyarakat, telah menjadi bagian dari agenda hidup keseharian sebagaimana makan
dan tidur. Namun, pertanyaan Elly Risman, sadarkah pihak orangtua dan pengelola
televisi akan akibat psikologis yang ditimbulkan oleh acara itu, khususnya terhadap perkembangan
anak? Anak-anak dan orangtua akan kehilangan kepekaan
gender dan moral.
Bahkan potensial mengganggu proses
identifikasi jati diri karena bagaimanapun para selebriti itu menjadi salah
satu model bagi anak-anak. Adapun terhadap “gay” yang senang pada praktik
homoseksual, di kalangan psikolog sendiri muncul sikap pro-kontra. Ada yang
mengatakan hal itu disebabkan kelainan jiwa yang bersifat bawaan, sehingga
keberadaan mereka pantas dikasihani.
Jiwa wanita tetapi berada dalam tubuh
laki-laki. Ada juga yang berpendapat, perilaku menyimpang itu semata produk
lingkungan dan pendidikan. Terlepas dari pro-kontra tadi, selebriti yang
sengaja tampil dengan peran berganti-ganti kelamin pada dasarnya laki-laki
tulen namun senang berpenampilan sebagai perempuan, pantas dipertanyakan.
Mereka tampil seperti itu semata untuk
mengundang tawa pemirsa, namun kurang menyadari bahwa hal itu telah membuat
orangtua resah karena efek negatif yang ditimbulkan terhadap anak-anak. Ada
anak laki-laki yang minta mengenakan pakaian perempuan dengan segala
aksesorinya, ingin meniru apa yang dilihat di televisi.
Jika ini berkelanjutan, maka baik selebriti
yang melakukan maupun anak-anak yang jadi pemirsa, akan mengalami perkembangan
pribadi yang tidak normal. Dari sisi jumlah, selebriti yang senang dengan peran
ini mungkin tidak banyak. Pemirsa pun mungkin bisa menghitung dan hafal
nama-nama mereka.
Tetapi bagaimana dengan pihak anak-anak
yang jadi penonton? Jumlahnya pasti lebih banyak. Apakah para selebriti itu
juga senang kalau anak-anaknya nanti tumbuh dengan kepribadian ganda? Menarik
direnungkan, terdapat pendapat dari kalangan kritikus panggung, pelawak yang
tidak kreatif dan tidak cerdas, jika kekurangan bahan lawakan maka cenderung
menyajikan lawakan yang bersifat porno atau bertingkah yang paradoksal semacam
laki-laki lalu jadi “wanita”.
Padahal pelawak yang memang berbakat dan
cerdas, untuk menjadi lucu tidak mesti menyinggung hal-hal porno. Kalaupun
menyinggung, caranya tidaklah vulgar. Para psikolog, pendidik dan ahli agama
rasanya perlu duduk bersama menyikapi fenomena “waria” dalam acara televisi
ini.
Diperlukan pendekatan yang bijak dan penuh
empati, bukan dengan kebencian dan penghakiman. Ajak dialog baik-baik tanpa
merendahkan pihak lain. Pasti banyak pelajaran dan penjelasan ilmiah mengapa
mereka bertingkah seperti itu serta akibat negatif apa saja yang ditimbulkan.
Komaruddin HidayatRektor UIN Syarif
Hidayatullah(//mbs)
***
AWAS SINETRON
HINDARI SINETRON..!!!
Tayangan televisi mempengaruhi tingkah laku anak-anak bukan hanya berasal dari acara yang terkait dengan kekerasan seperti Smack Down. Televisi menghasilkan ragam acara mempengaruhi tingkah laku anak-anak dari yang masih ingusan sampai yang beranjak remaja. Salah satu acara televisi mempengaruhi anak-anak adalah sinetron. Sinetron merupakan salah satu tayangan yang dominan mengisi tayangan di saluran stasiun televisi. Laporan departemen komunikasi dan informatika menyatakan 30% dari tayangan televisi berisi sinetron dan 39% iklan. Tayangan yang mengandung unsur pendidikan hanya 0,07% berbicara soal pendidikan. Sinetron cenderung merujuk pada ide yang sama.
Sinetron menampilkan judul dengan ide nama tokoh yang cenderung
sama, misal Cinderella, Diva, Bunga. Dan bakal muncul nama-nama lainnya.
Tokoh-tokoh diusahakan akrab di telinga agar ditonton oleh anal-anak dan
remaja. Tokoh ditampilkan dengan karakter laki-laki ganteng dan pemimpin
perusahaan atau laki-laki dari golongan menengah ke atas dengan gaya mentereng, sedangkan perempuan ditampilkan cewek
cantik yang kurang mampu atau cewek cantik yang kaya dengan gaya yang manja. Gejala ini menurut
Miftahussurur dkk (2007:12) menyatakan tayangan layar kaca
sebenarnya lebih merupakan dunia ide atau dunia imajiner. Cerita
sinetron bukan berdasarkan kenyataan sebenarnya, tetapi lebih mementingkan
selera pasar dan iklan.
Berita di harian kompas membuat penulis
tertarik membahas sinetron. Semua gejala yang terdapat pada sinetron sangat
mempengaruhi apa yang dicerna oleh anak-anak dan remaja. Harian Kompas
(15/01/08) memberitakan bahwa enam puluh persen tayangan televisi maupun media
lainnya telah membangun dan menciptakan prilaku kekerasan. Penyimpangan prilaku
tidak hanya berupa tindak kekerasan, tetapi juga kata-kata kasar dan tidak
pantas. Rusdi Muchtar melakukan penelitian di Medan, Makasar, Palembang, dan
Bandung tayangan berbau kekerasan cenderung mempengaruhi anak-anak remaja. So,
perhatikan setiap tayangan TELEVISI, atau seperti kata kak Seto.... MATIKAN TV
ANDA.
***
JAUHKAN TV DARI BAYI
KapanLagi.com - Meski sudah banyak
diciptakan acara khusus televisi dan rancangan film untuk bayi, tetap tak bisa
mengubah pemikiran bahwa televisi bisa membawa dampak buruk bagi otak si kecil.
Menurut sejumlah dokter spesialis yang dimuat dalam majalah kedokteran Jerman
awal pekan ini secara tegas menyebutkan bahwa televisi secara mendasar tidak
baik bagi otak bayi.
"Acara khusus televisi dan DVD
rancangan khusus bagi bayi yang mengklaim dapat meningkatkan perkembangan otak
secara nyata lebih membawa pengaruh buruk bagi perkembangan otak bayi,"
demikian pernyataan dokter ahli yang dimuat dalam majalah Neu-Isenburg.
Bayi belajar mengalami gangguan dari
televisi, kata laporan ilmuwan yang mengacu kepada daya kerja otak yang
merupakan penelitian Profesor Manfred Spitzer dari Ulm. Menurut Manfred Spitzer
bayi tak dapat memproses rangkaian dari tampilan benda maupun suara dari
televisi.
Spitzer mengatakan dalam satu penelitian di
Amerika Serikat sekelompok bayi yang memiliki kisaran umur sembilan hingga 12
bulan dibacakan cerita dalam bahasa China sementara sekelompok bayi lainnya
mendengarkan cerita yang sama dari sebuah televisi.
Bayi-bayi dari kelompok pertama dalam waktu dua bulan berselang dapat mengenali suara dalam bahasa China namun kelompok dua yang melulu hanya mendengarkan dan melihat tampilan layar di televisi tidak mempelajari apapun.
Bayi-bayi dari kelompok pertama dalam waktu dua bulan berselang dapat mengenali suara dalam bahasa China namun kelompok dua yang melulu hanya mendengarkan dan melihat tampilan layar di televisi tidak mempelajari apapun.
Para peneliti otak mengatakan bahwa letak
televisi yang salah dapat berbahaya apabila seorang dewasa membacakan cerita
bagi bayinya. Menurut satu penelitian lainnya yang melibatkan 1000 keluarga
yang memiliki bayi dengan kisaran usia delapan hingga 16 bulan yang secara
berkala dibacakan cerita, maka anak-anak tersebut mengenali atau mengetahui
jumlah kata 8 persen lebih banyak dari rata-rata.
Jumlah perbendaharaan kata anak-anak yang
banyak melihat acara Baby TV atau DVD yang khusus diperuntukkan bagi bayi
adalah 20 persen lebih rendah dari jumlah kata yang dimiliki anak-anak secara
rata-rata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar