Minggu, 29 Maret 2020

SHARING PENGALAMAN MARIA NATALIA BUDIMAN

Saya, Maria Natalia Budiman, lahir dan dibesarkan dalam keluarga Katolik. Sejak kecil, saya sudah aktif di gereja Katolik: ikut koor, menjadi pengantar, dan aktif di Mudika. Hanya saya jarang ikut kegiatan yang bersifat pendalaman iman. Saya tak pernah diajar membaca dan mengerti alkitab, mengerti akan pentingnya doa dan devosi terhadap Bunda Maria dan santo/santa. Perayaan Misa bagi saya adalah ritualitas biasa (tanpa mengerti akan artinya). Semua itu membuat saya pergi ke gereja hanya karena 'memang begitulah seharusnya', bukan karena didasarkan atas motivasi hati dan keinginan saya untuk lebih dekat dengan Tuhan.
Setamat SMA saya memutuskan bersekolah di luar negeri. Saya mengambil bidang Tehnik Kimia di Oregon State University, Amerika. Satu tahun kemudian, saya pindah ke University of Wisconsin, Madison, Wisconsin. Ada banyak anak Indonesia bersekolah di sini. Saya mencoba untuk lebih ikut aktif di kegiatan mahasiswa. Alasan utamanya adalah karena ingin mendalami iman saya lebih lanjut. Jauh dari keluarga membuat saya lebih terpanggil untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Saya mengusulkan untuk belajar Alkitab, tapi teman-teman pada protes. Mereka bilang sudah capai belajar selama seminggu dan mereka hanya mau berkumpul untuk bersosialisasi saja. Belajar Alkitab sifatnya terlalu serius. Meski tidak setuju, saya diam saja dan tidak memaksakan kehendak saya.
Dalam perjalanan waktu saya berkenalan dengan kelompok anak Indonesia yang lain: ICF atau Persekutuan Kristen Indonesia. Waktu datang pertama kali, saya disambut dengan hangat. Pertemuannya dibuka dengan menyanyi pujian, kesaksian iman dan presentasi dari speaker mengenai Alkitab. Saya sangat menikmati pertemuan ini. Saya merasakan persahabatan dalam iman yang begitu kuat dan murni. Walau orang baru, saya sudah merasa seperti bagian dari keluarga besar ICF. Saya tidak pernah merasa bersalah mengikuti kegiatan ICF, karena yang penting saya menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Selain itu, saya merasa mempunyai Tuhan dan iman Kristiani yang sama.
Keterlibatan saya dalam kelompok ICF berkembang dari sekedar hadir di pertemuan menjadi anggota kursus kepemimpinan Kristen, pemimpin grup pendalaman Alkitab, pemimpin bagian evangelisasi, koordinator beberapa perayaan kampus, ikut serta dalam kelompok missionaris ke Guadalajara (Mexico) dan aktif dalam konferensi kelompok-kelompok ICF di Amerika.
Saya Menjadi Protestan
Saat itu, saya yakin bahwa yang terpenting adalah hubungan langsung saya dengan Bapa, Kristus dan Roh Kudus. Hal ini membuat saya menilai banyak tradisi di Gereja Katolik yang sebenarnya 'tidak perlu'; seperti penghormatan kepada Bunda Maria, santo/santa, otoritas Paus sebagai pemimpin gereja, pengakuan dosa terhadap pastor, tradisi dan simbol-simbol di gereja dll. Di mata saya, umat Protestan lebih serius terhadap iman kristiani daripada orang-orang Katolik. Saya juga sangat tersentuh dengan kebaktian di Gereja Protestan; dengan musik dan lagu-lagu yang indah, dan pendalaman Alkitab yang sangat mengena. Saya melihat Gereja Katolik begitu penuh ritual, sulit dimengerti dan tak bisa menjamah hati. Tanpa disadari, saya semakin meninggalkan Gereja Katolik dan menjadi anggota Gereja Protestan.
Orangtua dan keluarga menyesali keputusan saya untuk pindah ke Gereja Protestan. Mereka mencoba untuk mempengaruhi saya, tetapi selalu berakhir dengan perdebatan dan sakit hati. Ayah berkomentar "Lia, kamu sudah diajar di Gereja Katolik yang dimulai oleh Kristus dan diteruskan oleh Petrus, rasul Kristus yang langsung diajar oleh Kristus sendiri, kenapa kamu masih pergi ke gereja lain?" Saya langsung menjawab dengan bersemangat, "Tetapi Gereja Protestan bisa membuat saya lebih dekat dengan Tuhan, saya lebih mengerti akan Alkitab." Perdebatan ini membuat orangtua saya sedih dan menyesal.
Selama studi di universitas, saya pernah magang di Detroit (Michigan), dan mengambil Summer school di Houston (Texas). Di tempat yang berbeda ini, saya juga pindah ke Gereja Protestan yang berbeda denominasinya. Di Detroit, saya ke Gereja Baptis, di Houston saya ke Gereja Pantekosta. Di tahun 1997, saya ditawarkan untuk bekerja di South Carolina. Saya pun pindah ke Gereja 'Southern Baptist'. Saya tidak tahu bagaimana caranya memilih suatu denominasi tertentu. Waktu saya tanya ke pendeta, dia hanya menjawab, "Cari gereja yang cocok di hatimu dan bisa membuat kamu merasa senang".
Perjalanan Pulang ke “Roma”
Tahun 1996, Tuhan mempertemukan saya dengan calon suami saya: Kyle Brownell, seorang Amerika Katolik. Hampir semua teman Protestan saya tidak setuju akan hubungan kami. Mereka mengganggap orang Katolik itu bukan 'orang percaya', sehingga harus diinjili. Saat itu saya pikir bahwa saya dipakai Tuhan untuk mengubahnya menjadi seorang Protestan, terutama karena dia (seperti banyak orang Katolik yang saya kenal) tidak begitu mengerti akan iman Katoliknya. Saya sangat yakin bahwa dalam waktu beberapa tahun, Kyle akan menjadi Protestan seperti saya.
Tinggal di South Carolina dengan lingkungan yang baru, jauh dari teman-teman ICF membuat saya merenung. Untuk pertama kalinya saya bertanya-tanya di dalam hati, kenapa setiap pindah tempat, saya harus mencari Gereja Protestan yang baru? Sebenarnya Gereja Protestan mana yang lebih benar? Semua menganggap denominasinya yang benar, yang diinspirasikan langsung dari Roh Kudus. Kalau benar semuanya dari Roh Kudus dan hanya ada satu Roh Kudus, kenapa ada banyak gereja yang berbeda? Apakah cara memilih denominasi hanya didasarkan akan 'feeling good' (perasaan cocok/senang) saja? Saya bertekad bahwa saya harus memutuskan untuk yang terakhir kalinya, gereja mana yang saya pilih. Kali ini saya harus benar-benar mengerti mengapa saya memilih gereja tersebut dan bukan hanya sekedar 'feeling good' belaka.
Hal lain yang membuat saya bertanya-tanya akan pengertian iman Protestan adalah bahwa setelah seseorang "menerima Tuhan Yesus di dalam hati", seseorang dijamin masuk surga. Saya melihat ada ketidak-konsistenan pernyataan iman Protestan ini. Bagaimana Gereja Protestan yakin mengatakan bahwa seseorang selamat atau tidak hanya berdasarkan pada pertanyaan, "Apakah kamu menerima Tuhan Yesus di dalam hatimu?" Bukankah keyakinan ini hanya berdasarkan iman saja? Padahal Rasul Yakobus menulis "Iman tanpa perbuatan adalah mati" (Yak 2:17, 26).
Saya juga mulai menilai sikap Gereja Protestan terhadap Bunda Maria. Bagaimana mereka menanggapi penampakan Bunda Maria yang terbukti terjadi di beberapa tempat di dunia, tentang banyak mukjijat yang terjadi sehubungan dengan penampakan tersebut, dan dampaknya terhadap pertobatan jutaan orang?
Tentang ekaristi yang ditolak Gereja Protestan, saya bertanya bagaimana mereka mengartikan ayat Alkitab "Barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui Tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya" (1Kor 11: 29). Dalam pengajaran Yesus tentang Roti Hidup, banyak murid pergi meninggalkan-Nya (Yoh 6: 66), justru karena kesungguhan Yesus tentang hal ini. Jadi, hosti anggur dalam ekaristi bukan cuma simbol biasa.
Semua pertanyaan ini membuat saya mulai ragu akan 'KEUTUHAN' iman kristiani yang dipercayai oleh Gereja Protestan. Hati saya tidak damai. Entah bagaimana, saya ingin berdoa dan menyembah Kristus dalam kedamaian. Saya tidak peduli lagi akan musik meriah, atau kotbah yang bersemangat. Saya membutuhkan kedamaian dan kebenaran yang utuh. Saya ingin merenungi kehidupan Kristus secara keseluruhan.
Gereja Katolik Mempunyai Jawaban
Suatu hari, saya mendengar suara lembut memanggil saya untuk ikut misa. Ikut misa kudus setelah 6 tahun absen memberi kesan yang lain dalam hati saya. Saat itu saya akhirnya dapat berdoa dengan damai dan menyatukan hati dengan pengorbanan Kristus. Suara lembut itu meminta saya untuk tidak meninggalkan Gereja Katolik. Sepertinya tidak adil, kalau meninggalkan Gereja Katolik tanpa benar-benar mengerti ajaran Gereja Katolik yang sebenarnya. Saya bertekad untuk mempelajari iman Katolik dengan lebih dalam, sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya.
Tuhan mempertemukan saya dengan pasangan suami-istri yang juga sedang ingin mendalami iman Katolik seperti saya. Mereka mengajak saya untuk belajar bersama dari buku-buku "Dr. Scott Hahn", seorang teolog Protestan ternama yang akhirnya menjadi Katolik. Selain Scott Hahn, kami juga belajar dari Katekismus Gereja Katolik, yang mengajarkan doktrin Gereja Katolik secara utuh dan sistematis.
Saya menemukan bahwa ajaran Gereja Katolik sangat Alkitabiah. Gereja Katolik juga percaya akan Tradisi Suci yang membantu menginterpretasikan Alkitab dengan benar. Tradisi ini diturunkan Kristus kepada para rasul, Paus, uskup, dari generasi ke generasi. Hal ini sesuai dengan sabda Kristus kepada Petrus "Di atas batu karang ini Aku akan dirikan Gereja-Ku." (Mat 16:18). Doa Kristus agar pengikut-Nya bersatu menghantar saya untuk mengakui otoritas Paus, sebagai pemimpin Gereja.
Pertanyaan tentang keselamatan terjawab dalam pengajaran bahwa Gereja Katolik percaya bahwa Kristus adalah Penyelamat manusia dari dosa. Dengan percaya kepada-Nya kita menerima janji keselamatan di Surga. Tetapi, keselamatan ini dapat hilang, apabila iman kita tidak diikuti perbuatan (Yak 2: 17, 26). Tuhan ingin kita menjadi kudus, karena tanpa kekudusan kita tidak bisa masuk ke surga. Kekudusan ini harus dinyatakan dengan pemurnian iman dalam perbuatan sehari-hari. Karena itu Yesus berkata, "Bukan mereka yang memanggil Tuhan, Tuhan, yang akan diselamatkan, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa di surga." (Mat 7: 21). Ajaran keselamatan ini adalah jawaban terakhir yang saya perlukan untuk kembali ke Gereja Katolik.

Saya merasa sungguh bahagia sekali, sekarang saya sudah 'pulang' ke rumah Tuhan di Gereja Katolik. Ke manapun, saya tidak perlu bingung pergi ke gereja yang mana, karena di manapun Gereja Katolik tetap sama. Saya yakin bahwa Gereja Katolik ini bukan didirikan oleh orang biasa, tetapi oleh Kristus sendiri. 

diolah kembali dari tulisan 7 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar