Jumat, 27 Desember 2019

PENGANTAR INJIL YOHANES


Kalau orang membaca keempat Injil,  tentulah orang langsung menemukan perbedaan mencolok antara Injil-injil sinoptik, di satu pihak, dengan Injil Yohanes. Ketiga Injil Sinoptik menampilkan kisah Sang Penebus secara sederhana dengan menggunakan kesaksian para saksi mata. Sementara itu Injil Yohanes tidak menampilkan kesederhanaan ala Sinoptik. Kitab ini telah menjalani proses pematangan dengan bertambahnya umur Yohanes. Pengalamannya sebagai rasul menggerakkan dia untuk terus-menerus menginterpretasikan kehadiran Yesus yang telah bangkit dalam Gereja.
Yohanes memiliki tujuan dalam menulis Injil-nya, yakni "Supaya kamu percaya bahwa Yesus adalah Putra Allah" (Yoh. 20:31). Iman Gereja mewartakan Yesus sebagai Putra Allah. Sekalipun kebangkitan Yesus telah menampakkan bahwa Dia adalah pribadi ilahi, orang masih bisa bertanya bagaimana dan sejak kapan Yesus menjadi Putra Allah dan sejauh mana Ia diidentifikasikan dengan Allah. Injil Yohanes menegaskan dengan jelas bahwa Yesus selalu ada bersama Allah sejak keabadian. Penegasan tentang asal usul Yesus membantu kita untuk memahami keseluruhan karya Yohanes. Putra Allah yang abadi dan yang telah menjadi manusia tidak datang hanya untuk mengajar kita bagaimana kita dapat memperbaiki diri kita, tetapi juga untuk mentransformasikan seluruh ciptaan menjadi ciptaan baru.
Yohanes tidak menyusun Injilnya dari nol. Ada banyak saksi dan juga keterangan-keterangan yang telah dikonfirmasikan dibanding dengan Injil-Injil lain. Tetapi, Yohanes tidak membatasi diri pada ingatannya sendiri. Dengan berlalunya waktu, ia mengungkapkan dan mengembangkan sabda-sabda Yesus dengan mengarang wejangan-wejangan dimana Yesus "dengan bantuan Yohanes" berbicara kepada kita secara aktual.
Injil Yohanes itu kontroversial karena semakin murni suatu kebenaran, semakin sedikit pula orang yang bisa menerimanya. Oleh karena itu, Injil ini menimbulkan kontroversi-kontroversi di dalam Gereja sendiri tetapi kemudian Injil ini diakui sebagai sabda Allah dan sebagai kesaksian apostolik.

Maka InjiI Yohanes ditulis, lalu ditulis ulang dan sangat mungkin baru diterbitkan sesudah kematian penulisnya, sekitar tahun 95 sesudah Masehi, sebagaimana diisyaratkan oleh satu alinea kecil yang ditambahkan pada akhir Injil. Dalam karangan terakhir ini, tampaknya Yohanes mengorganisir Injilnya seputar tiga kali perayaan Paskah yang terjadi semasa hidup Yesus di depan umum.
Di sini kita menemukan suatu unsur penting untuk memahami pikiran Yohanes. Ia menyelesaikan Injilnya 20 tahun sesudah jatuhnya Yerusalem dan Bait Allah ke dalam tangan tentara-tentara Roma. Seperti Paulus, Yohanes mengetahui bahwa kebangkitan Yesus membuka suatu zaman baru. Wahyu kepada bangsa Yahudi dan Liturgi besar di dalam Bait Allah adalah bagian dari masa lampau, tetapi dalam perjanjian pertama, yang sekarang disebut Perjanjian Lama, ditemukan kunci-kunci untuk memahami prestasi Yesus. Oleh sebab itu, Yohanes mengingatkan kita akan pesta-pesta Yahudi dan simbol-simbol keagamaan seperti air, daun palma, anak domba ..., tetapi ia akan menunjukkan bagaimana simbol-simbol ini diberi arti baru dalam kehidupan dan liturgi Kristen.
Oleh karena itu, sesudah suatu pembukaan yang disebut pekan penemuan (sampai 2:16) orang bisa melihat tiga bagian:
- Dalam 2: 17 Yesus pergi ke Bait Allah, untuk perayaan Paskah: bab 2-5 mengembangkan simbol Bait Allah.
- Dalam 6: 4 perayaan Paskah disebut lagi dan Yohanes mengembangkan simbol roti.
- Dalam 13: 1 ditemukan lagi perayaan Paskah untuk ketiga kalinya, ketika Yesus disalibkan pada saat semua anak domba dikurbankan di Bait Allah. Anak domba adalah simbol ketiga.
Umumnya orang memahami bahwa Rasul Yohanes adalah penulis lnjil ini. Akan tetapi, ada banyak alasan untuk meragukan bahwa Yohanes Rasul sendirilah yang menulisnya, tetapi ada sama banyak alasan yang bisa ditemukan yang mendukung tradisi yang mengatakan bahwa Yohanes RasuI adalah pengarang Injil Yohanes.
Ada suatu alasan yang mendorong beberapa orang untuk mencari penulis lain yang bukan salah satu dari rasul-rasul. Pesan Yohanes jelas dan menyakiti hati. Haruskah orang menerima bahwa Dia yang sedari kekal sudah menandai Yohanes dan mungkin mencintai dia lebih daripada rasul-rasul lain adalah Sang Sabda Allah sendiri, Allah yang lahir dari Allah? Berani sekali pernyataan ini! Mungkin orang lebih suka hal seperti ini tidak dikatakan langsung oleh Yohanes tetapi ditambahkan kemudian oleh seorang teolog. Lebih mudah bagi teolog ini untuk mengangkat tokoh Yesus sebagai tokoh YANG IDEAL karena, dengan melihat dari jauh, ia tidak mengalami sepenuhnya kehadiran Yesus yang sangat manusiawi: cara Yesus melihat, makan, mencuci, dan berbau keringat. Tetapi harus diakui bahwa ada argumen-argumen kuat yang akan mendorong kita untuk meragukan apakah Yohanes adalah benar-benar penulisnya. Bagi banyak ahli argumen utamanya ialah: puluhan tahun telah berlalu antara kisah pertama yang masih segar tentang karya-karya Yesus dan penulisan wejangan-wejangan yang dibuat kemudian berdasarkan kisah-kisah itu; dan penulisan ini pun tampaknya kadang-kadang melupakan tradisi asli. Mungkinkah salah satu dari saksi-saksi Yesus yang pertama telah merenung sejauh itu?
Sangat mungkin orang yang menyusun wejangan-wejangan dalam Injil Yohanes pada tahun tujuh puluhan adalah seorang teolog yang tinggal dekat Efesus yang, menurut tradisi yang sangat tua, menjadi tempat Yohanes menyendiri dan mati. Minatnya pada liturgi dan Bait Allah membuat kita berpikir mungkin ia seorang imam. Apakah hal ini cocok dengan pribadi Yohanes putra Zebedeus, seorang nelayan Tiberias? Mungkinkah visi tentang Yesus sebagai Mesias Putra Allah, Penebus dunia telah mempengaruhi seluruh pikirannya sehingga ia mengungkapkannya demikian dalam Injil?
Jawaban terhadap pertanyaan seperti itu banyak tergantung pada pengalaman masing-masing. Kita mungkin telah bertemu dengan orang-orang beriman yang adalah teolog yang dapat dipercaya sekalipun mereka tidak pernah menginjakkan kaki di salah satu universitas. Mereka pernah menjumpai seorang pribadi yang mengagumkan dan perjumpaan itu sudah cukup untuk membangkitkan bakat-bakat mereka. Kemudian mereka menjadi salah satu dari beberapa rasul yang selalu merenungkan peristiwa-peristiwa dan penemuan-penemuan dalam karya pelayanan mereka, selalu bersemangat memahami jalan-jalan Allah. Apakah mereka butuh beberapa buku, beberapa teman untuk membantu mereka mematangkan pikiran mereka? Allah yang telah memberikan mereka kebijaksanaan akan menuntun mereka memperoleh bantuan seperti ini.
Bisa jadi Yohanes adalah orang seperti itu, yang sangat dekat dengan Yesus dan menjadi rasul selama enam puluh tahun. Ia tidak mengikuti sekolah para rabi seperti St. Paulus. Oleh karena itu, ia tidak menggunakan argumen-argumen yang rumit, Bagaimanapun juga, tidakkah ia patut disebut seorang teolog karena dia sungguh mengenal Allah?
diolah kembali dari tulisan 5 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar