Rabu, 04 Desember 2019

PAUS FRANSISKUS: KONSUMERISME ADALAH VIRUS YANG MENYERANG IMAN

Kata kerja “datang” tiga kali berulang dalam Bacaan Pertama dan Injil di hari Minggu Pertama Masa Adven. Adven artinya datang. Tuhan akan datang. Inilah akar harapan kita; kepastian bahwa penghiburan Tuhan datang kepada kita di tengah-tengah kesulitan dunia. Bukan penghiburan kata-kata, tetapi kehadiran-Nya di antara kita,
Paus Fransiskus berbicara dalam homili Misa Ulang Tahun ke-25 Pelayanan Kapelan Katolik Kongo di Roma. Untuk memperingatinya, Paus Fransiskus merayakan Misa Kudus menurut ritus Kongo di Altar Kursi di Basilika Santo Petrus, pada hari Minggu pagi, 1 Desember 2019. Anggota Komunitas Kongo dari Roma dan sekitarnya menghidupkan perayaan itu dengan nyanyian mereka. Dalam misa itu Paus Fransiskus berdoa untuk perdamaian di Republik Demokratik Kongo serta mengecam mereka yang memperkaya diri melalui perdagangan senjata.
Hari ini, kata Paus Fransiskus, “kata kerja datang bukan hanya untuk Allah, tetapi juga untuk kita. Pada bacaan pertama dari Yesaya, Paus Fransiskus menunjukkan bagaimana nabi itu memberikan visi yang indah tentang bangsa-bangsa yang datang bersama-sama ke gunung tempat rumah Allah. Yesaya mengirim kepada kita undangan dari Allah untuk datang ke rumah-Nya. “Datanglah,” pinta Allah, “karena di rumahku ada ruang untuk semua orang. Datanglah, karena di hatiku tidak hanya ada satu orang, tetapi semua orang.”
Ketika berbicara langsung dengan Komunitas Kongo, Paus Fransiskus mengakui mereka datang dari jauh; banyak yang meninggalkan rumah dan orang-orang yang mereka cintai. Paus Fransiskus mengakui kesulitan-kesulitan yang harus mereka hadapi. “Namun, bersama Allah kalian selalu diterima,” ujar Paus Fransiskus. “Bagi Dia kita tidak pernah menjadi orang asing.”

Tuhan datang dan mengundang kita untuk pergi kepada-Nya, lanjut Paus Fransiskus, tetapi ada orang mengatakan “tidak” terhadap undangan-Nya. Itulah “tidak” yang Yesus pakai memperingatkan kita dalam Injil, dan mendesak kita untuk tidak melakukan seperti pada “zaman Nuh.” Yang bisa dipikirkan semua orang saat itu adalah makan dan minum. Dengan kata lain, papar Paus Fransiskus, “mereka memperkecil hidup mereka pada kebutuhan, mereka puas dengan kehidupan yang datar dan horisontal, tanpa momentum.” Mereka puas mengkonsumsi.
Paus Fransiskus menggambarkan konsumerisme sebagai “virus yang menyerang akar iman,” karena membuat kita percaya bahwa hidup hanya bergantung pada yang kita miliki, oleh karena itu kita melupakan Tuhan. “Meskipun Tuhan datang, kalian hanya mengikuti selera kalian,” jelas Paus Fransiskus. Bahaya yang sebenarnya adalah yang membius hati, lanjut Paus Fransiskus, membiarkan diri dibebani dan dihamburkan oleh kebutuhan kita.
Segalanya tidak pernah cukup, jelas Paus Fransiskus. “Rumah penuh barang-barang tetapi tidak ada anak,” kisah Paus Fransiskus. “Itulah musim dingin demografis yang sedang kita derita,” tambahnya. Kita tidak punya waktu untuk Tuhan atau orang lain. Keserakahan kita tumbuh dan orang lain menjadi penghalang, jadi kita akhirnya merasa terancam, selalu tidak puas dan marah, meningkatkan tingkat kebencian.
“Kita melihatnya hari ini saat konsumerisme merajalela,” papar Paus Fransiskus. “Dunia ini penuh senjata yang menyebabkan kematian, namun kita tidak menyadari bahwa kita juga terus mempersenjatai hati kita dengan amarah.” Yesus ingin membangunkan kita, lanjut Paus Fransiskus, dengan kata kerja “berjaga-jaga.” Untuk berjaga-jaga kita harus punya harapan bahwa malam tidak akan bertahan selamanya, bahwa fajar akan segera datang. “Kita harus mengatasi godaan bahwa arti kehidupan adalah akumulasi,” jelas Paus Fransiskus. Kita harus “menahan cahaya konsumsi yang menyilaukan, yang akan bersinar di mana-mana bulan ini.” Doa dan kasih amal, ungkap Paus Fransiskus, benar-benar “harta terbesar.”
Ketika kita membuka hati kita kepada Tuhan dan kepada saudara-saidari kita, kata Paus Fransiskus, kita memperoleh karunia paling berharga yang tidak pernah dapat diberikan oleh hal-hal materi kepada kita. Karunia yang diumumkan Yesaya dalam Bacaan Pertama adalah perdamaian. Ini membuat kita berpikir tentang tanah air kalian, ujar Paus Fransiskus.
“Hari ini kita berdoa untuk perdamaian yang sangat terancam di bagian timur negara itu,” terutama di wilayah-wilayah konflik yang dipicu dari luar, “dan dengan diamnya banyak orang,” papar Paus Fransiskus. “Konflik yang dipicu oleh mereka yang memperkaya diri sendiri dengan menjual senjata.”
Paus Fransiskus mengakhiri homili dengan mengenang Beata Marie-Clementine Anuarite Nengapeta yang, seperti Yesus, memaafkan algojonya. Melalui perantaraannya, kata Paus Fransiskus, kita berdoa agar para pejuang menyerahkan senjata mereka, demi masa depan yang tidak lagi saling menantang. Kita berdoa untuk pertobatan dari ekonomi yang memanfaatkan perang menjadi ekonomi yang melayani perdamaian.
sumber: Pena Katolik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar