Jumat, 20 Desember 2019

ANTARA FAKTA, PERSEPSI DAN KEBENARAN


Contoh Kasus
Pastor Eko adalah mantan pastor pembantu Paroki A. Pastor Eko pernah berkata bahwa di Paroki A telah terjadi kasus korupsi. Yang mencuri uang Gereja atau yang melakukan korupsi adalah Pastor Parokinya sendiri; dan kemungkinan juga bendahara paroki.
Untuk membenarkan pernyataannya, Pastor Eko memberikan beberapa fakta. Pertama, tidak ada transparansi keuangan di paroki A. Soal keuangan hanya Pastor Paroki dan bendahara paroki saja yang tahu. Bahkan Pastor Eko dihalang-halangi untuk mengetahui keuangan. Kedua, setidaknya dua kali Pastor Eko menemukan ketidakcocokan data kolekte yang dicatat oleh petugas penghitung uang dengan yang diumumkan di gereja. Pastor Eko pernah menceritakan hal ini kepada salah seorang umat, dan umat itu menegaskan bahwa kasus ini pernah juga terjadi sebelum Pastor Eko bertugas di Paroki A. Ketiga, Pastor Paroki selalu menghindar jika diminta pertanggungjawaban keuangan. Keempat, HP Pastor Paroki selalu gonta-ganti; dan harganya mahal-mahal.
Pernyataan Pastor Eko dengan segala dasar pembenarannya sampai ke telinga umat dan beberapa rekan imam lainnya. Mereka semua pada percaya. Mereka percaya bahwa telah terjadi korupsi di Paroki A; atau setidak-tidaknya Pastor Paroki A telah melakukan tindak korupsi. Sikap percaya yang tumbuh dalam diri umat dan beberapa rekan imam membuat pernyataan “Pastor Paroki A melakukan korupsi” telah menjadi sebuah kebenaran.
Akan tetapi, menjadi persoalan, apakah benar Pastor Paroki A melakukan korupsi? Atau dengan kata lain, apakah pernyataan “Pastor Paroki A melakukan korupsi” benar merupakan suatu kebenaran?
Fakta, Persepsi dan Kebenaran
Dari contoh kasus di atas, setidaknya ada tiga hal berbeda yang terpisah namun disatukan. Ketiga hal itu adalah fakta, persepsi dan kebenaran. Dalam kasus ini, ada empat fakta, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Dari fakta ini lahirlah persepsi: “Pastor Paroki A melakukan korupsi” atau “Di Paroki A telah terjadi kasus korupsi yang dilakukan Pastor Paroki, juga bendahara paroki.” Dan dari persepsi muncullah kebenaran: “Pastor Paroki A (mungkin juga bendahara paroki) melakukan korupsi”.
Di sini terlihat bahwa orang menggabungkan begitu saja ketiga hal itu, antara fakta, persepsi dengan kebenaran. Orang merasa bahwa persepsi itu sama dengan fakta. Lantas orang berpikir bahwa persepsi adalah kebenaran, karena mereka menilai bahwa  kebenaran itu sama dengan persepsi. Jelas, ini merupakan kekeliruan berpikir.
Persepsi itu bukanlah fakta, meski ia lahir darinya. Demikian pula persepsi itu bukanlah kebenaran. Fakta, persepsi dan kebenaran berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, ada baiknya terlebih dahulu orang memahami arti dan makna dari ketiga istilah itu.
Fakta, menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, adalah segala sesuatu yang tertangkap oleh indra manusia atau data keadaan nyata yang terbukti dan telah menjadi suatu kenyataan. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa fakta merupakan sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi. Seperti dalam kasus di atas, empat contoh yang dikemukakan Pastor Eko adalah memang fakta, karena semuanya benar-benar ada dan terjadi. Semua itu dialami sendiri oleh Pastor Eko.
Masih dari Wikipedia Bahasa Indonesia, kita dapat mengatakan bahwa persepsi itu merupakan tindakan menyusun, mengenali dan menafsirkan informasi indrawi guna memberi gambaran dan pemahaman. Secara ringkas bisa dikatakan bahwa persepsi adalah proses seseorang mengetahui sesuatu hal melalui pancaindranya. Pernyataan Pastor Eko bahwa Pastor Paroki A (dan juga kemungkinan bendahara paroki) korupsi adalah sebuah “pengetahuan”, yang didapat dari fakta-fakta yang ada. Semua fakta yang dia lihat, dia dengar dan dia rasakan (informasi inderawi) itu disusun, dikenali dan kemudian ditafsirkan. Dari sini lahirlah gambaran dan pemahaman, yang biasa juga disebut pendapat atau opini. Dan itulah persepsi.
Apa itu kebenaran? Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan obyek. Martin Heidegger, seorang filsuf eksistensialisme, mengatakan bahwa kebenaran berarti tidak tersembunyi. Martin berangkat dari arti kata kebenaran dalam bahasa Yunani, yaitu Aletheia (a= tidak; theia= tersembunyi). Jadi, sesuatu itu benar jika tampil apa adanya, tanpa rekayasa dan pemalsuan serta embel-embel, yang justru menutup atau menyembunyikan keaslian. Secara ringkas bisa dikatakan, antara obyek dan pengetahuan terjadi kecocokan.
Dengan kata lain, kebenaran itu merupakan pembuktian pengetahuan, sehingga melahirkan kesesuaian dengan obyek. Dalam kasus di atas, yang dimaksud dengan pengetahuan itu adalah persepsi, yaitu “Pastor Paroki A (dan juga kemungkinan bendahara paroki) korupsi”; sedangkan obyek adalah faktanya. Kita bisa bertanya apakah ada kesesuaian antara fakta dengan persepsi? Atau, apakah persepsi itu sudah dibuktikan? Artinya, orang harus terlebih dahulu membuktikan bahwa Pastor A dan bendahara Paroki telah melakukan tindak korupsi. Hasil pembuktian inilah yang akan menjadi kebenaran, bukan hanya didasarkan dari fakta saja.
Misalnya, jika dari pembuktian itu ternyata Pastor Paroki A dan juga bandaharanya terbukti tidak melakukan korupsi, maka terjadi ketidak-sesuaian dengan fakta-fakta yang sudah diutarakan. Artinya, pernyataan “Pastor Paroki A (dan juga kemungkinan bendahara paroki) korupsi” bukanlah sebuah kebenaran. Atau jika dari pembuktian ternyata Pastor Paroki A dan juga bandaharanya terbukti melakukan korupsi, maka ada kesesuaian dengan fakta-fakta yang sudah diutarakan. Maka bisa dikatakan bahwa pernyataan “Pastor Paroki A (dan juga kemungkinan bendahara paroki) korupsi” adalah sebuah kebenaran.
Akan tetapi, dalam kasus di atas orang sudah terlebih dahulu termakan pada persepsi dan menganggap persepsi itu adalah kebenaran. Orang menilai bahwa persepsi itu adalah kebenaran karena diperkuat dari fakta-fakta. Padahal belum tentu ada korelasi antara fakta dan persepsi; dan tidak semua persepsi itu adalah kebenaran. Persepsi bisa menjadi kebenaran jika persepsi itu diuji kebenarannya. Batu uji persepsi bukan pada fakta yang ada, melainkan pada persepsi itu sendiri.
Akhir Kata
Persepsi, fakta dan kebenaran merupakan tiga istilah yang berbeda namun saling berkaitan. Persepsi bisa lahir dari fakta-fakta yang ada, baik dari apa yang dilihat, diamati ataupun yang didengar. Jadi, persepsi itu merupakan hasil kegiatan inderawi kita atau suatu proses yang didahului oleh penginderaan sementara kebenaran dapat datang dari persepsi. Sebuah persepsi bisa menjadi sebuah kebenaran apabila persepsi itu melalui proses pembuktian.
Dalam kehidupan seringkali orang mencampuradukan ketiga hal ini. Orang dengan sangat mudah menyamakan kebenaran dengan fakta atau persepsi tanpa melalui suatu pembuktian. Melihat fakta-fakta yang ada orang langsung berpikir bahwa itulah sebuah kebenaran, padahal belumlah tentu demikian. Persepsi yang berangkat dari fakta lantas dikira sebagai kebenaran.
Padahal tidak semua persepsi itu merupakan sebuah kebenaran. Bahkan fakta sekalipun belum bisa secara otomatis menjadi sebuah kebenaran. Untuk menjadi sebuah kebenaran, persepsi atau fakta musti diuji terlebih dahulu. Kebenaran harus lahir dari proses pembuktian; dan dasar pembuktiannya bukan hanya pada fakta yang ada atau persepsi, melainkan pada kebenaran itu sendiri.
oleh: adrian, diolah dari tulisan 5 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar