Jumat, 22 November 2019

WISATA HALAL DAN WISATA HARAM


Dewasa ini sudah lazim kita mendengar istilah “wisata halal”. Dapat dipastikan bahwa istilah tersebut lebih ditujukan kepada umat islam, untuk menjawab kepentingan umat islam. Dengan “wisata halal” dimaksudkan bahwa tempat wisata tersebut layak dan ramah bagi umat islam.
Istilah halal biasanya langsung dikonfrontasikan dengan istilah haram. Karena itu, dengan menetapkan satu daerah atau satu negara sebagai wisata halal, secara implisit hendak dikatakan bahwa daerah atau negara lain merupakan wisata haram. Tempat-tempat tersebut tidak layak dan tidak ramah bagi umat islam. Dengan kata lain, tempat yang tidak dilabeli “wisata halal” dinilai tidak toleran dengan kaum muslim. Benarkah demikian?
Dari sini dapatlah dikatakan bahwa islam tidak hanya sekedar membedakan orang: kafir dan islam, tetapi juga membedakan tempat: halal dan haram. Umat islam tidak cuma mengkafir-kafirkan orang yang berbeda dengannya, tetapi juga mengharamkan daerah atau negara yang tidak layak dan tidak ramah baginya. Secara tidak langsung menuduh warga tempat yang tidak diberi label “wisata halal” memusuhi umat islam.
***

Belum lama ini publik sempat dihebohkan dengan pelabelan “wisata halal” bagi dua tempat destinasi pariwisata, yaitu Bali dan Danau Toba. Pada umumnya orang sudah tahu bahwa dua tempat itu bukanlah daerah berpenduduk muslim terbesar. Mayoritas penduduk Bali adalah Hindu, sedangkan Toba – Samosir beragama Kristen (protestan dan katolik). Karena itu, sempat muncul protes dari dua daerah wisata tersebut terhadap pelabelan “wisata halal”.
Dengan melabel satu tempat sebagai tujuan destinasi “wisata halal”, secara tidak langsung orang sudah melabeli tempat wisata lain, yang sudah ada, sebagai “wisata haram”. Maklum, label “halal” selalu dikonfrontasikan dengan label “haram”. Apa yang dimaksud dengan label “wisata halal”?
Dapat dikatakan bahwa dengan label “wisata halal”, daerah tujuan wisata itu layak dan ramah bagi umat islam. Di sana tersedia rumah makan yang menyediakan makanan yang dapat dikonsumsi umat islam, tersedia rumah ibadah sehingga umat islam dapat menjalani kewajiban sholatnya, dan hal-hal lainnya yang menjawab kebutuhan umat islam. Daerah wisata dengan label “wisata halal”, sekalipun daerah itu bukan daerah islam, menunjukkan adanya toleransi umat non muslim kepada umat islam; umat non muslim bersedia menghormati umat islam. Jadi, dengan melabel suatu daerah sebagai “wisata halal” ada semacam tuntutan agar daerah tersebut memperhatikan dan memenuhi kebutuhan umat islam.
Mari kita melihat sebaliknya. Aceh, Padang dan beberapa tempat yang mayoritas penduduknya beragama islam mempunyai tempat-tempat wisata yang menarik. Dapat dipastikan bahwa yang menjadi wisatawan itu tidak hanya umat islam. Menjadi pertanyaan: apakah di tempat-tempat itu disediakan kebutuhan bagi wisatawan yang non muslim? Apakah di sana ada rumah makan yang menyediakan masakan daging babi atau anjing? Apakah di sana ada rumah ibadah bagi wisatawan yang beragama Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya? Apakah di sana ada dijual minuman beralkohol?
Apabila di daerah tujuan wisata, yang penduduknya mayoritas beragama islam, tidak menyediakan kebutuhan wisatawan non muslim, dan malah “memaksa” mereka untuk mengikuti ketentuan yang berlaku di daerah itu, maka bisa dikatakan daerah islam tidak toleran dan tidak menghargai orang lain. Dari sini orang dapat menilai agama mana yang toleran dan mana yang tidak.
Lingga, 19 Nov 2019
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar