Senin, 04 November 2019

ANCAMAN GADGET SUDAH NYATA, SELAMATKAN ANAK ANDA


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada 18 Juni 2018, telah menetapkan secara resmi kecanduan bermain game sebagai penyakit gangguan mental, tak jauh beda dengan kecanduan alkohol dan narkoba. Tentulah ketetapan WHO ini bukan tanpa dasar. Sudah sejak tahun 2013 ada banyak suara yang menyatakan bahaya di balik gadget, sebagai media game, secara khusus untuk anak-anak. Blog budak-bangka sendiri, pada tahun 2015, menurunkan tulisan dengan judul GADGET MENGANCAM ANAK KITA.
Sepertinya warning yang telah diberikan dianggap bagai angin lalu. Masih banyak orangtua menganggap sepele masalah ini, sehingga ia tetap saja memberi keleluasaan pada anaknya untuk bermain gadget. Mungkin saat itu orangtua belum melihat seperti apa dampak buruk kecanduan gadget.
Sekarang ini ancaman gadget itu sudah nyata. Tempo Online, pada bulan Oktober menurunkan 2 tulisan fakta orang yang kecanduan gadget. Pada tulisan pertama diberitakan 2 remaja berusia 16 dan 17 tahun mengalami gangguan jiwa karena kecanduan ponsel. Saat berita itu ditulis, kedua remaja itu telah berada setahun di panti rehabilitasi mental di Tambun Selatan, Bekasi. Menurut keterangan orangtua, kedua remaja itu diduga kecanduan bermain game online. Keduanya dilaporkan bermain gadget hingga larut malam, bahkan sampai dini hari.
Tulisan kedua menampilkan kejadian yang terjadi di Cina. Seorang remaja perempuan berusia 16 tahun, mengalami buta warna. Ada dugaan buta warna yang dialami itu diakibatkan konsumsi gadget yang berlebihan. Dilaporkan bahwa remaja ini menghabiskan waktu lebih dari 10 jam per hari berinteraksi dengan gadgetnya. Dokter yang memeriksa remaja itu mengatakan bahwa matanya terus-menerus terpapar sinar biru hingga merusak sejumlah sel dalam kedua bola matanya. Kondisi ini membuatnya buta warna dengan tidak bisa membedakan merah dan hijau.
Dapat dikatakan bahwa penyakit yang didapat bukan lantaran menggunakan gadget dalam hitungan bulan. Apa yang dialami oleh seorang remaja pelajar SMP dapat dikatakan bahwa dia telah menggunakan gadget sejak usia SD, bahkan jauh sebelumnya. Artinya, efek kecanduan lahir dari aktivitas yang telah lama dilakukan dan dilakukan secara berlebihan.
Kepala Pusat Layanan Psikologi Pradnyagama Retno IC Kusuma mengatakan remaja rentan mengalami gangguan kejiwaan akibat kecanduan bermain game digital. “Gangguan jiwa atau gangguan perkembangan dan gangguan emosi semakin tinggi terjadi pada anak-anak dan remaja akibat game online,” katanya sambil menambah, “(Kecanduan) bisa berdampak pada malas belajar, prestasi menurun. Ketika tidak dituruti permintaannya, mereka mengamuk dan menunjukkan perilaku-perilaku eksesif lainnya.”
MetroTV, pada 28 Agustus 2019, menurunkan neswline tentang bentuk kejahatan yang lahir dari kecanduan game online. Ada 4 anak di bawah umur di Pangkalpinang mencuri di sebuah rumah. Diketahui bahwa hasil curian itu untuk bisa bermain game online di warnet. Di Pekanbaru, 2 remaja menjambret agar dapat uang untuk biaya bermain game online. Sementara di Tanggerang 3 remaja nekat merampok mini market dengan menggunakan golok dan penyekapan. Tujuannya agar dapat uang untuk bisa bermain game online. Seorang remaja di Medan nekat mencuri HP dan laptop milik tetangganya. Hasil curian itu dijual dan uangnya digunakan untuk bermain game online. Seorang pelajar kelas 1 SMP di Malang terpaksa mencuri kotak amal di 20 masjid. Hasil curian itu dipakai untuk bermain game online.
Apa yang diungkap Metro TV ini bisa jadi merupakan fenomena pucak gunung es. Yang terlihat hanya beberapa kasus saja, itu pun karena berhasil tertangkap. Bukan tidak mustahil masih ada begitu banyak kasus serupa, berupa tindak kejahatan yang dilakukan anak-anak dan remaja yang sudah kecanduan game online. Satu kejahatan, yang tidak terungkap namun bisa saja sudah terjadi adalah sexting atau prostitusi. Intinya, anak butuh uang untuk biaya dari kecanduannya bermain game online.
Pada 19 Oktober 2019, Kompas TV menayangkan 2 berita dengan topik yang sama, yaitu soal kecanduan gadget. Pada berita pertama dilaporkan data dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat tentang pasien gangguan jiwa akibat kecanduan gadget. Antara tahun 2016 hingga tahun 2019 ada tercatat 209 pasien, baik rawat inap maupun rawat jalan. Rata-rata pasien yang datang berusia remaja.
Berita kedua mengisahkan tentang seorang bocah usia 7 tahun yang mengalami kerusakan motorik halus dan keterlambatan kemampuan bicara akibat kecanduan gadget. Sejak kecil, mungkin pada usia 3 – 4 tahun, anak diberi bermain dengan gadget. Hal ini membuat anak tidak atau jarang sekali bersosialisasi dengan teman-temannya atau orang lain sehingga perbendaharaan kata-katanya kurang dan motorik halusnya lemah.
DEMIKIANLAH fakta efek buruk dari kecanduan gadget. Efek tersebut sudah nyata di depan mata. Remaja yang terganggu jiwanya bisa saja memulai bersentuhan dengan gadget ketika berusia anak-anak, sedangkan anak-anak yang terganggu jiwanya bisa saja sudah mulai bersentuhan dengan gadget sejak usia balita. Semua ini tak lepas dari tanggung jawab orangtua. Anak balita bisa memegang gadget karena orangtuanya memberikannya. Orangtua juga tidak tegas dalam membatasi anaknya bersentuhan dengan gadget. Yang terjadi adalah pembiaran. Baru setelah anaknya mengalami gangguan jiwa, orangtua buru-buru menyesal.
Karena itu, sebelum terjadi hendaklah dicegah. Sedia payung sebelum hujan. Para orangtua harus berani bersikap tegas terhadap anaknya agar anak tidak menghabiskan waktunya bersama gadget. Anak harus dibiarkan bermain dan bersosialisasi dengan orang lain. Pembatasan penggunaan gadget mutlak dibutuhkan agar anak tidak kecanduan.
Dabo, 1 November 2019
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar