Rabu, 21 Agustus 2019

SIAPA YANG DIHINA DALAM KASUS USTADZ ABDUL SOMAD?


Publik Indonesia kembali geger setelah muncul video viral Ustadz Abdul Somad (UAS) yang dinilai telah menghina agama Kristen. Ketika beberapa eleman masyarakat dari kelompok agama tertentu mempersoalkan UAS dengan video tersebut, Sang Ustadz membuat pembelaan. Dikatakan bahwa video tersebut merupakan ceramah keagamaan yang disampaikan kepada kalangan terbatas, bukan bersifat publik dan bahwa ceramah itu sudah dilakukan 3 tahun lalu. Sang Ustadz sendiri mengaku dirinya tak salah (jadi, yang disampaikannya itu adalah benar), sehingga tak perlu merasa minta maaf. Justru yang salah adalah yang menyebarkan video itu.
Orang yang masih punya (otak) akal budi tentu akan tertawa menilai pembelaan seperti itu. Persoalan video itu bukan terletak pada kepada siapa ceramah itu disampaikan atau kapan dan dimana disampaikan, tetapi isi ceramah itu yang dinilai telah melecehkan agama Kristen. Jadi, pembelaan yang dilakukan tidak menyentuh isi ceramahnya. Yang waras mungkin akan bertanya, apakah jika disampaikan untuk jemaah terbatas orang bebas menghina, menghojat dan menista pihak lain?
Terlepas dari masalah itu, kasus ini dapat ditinjau dari beberapa aspek. Pertama, bagaimana menyikapi persoalan penghinaan agama dalam ceramah keagamaan; kedua, siapa korban dari video viral UAS; dan ketiga, sikap umat Kristen (katolik dan protestan) dalam hal ini. Mari kita lihat satu per satu.
Pertama, masalah ujaran kebencian dan penghinaan memang sudah diatur dalam undang-undang. Bahkan pihak kepolisian menambah dengan surat edaran no.SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Dalam surat edaran itu, disebutkan tujuan dari peraturan ini. Salah satunya adalah demi terpeliharanya kerukunan hidup berbangsa dan bernegara yang berbhineka tunggal ika serta melindungi keragaman kelompok dalam bangsa. Namun ada satu topik ujaran kebencian yang penanganannya akan menemukan kesulitan, yaitu ceramah keagamaan.

Pada poin 2 (g) surat edaran Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian dikatakan bahwa ujaran kebencian itu bertujuan menghasut dan menyulut kebencian terhadap orang dan/atau kelompok masyarakat berdasarkan beberapa aspek, salah satunya adalah agama. Dan poin 2 (h) dijelaskan cara penyampaian ujaran kebencian itu, yang di antaranya adalah ceramah keagamaan. Jadi, ujaran kebencian itu bisa terjadi lewat ceramah keagamaan yang menyulut rasa benci kepada sekelompok agama tertentu.
Persoalan adalah apakah ceramah keagamaan yang menyampaikan ajaran agama bisa dimasukkan dalam kasus ujaran kebencian atau penistaan? Ada banyak ajaran islam, yang ada dalam Al-Quran bersinggungan dengan agama lain, yang jika dilihat dari sudut pandang tertentu akan dinilai melakukan penistaan. Misalnya, ketika membahas surah An-Nisa: 157, mau tidak mau si penceramah (ustadz atau da’i) akan mengatakan bahwa Yesus itu tidak pernah disalibkan di kayu salib. Yang mati di kayu salib itu adalah orang yang menyerupai Yesus. Atau ketika membahas surah Al-Maidah: 41, mau tak mau penceramah akan mengatakan bahwa Alkitab sudah dipalsukan. Bukan tidak mungkin penceramah juga akan mengutip surah Al-Baqarah: 75 untuk semakin menguatkan argumennya.
Demikianlah halnya dengan kasus UAS. Tentulah hal ini menjadi kesulitan tersendiri. Rasanya tak mungkin menjerat si penceramah atau UAS yang tengah menyampaikan ajaran agamanya. Menjerat mereka dengan jerat ujaran kebencian sama saja berarti penjerat ajaran agamanya. Apakah ini bukan merupakan penistaan terhadap agama islam? Bukan tidak mustahil, umat islam akan melakukan demonstrasi dan melihat hal tersebut sebagai kriminalisasi ustadz.
Aspek kedua sebenarnya adalah siapa yang dihina oleh UAS dalam video viralnya tersebut: apakah orang Kristen atau dirinya atau umat islam? Sekilas orang akan mengatakan bahwa ceramah keagamaan yang disampaikan UAS dalam video tersebut jelas-jelas menghina agama Kristen, karena yang dibahas adalah salib. Sangat menarik menyimak kata-kata seorang pendeta yang menanggapi kasus ini. Dia mengatakan UAS mengatakan hal tersebut karena dia tidak tahu apa-apa soal salib Kristus (atau memang demikian ajaran islam?). Soal penghinaan, agama Kristen sudah terbisa. Karena itu, Persekutuan Gereja tak setuju ucapan UAS dibawa ke ranah pidana.
Jadi, orang Kristen sebenarnya tidak ambil pusing dengan persoalan yang ditimbulkan dari pernyataan UAD itu. Orang Kristen, baik katilik maupun protestan, sudah terbiasa dihina, bahkan Tuhannya pun dihina, tapi malah mengampuni. Berbeda dengan islam, yang wajib membela jika agamanya dihina. Jika orang Kristen merasa tidak tersinggung, lantas siapa yang telah dihina lewat pengajaran UAS itu? Ada adagium: hanya yang hina dapat menghina. Dari adagium ini dapatlah ditarik kesimpulan siapa korban dari pernyataan UAS dalam video viral tersebut. Tentulah pembaca dapat mengetahuinya. Satu hal yang dapat dipastikan adalah tidak ada sikap menghargai dan menghormati.
Bagaimana sikap orang Kristen (protestan dan katolik) terhadap pernyataan UAD tersebut? Kami pernah membuat tulisan terkait penghinaan agama, dengan judul tulisan Bagaimana Umat Kristen Menyikapi Penistaan Agama dan Sikap Orang Katolik terhadap Non Katolik (untuk membacanya, silahkan klik pada judulnya). Pada prinsipnya, umat kristiani tidak akan ambil pusing berhadapan dengan penghinaan yang dialamatkan kepada atribut agamanya (tidak seperti umat islam). Dasarnya adalah pada ajaran agamanya. Baik umat protestan maupun katolik, sama-sama diajarkan untuk mengampuni, mengasihi, mendoakan dan memberkati. Semua itu sesuai dengan apa yang diajarkan dan diteladankan oleh Yesus Kristus, yang justru sering dihina, bahkan termasuk dalam ceramah UAS.
Karena itu wajar bila Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) menghimbau dan meminta umat kristiani tidak terpancing dan tersulut emosi terkait dengan ceramah keagamaan UAS. Mereka juga tak setuju jika persoalan ini dibawa ke ranah pidana.
Lantas, kenapa ada kelompok agama yang tetap membawanya ke ranah hukum? Pertama-tama, kita harus menghargai tindakan mereka, yang mungkin saja menghormati jalur hukum. Dasarnya adalah, negara ini adalah negara hukum. Siapa saja yang berbuat salah harus berhadapan dengan hukum. Tidak ada yang kebal terhadap hukum. Jadi, tindakan mereka ini mungkin hendak menguji sejauh mana hukum itu menjadi panglima di negara ini.
Akan tetapi, tindakan mereka itu sama sekali tidak mewakili umat kristiani dan bukan juga sesuai dengan ajaran agamanya (beda dengan umat islam). Tindakan mereka yang hendak melaporkan UAS ke kepolisian semata-mata hanya didasarkan pada hukum. Jadi, jika memang masalah ini sudah sampai ke ranah hukum, maka “bola liar” ada di tangan aparat penegang hukum. Di sini aparat hukum akan menghadapi situasi dilema (seperti yang sudah kita bahas di atas). Mempersoalkan ceramah keagamaan UAS sama saja dengan menghina agama islam dan ustadz. Dan hal ini tentu akan menimbulkan persoalan sosial lainnya, yaitu gelombang Aksi Bela Islam, seperti yang terjadi dengan kasus Ahok. Akan tetapi, jika tidak mempersoalkan (artinya, hukum tidak ditegakkan dengan tegas), maka selalu akan muncul persoalan serupa dikemudian yang tak akan dapat ditangani.
Jadi, apa yang harus dilakukan? Ini merupakan tugas kita semua. Bukan hanya aparat hukum dan aparat pemerintahan saja, melainkan juga semua warga masyarakat. Semua kita harus kembali menyadari bahwa negara ini tidak dibangun oleh dan untuk satu kelompok agama saja, melainkan untuk semua orang yang mencintai Indonesia. Dengan adanya kesadaran itu, maka akan terbangunlah sikap saling menghormati dan menghargai.
Batam, 21 Agustus 2019
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar