Jumat, 23 Agustus 2019

MENGKRITISI FATWA MUI TENTANG NIKAH BEDA AGAMA


Dalam Musyawarah Nasional VII, yang diadakan pada 26 – 29 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang perkawinan beda agama. Keputusan, yang dituangkan dalam fatwa no. 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 (teks lengkapnya dapat dibaca di sini) itu, ditetapkan di Jakarta pada 28 Juli 2005. Dalam keputusan itu ditetapkan 2 keputusan, yaitu:
1.    Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2.    Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
Ada 3 poin penting yang diambil MUI sebelum sampai pada keputusan fatwa.Yang pertama adalah pertimbangan (menimbang). Sekalipun pada poin ini ada 4 faktor yang ditampilkan, namun keempat faktor tersebut sebenarnya dapat disederhanakan menjadi 2 saja, yaitu fakta adanya perkawinan beda agama, yang muncul karena situasi plural dan juga hak asasi manusia namun kemunculannya membuat perdebatan dan keresahan; serta dibutuhkan pedoman untuk menyikapi hal ini.
Ada 2 hal yang perlu dikritisi di sini, yaitu soal efek keresahan (poin b dalam teks fatwa) dan soal dalih HAM (poin c dalam teks fatwa). MUI mengatakan bahwa perkawinan beda agama “sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat.” Dapatkah MUI memberi bukti sejauh mana keresahan yang timbul? Adakah data-datanya? Bagaimana prosentasenya? Masyarakat mana saja dan dimana saja yang resah? Hal ini harus dibuktikan agar pernyataan MUI tersebut bukan lahir dari asumsi atau praduga saja. Sangatlah ironis jika keputusan, yang ditandatangani oleh 2 profesor, lahir bukan dari data fakta, melainkan asumsi. Selain itu, perlu dikritisi juga, siapa atau apa yang sebenarnya membuat resah masyarakat. Apakah perkawinan beda agama-nya atau malah ajaran agama-lah yang justru membuat masyarakat resah.
Pada poin c dari teks fatwa, dikatakan “telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia.” Kutipan ini (dalam konteks keseluruhan) mengisyaratkan bahwa MUI menolak pendapat yang mengatakan adalah hak seseorang untuk menikah. Dengan kata lain, MUI tidak mengakui bahwa menikah adalah hak asasi manusia. Sadisnya, hal ini berdasarkan pada hukum/perintah Allah. Padahal, terkait dengan perkawinan adalah hak setiap manusia untuk memilih menikah dengan siapa. Namun islam menegaskan lain. Sekedar perbandingan, Allah melarang umat islam untuk berteman dengan orang kafir; nah, berteman saja sudah dilarang, apalagi menikah. Inilah ajaran islam.
Poin penting yang kedua adalah pengingatan (mengingat). Di sini MUI menampilkan 3 pendasaran, yaitu dari Al-Qur’an, Hadis dan Qa’idah Fiqh. Dari Al-Qu’ran, ada 7 teks yang dijadikan dasar untuk fatwa (melarang) perkawinan beda agama. Ketujuh teks Al-Qu’ran itu adalah QS al-Nisa: 3; QS. Al-Rum: 21; QS. Al-Tahrim: 6; QS. Al-Maidah: 5; QS. Al-Baqarah: 221; QS. Al-Muntahana: 10; QS. al-Nisa: 25. Dari 7 teks Al-Qu’ran ini beberapa di antara sama sekali tidak ada kaitannya dengan perkawinan beda agama (kenapa MUI menggunakannya sebagai dasar fatwanya?). Misalnya QS al-Nisa: 3, yang lebih pada soal poligami; dan surah Al-Tahrim: 6 lebih merupakan nasehat untuk menjaga diri dan keluarga, sama sekali tidak ada larangan untuk menikah dengan orang yang berbeda agama (mungkin “peliharalah dirimu” ditafsirkan ke sana).
Berikut ini adalah catatan kritis tentang 5 surah lainnya. QS. al-Rum: 21 dijadikan dasar untuk mengharamkan perkawinan beda agama karena di sana dikatakan bahwa Allah telah “menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri.” Kata “jenis” pada frase “jenismu sendiri” mungkin ditafsirkan dengan agama. Selanjutnya dapatlah dikatakan bahwa perkawinan sesama agama akan menumbuhkan rasa kasih dan sayang. Dari surah ini dapat dikatakan bahwa menikah dengan sesama muslim itu sudah dikehendaki Allah; atau dengan kata lain, Allah sudah menyiapkan jodoh yang seagama. Karena itu, perkawinan beda agama tidak dikehendaki Allah. Persoalannya, ada banyak orang yang tidak menemukan jodoh dari seagama. Dan ada fakta yang menunjukkan ada pasangan nikah beda agama hidup keluarganya harmonis, penuh kasih dan sayang. Apakah kasih sayang dan keharmonisan itu bukan berasal dari Allah?
Dalam surah al-Maidah: 5, tampak jelas bahwa pria islam boleh menikah dengan wanita Ahlu Kitab, yang menjaga kehormatan. Tapi kenapa MUI dalam keputusannya menetapkan bahwa perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab adalah haram dan tidak sah? Untuk bisa memahami hal ini terlebih dahulu perlu diketahui siapa yang dimaksud dengan Ahlu Kitab atau “orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” Banyak ahli menafsirkannya sebagai orang Kristen dan Yahudi. Lantas kenapa mereka juga haramkan? Hal ini terkait dengan pernyataan bahwa orang yang percaya bahwa Yesus itu Allah dan percaya akan trinitas (ini menjadi dasar iman orang Kristen) adalah kafir (QS al-Maidah: 72, 73).Orang musyrik saja dilarang untuk dinikahi (bdk.QS. al-Baqarah: 221) apalagi orang kafir. Tapi, menjadi pertanyaan, kenapa dalam surah yang sama di satu sisi dikatakan ahlu Kitab, di lain sisi kafir?
Surah al-Baqarah: 221 melarang untuk menikahi wanita musyrik sebelum mereka beriman. Artinya, pria islam boleh menikah dengan wanita musyrik bila mereka sudah memeluk islam. Kiranya surah inilah yang agak tegas dan jelas berbicara soal larangan perkawinan beda agama. Selanjutnya dikatakan, lebih baik menikahi budak (mungkin sekarang dapat dimaknai pembantu rumah tangga) yang beragama islam. Jadi, jika di luar tidak ketemu wanita islam yang dapat dinikahi, yah nikahi saja pembantu yang ada di rumah, yang beragama islam. Ini adalah perintah Allah. Yang menarik lainnya dari surah ini adalah pernyataan bahwa wanita-wanita musyrik “mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga.” Perbandingannya adalah antara wanita-wanita musyrik dengan Allah, bukan dengan wanita-wanita mu’min. Kenapa wanita-wanita musyrik diperbandingkan dengan Allah, dan bukannya dengan wanita-wanita mu’min? Alangkah rendahnya Allah seperti itu. Jadi, jika wanita-wanita musyrik membawa pria islam ke neraka, kemana wanita-wanita mu’min membawa pria islam yang menikahinya?
Tafsiran atas QS.al-Muntahana: 10 dapat diterapkan pada pelarangan atau pengharaman perkawinan beda agama. Salah satu poin dari surah ini mau menyatakan bahwa bila ada wanita islam menikah dengan orang kafir, namun ketika datang kepada pria islam, maka pria islam ini harus menyelamatkannya dengan tidak mengembalikan wanita itu ke suaminya. Teks ini sering dijadikan dasar untuk menarik kembali wanita-wanita islam yang telah menikah dengan orang non islam sekalipun rumah tangga mereka bahagia. Sebagai contoh, ada seorang wanita islam menikah dengan seorang pria katolik. Mereka menikah di Gereja Katolik dengan ritus nikah beda agama, sehingga yang islam tetap islam. Rumah tangga mereka harmonis, bahagia dan sejahtera. Tapi ketika bertemu dengan pria islam, maka pria islam akan berusaha untuk memisahkan mereka. Bila perlu menikahi wanita itu. Hal ini dikehendaki dan merupakan perintah Allah.
Surah al-Nisa: 25 kurang lebih senada dengan surah al-Baqarah di atas, yaitu lebih baik menikahi budak yang beragama islam ketimbang menikahi wanita non islam, alias kafir. Dari nada inilah, MUI yakin bahwa perkawinan beda agama haram dan tidak sah. Menjadi persoalan, adakah pria islam yang bersedia menikah dengan budak atau pembantu rumah tangganya yang islam? Bagaimana dengan pria islam yang tidak memiliki budak?
Demikianlah 7 dasar Al-Qu’ran, dengan telaah kritisnya, yang diambil sebagai dasar keputusan fatwa MUI tentang perkawinan beda agama. Selain dari Al-Qu’ran, dasar dari keputuasn fatwa MUI diambil juga dari hadis. Ada satu hadis yang ditampilkan, yaitu HR. muttafaq alaih dari Abi Hurairah r.a. Kata-kata “hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam” dipahami sebagai larangan atas perkawinan beda agama. Kita tak perlu mengkritisi kata-kata tersebut, karena memang demikianlah maksudnya. Namun yang menarik adalah kalimat awal dari kutipan hadis tersebut, yaitu tentang 4 kriteria wanita yang boleh dinikahi:
1.    Hartanya (tentulah harus kaya atau memiliki harta yang banyak).
2.    Keturunannya (tentulah harus dari keturunan yang baik atau status sosial yang tinggi; tapi bagaimana dengan perintah Allah untuk menikahi budak? [bdk. al-Baqarah: 221; al-Nisa: 25)
3.    Kecantikannya (tentulah harus cantik. Bagaimana jika dikaitkan dengan surah al-Baqarah: 221 bahwa lebih baik budak mu’min dari pada wanita musyrik sekalipun mereka menarik hati?)
4.    Agamanya (tentulah harus yang beragama islam).
Dari 4 kriteria di atas dapatlah dikatakan bahwa soal akhlak, moral dan kepribadian (inner beauty) wanita yang akan dinikahi tidak telalu penting, bahkan tak perlu diperhatikan. Yang penting kaya, cantik, dari keluarga berada dan baik serta beragama islam. Mungkin ada yang mengatakan bahwa inner beauty sudah masuk dalam poin 2 (keturunan) dan poin 4 (agama). Perlu disadari, keluarga baik belum tentu anaknya juga baik; demikian pula tak selamanya yang beragama itu adalah orang baik. Teroris mengaku dirinya beragama islam, tapi dunia (bahkan umat islam sendiri) menyatakan mereka itu jahat.
Untuk qa’idah fiqh, yang dijadikan dasar putusan MUI untuk mengharamkan perkawinan beda agama adalah “Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada menarik kemaslahatan.” Fiqh ini mirip dengan peribahasa, “Sedia payung sebelum hujan” atau “mencegah lebih baik daripada mengobati.” Di sini dapat dilihat bahwa perkawinan beda agama lebih banyak mendatangkan keburukan daripada kebaikan.
Hal penting yang ketiga adalah memerhatikan. Ada 2 hal yang dijadikan dasar untuk diperhatikan, yaitu Keputusan Fatwa MUI dalam Munas II 1980 tentang Perkawinan Campuran, dan Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005. Dengan memerhatikan dua hal inilah MUI sampai pada keputusan final mengharamkan perkawinan beda agama.
Demikianlah tinjauan kritis atas Fatwa MUI tentang Perkawinan Beda Agama. Dari sana dapatlah ditarik beberapa kesimpulan, pertama, agama islam tidak menghargai hak asasi umatnya atau islam tidak melihat menikah itu sebagai suatu hak. Artinya, menikah bukan sebagai pilihan, tetapi sebagai kewajiban; dan kewajiban itu tidak hanya sebatas menikah tetapi juga menikah dengan sesame islam. Kedua, terlihat jelas tidak adanya toleransi dalam islam atau kurang menghargai perbedaan dan kemajemukan. Ketiga, apakah fatwa MUI ini langsung dapat meredakan keresahan dalam masyarakat perihal perkawinan beda agama?
Dabo, 17 Agustus 2019
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar