Selasa, 12 Maret 2019

PAUS DENGAN CACATAN KONTROVERSIAL

Tidak dapat dipungkiri bahwa memang sejarah mencatat kehidupan beberapa Paus yang hidupnya tidak memberikan kesaksian yang baik tentang imannya. Beberapa contohnya terlampirkan di bawah ini (diambil sumber dari New Advent Encyclopedia dan New Catholic Encyclopedia):

1. Paus Clement VII (1523 – 1534)

Paus Clement VII, yang memiliki nama asli Giulio de’Medici, naik menjadi Paus menggantikan Paus Adrian VI. Di masa kepemimpinannya memang terjadi banyak masalah, yaitu berkembangnya revolusi Protestan, pertentangan politik antara Raja Francis I dan Kaisar Romawi Charles V, dan masalah permohonan pembatalan perkawinan Raja Henry VIII (Raja Inggris) dan kebutuhan untuk mengadakan reformasi Gereja.
a. Paus memihak reformer Protestan?
Setelah menjadi Paus, Clement VII memang menyampaikan keinginannya kepada Kaisar Charles V untuk mengadakan rekonsiliasi dengan para pengikut Luther. Kaisar Charles V menginginkan agar Paus mengadakan konsili, namun Paus menolak. Dua kali Paus bertemu dengan kaisar, namun mereka tidak mencapai kata sepakat, sehingga akhirnya di akhir pontifikat, masalah ini tidak terselesaikan, dan malah semakin parah. Karena sikapnya inilah, kemungkinan ada orang yang mencatatnya sebagai Paus yang kurang tegas, dan seolah membela pihak reformer Protestan. [Kita tidak pernah mengetahui alasan persisnya, namun mungkin saja justru ia ingin mengusahakan rekonsiliasi, tanpa perlu mengeluarkan pernyataan "anathema", seperti umumnya yang dinyatakan dalam konsili. Namun kemudian sejarah mencatat, bahwa akhirnya konsili tetap diadakan (Konsili Trent 1545 – 1563) setelah masa pontifikat Clement VII, karena biar bagaimanapun Gereja perlu menyatakan kembali ajaran benar, dan menolak ajaran yang salah.
b. Paus memihak Perancis?
Terhadap persaingan politik Francis I dan Charles V, Paus berusaha tetap menjaga kondisi status quo, tidak memihak keduanya, namun ternyata tidak semudah itu. Pertikaian antara kedua Raja antara lain disebabkan oleh membelotnya panglima perang Raja Francis I yang bernama Duc de Bourbon, yang kemudian menjadi panglima perang Kaisar Charles V, dengan nama Constable Bourbon. Namun kemudian Kaisar Charles V kekurangan dana untuk membayar tentara di bawah pimpinan Constable tersebut, sehingga para serdadu mengancam akan memberontak. Dalam situasi ini Paus terombang- ambing akan kekuasaan kedua Kaisar. Akhirnya Raja Francis I ditangkap oleh tentara Spanyol dan diasingkan ke Madrid (14 Januari 1526). Raja Francis I lalu menyerahkan klaimnya di Italia. Pada bulan Mei 1526, Paus Clement VII membuat perjanjian dengan Perancis yang bersekutu dengan Venice dan Florence (tempat kelahiran Paus), untuk memeriksa perkembangan kekuasaan Charles V yang menciptakan suasana kegelisahan di Italia, terutama di Florence. Hal ini membuat Raja Charles V marah, dan kemudian menekan Paus untuk membayar tentara perang pimpinan Constable Bourbon. Demi keamanan, Paus setuju untuk membayar 60,000 ducats, dan bahkan tentara kaisar Charles kemudian memaksa pembayaran sebanyak 100,000 ducats. Namun pengorbanan ini ternyata masih dianggap kurang. Tentara bayaran tersebut yang banyak di antaranya adalah Lutheran memaksa Constable Bourbon untuk mengadakan perampokan/penjarahan kota Roma. Terjadilah the Sack of Rome selama delapan hari, dimana terjadi penjarahan gedung-gedung gereja Katolik, para wanita termasuk para biarawati diperkosa, kedutaan dijarah, para kardinal diculik, dan upacara keagamaan diobrak-abrik dan para tentara berkelahi untuk memperebutkan hasil jarahan. Kerusuhan dan penjarahan ini mengakibatkan pemenjaraan Paus di Castel Sant'Angelo selama sekitar 7-8 bulan. Namun kemudian Paus bebas dan kembali ke Roma tahun 1528, dan akhirnya mengadakan perjanjian damai dengan Raja Charles V. Paus bahkan memahkotai Raja Charles di tahun 1530, dan perjanjian ini setidaknya menjadikan kondisi yang damai di Italia.
c. Paus tidak memihak Inggris?
Situasi menjadi lebih rumit lagi ketika pada saat itu juga terjadi kasus permohonan Anulasi (pembatalan perkawinan Raja Inggris) Henry VIII yang sudah menikah selama 18 tahun dengan Ratu Catherine dari Aragon, tetapi mereka tidak mempunyai keturunan, sehingga Raja Henry VIII berminat untuk menikah lagi dengan Anne Boleyn. Paus menunda untuk memberikan keputusan dengan harapan Raja Henry akan mengurungkan niatnya untuk menikahi Anne Boleyn. Ternyata harapan Paus tidak terjadi. Akhirnya dikeluarkannya keputusan tanggal 23 Maret 1534, tribunal kepausan menyatakan bahwa pernikahan Raja Henry VIII dengan Ratu Catherine adalah perkawinan Kristiani yang sah. Namun sementara itu Raja Henry VIII sudah memisahkan diri dan membentuk skisma, yang kemudian menjadi pemimpin gereja Anglikan di Inggris.
Melihat fakta-fakta di atas, maka memang ceritanya cukup rumit, ada banyak kepentingan politik saat itu yang tidak dapat dipahami sepenuhnya. Maka cukup sulitlah juga untuk menilai apakah benar Paus "seringkali mengubah pandangan politiknya mengikuti siapa yang paling kuat dan kaya di setiap waktu," seperti yang dituduhkan. Walaupun sepertinya Paus tidak bermaksud memihak, namun kenyataannya tidak mudah, terutama juga dengan adanya keterlibatan para kaisar dan tentara pada jaman itu.
Para ahli sejarah setuju tentang karakter Paus Clement VII, yaitu ia adalah pertama-tama seorang diplomat, baru kemudian pemimpin rohani. Ia adalah seorang yang pandai namun diplomasinya lemah dan tidak tegas. Namun demikian, kehidupan pribadinya tidak tercela. Ia mempunyai banyak sifat-sifat yang positif, tetapi tidak memiliki sifat-sifat kepahlawanan dan kebesaran jiwa sebagai pemimpin. Mungkin saja sifat-sifatnya tidak populer, namun secara obyektif Paus Clement VII tidak mengajarkan hal yang salah. Ia bahkan dengan gigih mempertahankan ajaran Kristus tentang Perkawinan Kristiani yang tak terceraikan sampai mati (indissolubility of marriage), jika sudah sah sejak awalnya; walaupun taruhannya adalah terjadinya skisma. Di sini malah terlihat bahwa walaupun kepribadiannya mungkin lemah sebagai pemimpin, tetapi ketika sampai pada hal ajaran/doktrin Gereja, ia tidak mau berkompromi. Jadi bahwa ia tidak memihak Raja Inggris, itu bukan karena urusan politik, tetapi karena ia tidak bisa menyetujui perbuatan Raja Henry VIII yang ingin menikah kedua kalinya.
Pada masa pontifikal Paus Clement VII lahirlah gerakan reformasi Gereja Katolik, yang dipelopori oleh the Oratory of the Divine Love, di Italia, dan kemudian timbullah tokoh-tokoh reformasi Katolik seperti Cajetan, Gian Pietro Carafa (Paulus IV), St. Ignatius dari Loyola (Jesuit), dan St. Angela Merici (Ursulin), dst.

2. Paus Leo X (1513 – 1521)

Pontifikat Paus Leo X diingat orang terutama karena pada masa kepemimpinannya terjadi pemisahan diri dari Martin Luther (1517) yang dipicu oleh kontroversi soal adanya surat indulgensi, yang sering disalahartikan sebagai penjualan surat pengampunan dosa. Tanggapan ini keliru, sebab maksud surat indulgensi itu bukan 'membayar/menyumbang sejumlah uang supaya dosanya diampuni', tetapi 'menyumbang sejumlah uang sebagai tanda kasih setelah pertobatan dari dosa'.
Paus Leo X (Giovanni de' Medici) menjadi Paus pada tahun 1513, diusianya yang ke-38. Ia adalah Paus yang menyukai kesenian, musik, pertunjukan teater, aneka pertandingan, namun ia juga adalah seorang Paus yang murah hati dalam gerakan sosial, mendukung biara-biara, rumah sakit, para pelajar yang miskin, para prajurit, peziarah, pengungsi, penyandang cacat dan sakit, dan ia gemar berderma. Kedua jenis sifat-sifat ini nampak jelas dalam pribadi Paus Leo X. Dalam kepemimpinannya ia mendukung banyak karya sastra, karya seni dan ilmu pengetahuan, sehingga Roma menjadi pusat sastra di Eropa pada saat itu. Paus juga mendukung karya seni, terutama lukisan dan pahatan, dan beberapa tokoh seniman besar seperti Raphael dan Michael Angelo hidup pada masa Paus Leo X.
Di masa kepemimpinannya, Perancis beraliansi dengan Venice bermaksud untuk menguasai Milan, sedangkan Spanyol, dan Inggris beraliansi menentang Perancis. Awalnya Paus tidak memihak namun kemudian ia mengikuti kebijakan para pendahulunya, yaitu menentang rencana Perancis. Tahun 1513 itu juga terjadi rekonsiliasi dengan Perancis, dan para kardinal yang skismatik memperoleh pengampunan dan diterima kembali. Namun keadaan damai ini tidak berlangsung lama. Tahun 1516 Raja Spanyol berperang melawan Perancis dan Venesia, tapi kemudian mereka beraliansi demi memperoleh Italia Utara. Oleh karena itu posisi Paus menjadi terjepit. Dalam hal politik Paus nampaknya memang tidak tegas, namun itu tidak menjadikannya pengajar ajaran sesat. Sebab hal politik memang tidak berkaitan dengan hal doktrin Gereja.
Pada tahun 1517 terjadi Reformasi Protestan di Jerman yang dipelopori oleh Martin Luther. Saat itu Paus memberikan izin untuk dikhotbahkannya tentang indulgensi di Jerman, agar diperoleh dana untuk membangun basilika St. Petrus di Roma. Tentang bagaimana sebetulnya seseorang mendapatkan indulgesi, banyak orang salah memahaminya. Tidak pernah Gereja mengajarkan bahwa indulgensi dapat diperoleh dengan uang. Gereja mengajarkan bahwa indulgensi tidak dapat dibeli, namun seseorang mendapatkan indulgensi dengan: (1) perbuatan kasih, (2) perbuatan baik: doa, berpuasa, dan memberikan sedekah/derma, yang semuanya harus dilakukan dengan disposisi hati yang benar. Derma (almsgiving) selalu menjadi salah satu ungkapan perbuatan kasih (lih. Mat 6:2). Memberikan uang tidak dapat membeli indulgensi, namun memberi uang dengan dasar kasih membuat seseorang dapat memperoleh indulgensi. Yesus sendiri memuji persembahan janda miskin (Mk 12:41-44; Lk 21:1-4), bukan karena janda miskin memberikan uang, namun karena disposisi hatinya. Sebaliknya Gereja juga tidak memberikan indulgensi kalau seseorang memberikan uang tetapi tidak sebagai ungkapan kasih; sebab semuanya tergantung dari disposisi hati. Semua indulgensi selalu mensyaratkan “disposisi hati yang benar“.
Sayangnya, pada saat itu pengkhotbah Dominikan, Johann Tetzel yang diutus berkhotbah di Juterbog, Jerman, membuat suatu pantun yang memang “salah kaprah”, yang intinya seperti ini, “Begitu terdengar bunyi emas di kotak, bangkitlah jiwa menuju surga.” Maka kesannya seolah-olah orang didorong untuk menyumbang supaya dapat masuk surga. Padahal, jika kita membaca tentang ajaran indulgensi, terlihat bahwa yang dihapuskan dengan indulgensi itu adalah siksa dosa temporal dari dosa-dosa yang sudah diampuni (melalui Sakramen Tobat) dan bukan membebaskan seseorang dari siksa dosa dari dosa yang belum terjadi. Maka, yang mengampuni dosa tetaplah Kristus melalui para imam-Nya, dan sesungguhnya, perbuatan apapun tidak dapat menggantikan peran Kristus untuk mengampuni dan menyelamatkan seseorang. Yang diperoleh dari indulgensi ‘hanyalah’ penghapusan siksa dosa yang harus ditanggung seseorang, dari dosa yang sudah diampuni oleh Tuhan Yesus. (Doktrin Indulgensi terkait dengan doktrin Sakramen Tobat, Api Penyucian, dan mendoakan jiwa orang-orang beriman yang sudah meninggal. Doktrin-doktrin inilah yang kemudian ditolak oleh gereja Protestan).
Praktek korupsi yang terjadi sehubungan dengan penerapan ajaran indulgensi inilah yang diprotes oleh Martin Luther. Dalam 95 thesis yang diletakkan di pintu gereja tersebut tak lama setelah Tetzel datang, thesis no.27 Luther memprotes pantun Tetzel, dan thesis no. 50 dan 86 memprotes pembangunan basilika St. Petrus. Namun Luther sendiri sebenarnya tidak menolak prinsip pengajaran tentang indulgensi; ia hanya menentang penerapannya. Thesis no. 49 membuktikan hal ini dimana Luther mengatakan bahwa indulgensi sebenarnya “berguna”. (Sumber: Martin Luther, Disputation of Doctor Martin Luther on the Power and Efficacy of Indulgences, 1517, Project Wittenberg, 2 July 2008).
Dan kemudian beberapa konsili, the Councils of Fourth Lateran [1215], Lyons [1245 and 1274] and Vienne [1311-1312]. Dan di Konsili Trente [1545-1563], Paus Pius V membatalkan segala peraturan indulgensi yang melibatkan transaksi keuangan. Maka sampai sekarang, derma tidak termasuk dalam perbuatan yang disyaratkan untuk memperoleh indulgensi. Namun demikian, Gereja tetap mempunyai kuasa untuk melepaskan umat dari siksa dosa temporal akibat dari dosa-dosa yang sudah diakui dalam Sakramen Pengakuan Dosa.
Perlu diketahui di sini, bahwa indulgensi tidak pernah diperjualbelikan seperti yang dituduhkan. Meskipun indulgensi pada jaman Paus Leo X dapat diperoleh dengan menyumbang, namun jangan dilupakan bahwa hati yang bertobat, dan segala persyaratan religius lainnya harus ditepati agar indulgensi tersebut dapat sah diberikan. Jadi bukan semacam membeli surat dan setelah itu dosa diampuni. Bukan demikian, karena sebelum menerima indulgensi, seseorang harus tetap mengaku dosa dan menerima sakramen Tobat terlebih dahulu, dan juga memenuhi persyaratan religius lainnya. Maka, indulgensi bukan untuk menggantikan peran sakramen Pengakuan Dosa maupun silih dosa/penance yang diberikan kepada umat pada sakramen tersebut oleh imam.

3. Paus Julius II (1503 – 1513)

Paus Julius II memang dikenal sebagai Paus yang keras dalam kebijakan politik luar negerinya, Paus yang menjadi patron dalam hal seni (arts), namun sayangnya, juga sebagai Paus yang tidak terpuji kehidupannya sebelum menjabat menjadi Paus, karena ia mempunyai anak perempuan yang bernama Felice della Rovere, yang lahir tahun 1483. Tidak lama setelah kelahirannya, ibunya yang bernama Lucrezia Normanni kemudian menikah dengan Bernardino de Cupis, seorang pembesar di casa milik sepupu Paus Julius II. Sedangkan catatan Pompeo Litta, bahwa Paus Julius II mempunyai dua anak lagi yaitu Guilia dan Clarice, adalah keliru, karena kedua anak itu sesungguhnya adalah anak dari Felice (lihat Litta, “Famiglie Celebri Italiane”, Celebrated Italian Families, 1833).
Walaupun sejarah mencatat hal-hal buruk pada Paus Julius II, yaitu kebijakan politiknya yang keras, yaitu perang untuk melawan pengaruh Perancis atas wilayah Italia dan Kepausan; serta fakta bahwa ia mempunyai seorang anak perempuan sebelum menjadi Paus, namun itu tidak menjadikannya sebagai pengajar yang sesat. Beberapa keputusan Paus Julius II sehubungan dengan pengaturan Gereja adalah: (1) ia mengeluarkan Bulla (Bull) tentang peraturan menentang simony dalam kepemilihan Paus, (2) mendirikan Kepausan di Haiti, San Domingo, Porto Rico, (3) menolak ajaran sesat yang menentang Inkarnasi oleh Piero de Lucca 1511, (4) mengadakan reformasi ordo dan biara, (5) mendirikan sekolah chant gerejawi Capella Julia, (6) mengadakan Konsili Lateran V untuk menghentikan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Roman Curia, dan untuk menghentikan rencana-rencana kardinal skismatik; (7) menjadi patron seni. Bramante, Raphael dan Michael Angelo memberikan karya terbaik mereka hidup pada masa kepemimpinan Paus Julius II; (8) meletakkan batu penjuru gedung basilika St. Petrus.

4. Paus Alexander VI (1492 – 1503)

Paus Alexander VI memang merupakan salah seorang Paus yang paling kontroversial. Kepemimpinannya diwarnai banyak hal yang sangat negatif, misalnya mempunyai hubungan dengan wanita Roma sampai mempunyai empat orang anak. Oleh karena itu memang hidupnya tidak lurus, ia banyak berpihak melindungi anak-anaknya, terutama Cesare Borgia. Pada masa kepemimpinannya juga terjadi perang dan pembunuhan salah seorang anggota keluarganya, yaitu suami dari salah seorang anak perempuannya.
Membaca kisah hidup Alexander VI ini kita memang dapat menjadi sangat prihatin, atau mungkin lebih tepatnya tercengang, mengapa ada seorang Paus yang hidupnya sedemikian. Namun kisah yang benar tidak perlu ditutupi, agar umat Katolik sendiri mengetahui bahwa memang dalam sejarah Gereja, terdapat beberapa Paus yang hidupnya tidak kudus. Paus Leo XIII dalam suratnya kepada Cardinal De Luca (1889) tentang pembelajaran Sejarah Gereja menyatakan, “Para ahli sejarah Gereja mempunyai tugas untuk tidak menyembunyikan apapun pencobaan yang harus diderita oleh Gereja karena kesalahan anak-anaknya, dan bahkan karena kesalahan para pemimpinnya sendiri.” Namun kesalahan yang dimaksud di sini adalah kesalahan pribadi orang yang bersangkutan, dan bukan kesalahan ajaran Gereja. Dengan demikian, martabat kepemimpinan St. Petrus tetaplah terjaga seperti dikatakan oleh St. Leo Agung (440 – 461), “martabat St. Petrus tidak berkurang bahkan dalam para penerusnya yang tidak layak.”
Dari fakta di atas, terlihat bahwa bahkan dengan situasi yang parah sekalipun, Gereja Katolik tidak sesat ataupun bubar. Sebab para Paus yang tak bermoral itu (contohnya Paus Alexander VI dan Paus Julius II) tidak mempromulgasikan ajaran apapun yang bertentangan dengan ajaran Kristiani. Ini adalah bukti dari janji Kristus sendiri, “Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.” (Mat 16:18)

5. Paus Benediktus IX (1032 – 1048)

Tidak banyak yang dicatat tentang kegiatan kepausan Paus Benediktus IX, kecuali mengadakan 2-3 sinode di Roma, dan memberikan beberapa hak istimewa kepada gereja-gereja dan biara. Paus Benediktus IX ini memang juga dikenal sebagai Paus yang tak bermoral. Kehidupannya yang sedemikian mengakibatkan perpecahan, sehingga dipilihlah seorang Paus tandingan (antipope), yaitu Yohanes, Uskup Sabina (1045), yang mengambil nama Sylverster III. Paus Benediktus memberhentikan Sylvester tahun itu juga, lalu memberikan tahtanya kepada Yohanes Gratian yang mengambil nama Gregorius VI (1045). Tetapi kemudian Benediktus menyesal dan ingin menggeserkan Gregorius. Kekacauan akan adanya tiga Paus ini kemudian diatasi oleh Konsili Sutri (1046) dan seorang Uskup Jerman, Suidger, naik menjadi Paus, dan mengambil nama Paus Klemens II. Paus Benediktus masih berusaha kembali menjadi Paus, namun tidak berhasil, dengan naiknya seorang Paus Jerman berikutnya, yaitu Paus Damasus II (1048).
Akhir hidup Paus Benediktus IX tidak diketahui dengan pasti. Ada yang mengisahkan bahwa sampai ia wafat, ia masih terus berusaha kembali naik menjadi Paus. Namun kemungkinan fakta yang benar adalah seperti yang tertulis dalam tradisi biara pertapaan Grottaferrata, yang diturunkan oleh Pemimpin Pertapa Lukas (wafat 1085) yang didukung oleh pahatan dan monumen lainnya di dinding-dinding biara. Dituliskan di sana oleh pemimpin ke empat yang bernama Batholomeus (1065) bahwa Paus Benediktus datang kepada Bartholomeus untuk berkonsultasi. Atas saran Bartholomeus, Paus mengundurkan diri dari kepausan dan meninggal dalam penyesalan atas dosa- dosanya, di Grottaferrata.

6. Paus Yohanes XII (955 – 964)

Paus Yohanes XII pernah dituduh oleh sinode (963) para uskup (50 uskup Italia dan Jerman) bahwa ia melakukan sakrilegi, simoni, dusta, pembunuhan, percabulan dan incest. Paus Yohanes XII menolak mengakui sinode itu, namun kemudian timbullah kekacauan sampai terjadi penunjukan penggantinya yang mengambil nama Leo VIII, pada saat Yohanes XII masih menjabat sebagai Paus. Tidak ada pengajaran kepausan yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes XII.

7. Paus Stefanus VI (896 – 897)

Paus Stefanus VI tidak membunuh Paus pendahulunya, Paus Formosus. Yang dilakukan oleh Paus Stefanus – yang didukung oleh Kaisar Lambert dari Spoleto- adalah menggali kubur Paus Formosus, mengeluarkan mayatnya untuk diadili dalam sinode Cadaver (897). Seorang diakon ditunjuk untuk menjawab atas nama Paus Formosus, yang diadili karena semasa hidupnya menjalankan tugas sebagai Uskup ketika ia sudah diekskomunikasi, dan menerima tugas kepausan ketika ia menjadi Uskup Porto, dan beberapa tuduhan lainnya. Jasad tersebut kemudian dinyatakan bersalah, dilucuti pakaiannya, dipotong tiga jari tangan kanannya, dan kemudian jenazah Formosus itu dibuang di sungai Tiber. Pengadilan jenazah Formosus ini menimbulkan kerusuhan massa. Kerusuhan berakhir dengan dibunuhnya Paus Stefanus VI dengan dicekik. Demikianlah akhir dari masa kepausan Stefanus VI, yang tidak banyak melakukan tindakan kepausan, kecuali membatalkan ordo-ordo yang didirikan oleh Paus Formosus, dan memberikan beberapa hak istimewa (privileges) kepada gereja-gereja.

8. Paus Innocentius III (1198 – 1216)

Kontroversi Paus Inocentius III adalah izinnya untuk membantai kelompok kataris. Namun setidaknya kita perlu melihat Paus ini secara obyektif. Paus Innocentius III dikenal sebagai pembela dan pelindung iman yang sejati dari ajaran sesat. Kelompok Kataris, yang juga terkenal sebagai Albigenses (aliran Kataris dari Albi) memang menyebarkan ajaran yang sesat dengan begitu agresif dan menyebarkannya dengan paksa. Ajaran sesat itu adalah prinsip Dualisme, yang merupakan prinsip pengajaran ajaran sesat Manichaeism yang berakar pada ajaran Gnosticism pada abad pertama. Prinsip Dualisme ini sangat bertentangan dengan ajaran Kristiani. Dualisme percaya akan adanya dua kekuatan, yaitu kekuatan baik dan jahat. Kekuatan baik ini dikatakan sebagai pencipta alam spiritual yang tak kelihatan; sedangkan kekuatan jahat sebagai pencipta dunia material. Dengan demikian, mereka melihat bahwa tubuh/materi adalah sesuatu yang jahat. Beberapa konsep yang keliru itu misalnya: 1) konsep keselamatan bagi mereka adalah ‘pembebasan dari tubuh’; 2) mereka membenci perkawinan, karena perkawinan memungkinkan terciptanya ‘tubuh’ yang baru 3) mereka mendukung homoseksualitas; 4) mereka mentolerir/mendorong tindakan bunuh diri, karena menyebabkan seseorang terlepas dari ‘tubuh’. Di atas semua itu, dengan konsep ‘merendahkan tubuh, mereka tidak menghargai Inkarnasi (Penjelmaan Tuhan Yesus menjadi manusia, dan mengambil ‘tubuh’ manusia). Dan karena Penjelmaan Kristus merupakan salah satu inti Iman Kristiani, maka dapat dimengerti bahwa ajaran Kataris ini sungguh sangat menentang kebenaran iman Kristiani.
Demi menjaga kemurnian ajaran iman Kristiani, Paus Innocentius mengirimkan dua orang pertapa Cisterian, yaitu Rainer dan Guido kepada kaum Albigenses di Perancis, untuk mengajarkan kepada kaum Albigensian itu ajaran Iman yang benar. Kedua pertapa itu kemudian diikuti oleh Diego, Uskup Osma, dan St. Dominikus, dan dua utusan kepausan, Peter Castelnau dan Raoul. Namun misi ini ditolak dan dihina oleh pihak Albigenses. Maka ketika utusan kepausan, Peter Castelnau dibunuh tahun 1208, Paus Innocentius memutuskan untuk menghadapi mereka dengan kekerasan. Dalam moral teologi, ini disebut sebagai ‘just war’, karena sudah didahului cara-cara perdamaian, namun tidak berhasil, sedangkan kebenaran iman-lah yang menjadi taruhannya. Suatu keputusan yang sangat sulit harus dilakukan oleh Paus Innocentius III untuk menjaga kemurnian ajaran iman.

9. Paus Urbanus VI (1378 – 1389)

Kontroversi Paus Urbanus VI adalah tindakannya menyiksa dan memenjarakan 6 kardinal. Kisah tentang Paus Urbanus VI ini berkaitan dengan kondisi skisma yang dihasilkan setelah Tahta Kepausan dikembalikan dari Avignon ke Roma oleh Paus Gregorius XI (1378) yang mengakhiri Kepausan Avignon. Setelah Paus Gregorius XI wafat, orang-orang Roma mendesak agar Paus dipilih dari Italia, maka para kardinal memilih Paus Urbanus VI. Di awal kepemimpinannya terjadi pergolakan yang berkaitan dengan pemerintahan Naples, dan ia tidak mendengarkan nasehat dari para kardinalnya. Akhirnya para kardinal memberontak, dan kemudian 6 kardinal ini ditahan, dan disiksa, 5 di antaranya dihukum mati. Ini memang adalah suatu perbuatan yang tidak bijaksana.
Kemudian para kardinal memilih Paus tandingan bernama Clemens VII. Lalu konsili di Pisa diadakan tahun 1409, untuk menyelesaikan hal ini, tapi kemudian malah memilih Paus yang ketiga Alexander V, dan segera diikuti oleh Paus Yohanes XXIII (Paus tandingan (anti-pope) yang memakai nama Paus Yohanes XXIII). Akhirnya Konsili Konstance tahun 1417 menurunkan Paus Yohanes XXIII (paus tandingan tersebut), Paus Avignon (Benediktus XIII), dan Paus Roma Gregorius XII, lalu memilih Paus Martin V untuk meneruskan kepemimpinan Rasul Petrus, dan dengan demikian mengakhiri skisma.
Sejak saat itu, didekritkan bahwa tidak akan ada lagi Konsili yang mempunyai kuasa di atas para Paus, dan tidak ada lagi jalan untuk membatalkan pemilihan Paus oleh seorangpun kecuali oleh Paus itu sendiri.

10. Paus Clement XIV (1769 – 1774)

Kontroversi Paus Clement XIV adalah tindakannya membubarkan ordo Jesuit. Dalam hal ini memang tidak dapat diketahui secara pasti mengapa Paus Clement XIV memutuskan demikian. Dikatakan di dalam Brief untuk membubarkan SJ tersebut tidak disebutkan secara jelas mengapa; namun jika kita melihat deskripsi sejarahnya, kemungkinan ini berkaitan dengan tekanan politik terhadap Paus. Maka St. Alphonsus Liguori mengatakan, “What could the poor pope do when all the Courts insisted on the suppresion [of the Jesuits]?” Atau Jesuit Cordara, ”I think we should not condemn the pontiff who, after so many hesitations, has judged it his duty to suppress the Society of Jesus I love my order as much as any man, yet, had I been in the pope’s place I should probably have acted as he did. … (SJ), founded and maintained for the good of the Church, perished for the same good; it could not have ended more gloriously.”

11. Paus Gregorius XVI (1831 – 1846) melarang teknologi kereta api?

Kontroversi Paus Gregorius XVI adalah tindakannya melarang teknologi kereta api. Tapi apakah memang demikian? Paus ini memang terkenal sangat konservatif dan tidak menyukai hal-hal yang baru. Namun bukan berarti ia melarang secara resmi teknologi kereta api, dan tidak ada dokumen yang menyatakan pandangannya yang demikian secara tertulis. Yang mengungkapkan bahwa Paus Gregorius tidak menyukai kereta api adalah Charles Dickens, seorang novelis dari Inggris. Maka hal ini serupa dengan seseorang penulis yang merekam kesan/pendapat seseorang akan sesuatu. Tentu rekaman komentar ini tidak bernilai mengikat, karena itu sifatnya hanya kesan pribadi.

12. Paus Pius XI (1922 – 1939)

Kontroversi Paus Pius XI adalah tindakannya yang anti komunis tapi pro NAZI. Tapi apakah memang demikian? Paus XI terkenal sebagai Paus yang menjunjung tinggi martabat manusia, menentang komunisme, dan eksploitasi kapitalisme internasional. Surat ensikliknya yang terkenal adalah Quadragesimo Anno, merupakan salah satu sumber ajaran sosial Gereja yang penting.
Yang benar adalah memang Paus Pius XI dan Adolf Hitler menandatangani perjanjian Concordat 1933, yang dimaksudkan terutama agar negara yang bersangkutan (dalam hal ini Jerman) mengakui dan menjamin hak-hak umat Katolik di negara itu. Namun kenyataannya kemudian Hitler melanggar perjanjian itu, dan bahkan semakin menunjukkan kekerasan terhadap umat Kristiani. Maka pada tahun 1937 Paus Pius XI menulis ensiklik, Mit Brennender Sorge, yang mengecam ideologi Nazi yaitu rasisme, totalitarianisme dan pelanggaran Nazi terhadap Concordat. Ensiklik ini mengecam ideologi nasional-sosialisme yang bersifat pagan, mitos rasis dan darah kebangsawanan, dan konsep yang salah tentang Tuhan.
Whoever exalts race, or the people, or the State, or a particular form of State, or the depositories of power, or any other fundamental value of the human community—however necessary and honorable be their function in worldly things—whoever raises these notions above their standard value and divinizes them to an idolatrous level, distorts and perverts an order of the world planned and created by God; he is far from the true faith in God and from the concept of life which that faith upholds.” (Mit Brennender Sorge 8)
Fakta selanjutnya adalah umat Katolik di Jerman yang mencetak dan menyebarkan surat ensiklik itu dipenjara atau dibuang ke kamp konsentrasi. Hanya sayangnya, hal ini tidak diberitakan oleh dunia Barat; maka Paus Pius XI mengatakan ini sebagai “a conspiracy of silence“. Paus Pius XI tetap pada pendiriannya, dan ia mengajarkan, “Mark well that in the Catholic Mass, Abraham is our Patriarch and forefather. Anti-Semitism is incompatible with the lofty thought which that fact expresses. It is a movement with which we Christians can have nothing to do. No, no, I say to you it is impossible for a Christian to take part in anti-Semitism. It is inadmissible. Through Christ and in Christ we are the spiritual progeny of Abraham. Spiritually, we [Christians] are all Semites”.
Pada dasarnya Paus Pius XI mengatakan tidaklah mungkin bagi seorang Kristiani untuk menjadi anti Yahudi. Sebab melalui Kristus dan di dalam Kristus, kita semua adalah keturunan Abraham secara spiritual. Maka secara spiritual umat Kristiani adalah orang Yahudi. Dengan demikian, tidaklah benar bahwa Paus Pius XI pro-Nazi dan anti Yahudi.

13. Paus Pius XII

Kontroversi Paus Pius XII adalah tindakannya yang pro NAZI dan membiarkan holokaus terjadi. Tapi apakah memang demikian? Gambaran yang menyatakan Paus Pius XII pro NAZI dan membiarkan holokaus adalah tuduhan yang keliru. Kesaksian dari kaum Yahudi sendiri, Pinchas Lapide, seorang teologian Yahudi dan diplomat Israel dalam bukunya Three Popes and the Jews, mengungkapkan bahwa Paus malah melindungi mereka, dan berperan dalam menyelamatkan hingga 860.000 orang Yahudi. Bahwa ada yang mengatakan bahwa sebenarnya Paus XII mungkin dapat berbuat lebih banyak untuk melindungi orang Yahudi/menyetop holokaus, itu mungkin masih dapat diperdebatkan (walau tetap tidak dapat memuaskan, karena tak seorangpun dari kita mengetahui secara persis keadaan yang dihadapi Paus pada saat itu), tetapi tuduhan yang mengatakan bahwa Paus Pius XII membiarkan holokaus dan tidak melakukan apa-apa untuk menyelamatkan orang Yahudi, itu adalah tuduhan yang sangat keliru.
DEMIKIANLAH catatan sejarah yang mengisahkan beberapa Paus yang kontroversial. Apakah hal ini menggoyahkan iman umat? Sama sekali hal tersebut tidak menggoyahkan iman umat, dan malah sebaliknya, makin meyakinkannya akan janji kesetiaan Kristus untuk menyertai Gereja-Nya sampai akhir jaman (Mat 28:20). Sebab jika hal itu terjadi pada organisasi manusia, maka organisasi itu sudah bubar sejak lama. Namun karena Kristus menjaganya dengan Roh Kudus-Nya, maka Gereja Katolik tetap eksis sampai sekarang. Karena itu, umat Katolik harus semakin mensyukuri akan kasih setia Kristus yang dinyatakan kepada Gereja-Nya.
re-edited from Ingrid Listiati- katolisitas.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar