Jumat, 24 Agustus 2018

TINJAUAN ATAS BUKU “MENGAPA AKU BUKAN MUSLIM”


Buku “Mengapa Aku Bukan Muslim” ditulis oleh Ibn Warraq, seorang penulis kritik islam. Nama Ibn Warraq sendiri bukanlah nama sebenarnya. Itu hanya nama yang selalu digunakannya untuk menulis tulisan-tulisan yang mengkritisi islam. Dia tak pernah memunculkan identitas sebenarnya, untuk menghindari ancaman dari umat islam (topik ini dibahas dalam bab 1). Semua itu dilakukannya supaya dia tidak menjadi Salman Rushdie kedua.
Warraq lahir dan tumbuh besar dalam keluarga islam yang taat. Awalnya mereka tinggal di India, lalu bermigrasi ke Pakistan. Sejak usia muda Warraq sudah mempelajari bahasa/budaya Arab dan membaca Al-Qur’an untuk menjadi orang islam sejati. Untuk menguatkan keislamannya, ayahnya memasukkannya ke madrasah. Pada usia 19 tahun, Warraq menempuh pendidikan di Universitas Edinburgh, Skotlandia. Di sini dia belajar filsafat dan budaya Arab pada pakar keislaman W. Montgomery Watt.
Pertemuannya dengan W. Montgomery Watt ini sepertinya membuka hati dan budinya tentang islam yang selama ini diyakini. Pencerahan itu membuatnya melahirkan beberapa karya kritis terkait islam, seperti Why I Am Not a Muslim (1995), The Origins of The Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book (1998), The Quest for the Historical Muhammad (2000). Masih ada banyak lagi karya lainnya. Bukunya yang terakhir, yang ditulis tahun 2017 adalah The Islam in Islamic Terrorism: The Importance of Beliefs, Ideas, and Ideology.
Dari uraian singkat mengenai biodata Ibn Warraq, dapat disimpulkan bahwa penulis buku “Mengapa Aku Bukan Muslim” awalnya adalah seorang muslim. Bahkan bisa dikatakan bahwa dia cukup mengenal tentang agama islam. Akan tetapi, kini dia tidak lagi memeluk islam, alias murtad. Namun, ketika membaca ulasannya tentang ‘kelemahan Tuhan’ (hlm 145 – 147; bdk. juga hlm 147 - 149), kita dapat simpulkan bahwa penulis tidak punya agama. Apakah dia ateis atau agnotis, kita tidak tahu.
Apa pun agamanya kemudian, itu tidaklah penting. Informasi agama yang pernah dianutnya ini berguna sebagai pegangan orang dalam menilai tulisannya. Patut dikatakan bahwa tinjauan kritisnya atas islam bukan tanpa dasar atau mengada-ada, melainkan lahir dari refleksi kritis atas apa yang sudah diketahui dan diyakini.
Buku “Mengapa Aku Bukan Muslim” dapat dilihat sebagai bentuk pertanggung-jawaban Ibn Warraq atas keputusannya untuk meninggalkan iman islamnya. (Sayang, buku yang kami dapat hanya sampai bab 6 saja, padahal aslinya ada 17 bab, tanpa pendahuluan. Untuk membaca atau men-download, silahkan klik di sini).Tinjauan kritis atas islam bukan dilakukan setelah Warraq tidak lagi sebagai orang islam. Sebagai seorang muslim, Warraq menggunakan metode skeptisisme atas islam. Dengan skeptisisme inilah akhirnya Warraq berteriak “eureka”, dan dia memutuskan untuk menjadi murtad. Jadi, meninggalkan agama/iman islam bukan atas dasar selera atau iming-iming kekayaan dan kenikmatan duniawi, melainkan atas dasar nalar dan fakta. Kiranya hal ini bisa menjadi inspirasi bagi kaum islam lainnya.
Sekalipun buku yang kita dapat hanya memuat enam bab, namun kita sudah bisa menemukan alasan kenapa Ibn Warraq memutuskan untuk hijrah meninggalkan islam yang telah dia imani sejak kecil (lima bab pertama). Bagian pendahuluan (hlm 2 – 5) sudah sedikit menguak alasan tersebut, yaitu adanya pertentangan dalam diri islam itu sendiri. Warraq mengawali tulisannya dengan memberikan dua prinsip dasar untuk dapat memahami bukunya. Kedua prinsip itu adalah:
·        membedakan antara teori dan praktek; antara apa yang harus dilakukan muslim dan apa yang mereka lakukan dalam kenyataan; antara apa yang harus dipercayai dan lakukan dengan apa yang mereka sebenarnya percayai dan lakukan.
·        ada tiga jenis islam. Islam 1 adalah apa yang Muhammad ajarkan, yang terdapat dalam Al-Qur’an. Islam 2 adalah islam setelah dipelajari, diartikan dan dikembangkan oleh ahli-ahli islam melalui ahadis, termasuk hukum syariah islam. Sedangkan islam 3 adalah apa yang sebenarnya dicapai muslim dalam kebudayaan islam.
Dalam bab 2 (hlm 19 – 60) Warraq mencoba mengkritisi asal muasal islam, termasuk pernyataan bahwa Al-Qur’an berasal dari keabadian, yang tertulis di surga, dengan menggunakan kritik historis. Dari hasil tinjauan historisnya atas asal muasal islam, Warraq sampai pada kesimpulan bahwa Muhammad bukanlah pemikir orisinil. Tidak ada prinsip etika moral baru yang ditawarkan Muhammad. Malah harus jujur dikatakan bahwa Muhammad mencontek nilai-nilai religius dari agama-agama yang sudah ada menjadi sebuah agama islam. Dan sayangnya beberapa contekan itu ada yang keliru.
Warraq mengatakan bahwa islam mencontek banyak takhayul paganisme Arab, terutama soal tata cara dan ritual ibadah haji (lih. QS 2: 150; 22: 26 – 28; 5: 1 – 4; 22: 34), juga terkait dengan nama-nama para dewa, soal jin, dll. Dengan kata lain, harus diakui bahwa Muhammad mengadopsi sejumlah praktek dan kepercayaan kaum berhala ke dalam agamanya, kadang memodifikasi tapi kebanyakan menjiplak mentah-mentah.
Selain pengaruh dari praktek dan kepercayaan masyarakat pra-islam, Muhammad juga mengambil dari Zoroastrianisme, Yudaisme, Hinduisme dan kekristenan untuk membentuk agama islam. Bab 2 ini membeberkan contekan-contekan Muhammad atas tradisi, nilai dan budaya dari Zoroastrianisme, Yudaisme, Hinduisme dan kekristenan. Memang patut disayangkan bahwa kekristenan yang dijiplak Muhammad kebanyakan dari kekristenan aliran sesat, seperti Nestorianisme. Hal inilah yang membuat islam menyajikan kekristenan yang palsu kepada umatnya, misalnya seperti kesalah-pahaman kisah Maria, Yesus dan doktrin trinitas (hlm. 56 – 58).
Dari data dan fakta historis ini, sepertinya Warraq sampai pada satu kesimpulan bahwa Muhammad telah melakukan pembohongan dengan mengatakan bahwa islam adalah agama asli yang diturunkan langsung oleh Allah. Secara implisit mau dikatakan bahwa islam hanyalah ciptaan Muhammad, bukan agama wahyu seperti agama lainnya.
Bab 3 (hlm 60 – 86) mengungkapkan permasalahan sumber islam, yakni Al-Qur’an, hadis dan biografi Muhammad. Dengan telaah ilmiah dan obyektif, harus diakui bahwa semua sumber islam ini diragukan keotentikannya. Biografi Muhammad dinilai tak lebih dari sekedar tafsir tendensius dan terkaan belaka dari beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang berisi kehidupan Muhammad, yang dikarang dan diperinci oleh generasi-generasi muslim kemudian. Sebagian besar hadis adalah hasil pengembangan religius, sejarah dan sosial dari sistem selama dua abad pertama islam. Hadis tidak berguna sebagai dasar historis sains dan hanya bisa berfungsi sebagai sebuah gambar kecenderungan dari komunitas muslim awal.
Persoalan Al-Qur’an juga tak kalah pelik. Bab 5 (hlm 112 – 192) secara khusus membahas soal Al-Qur’an. Kesimpulan yang dapat diambil di sini adalah bahwa Al-Qur’an bukanlah Kitab Allah, sebagaimana diyakini oleh kaum muslim. Umat islam percaya bahwa Al-Qur’an adalah kata-kata Allah tanpa kesalahan satu pun, langsung turun dari surga lewat perantaraan Malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab murni dan sempurna; setiap titik koma di dalamnya berlaku abadi dan bukan hasil ciptaan manusia.
Dengan menggunakan analisa bahasa, terlihat jelas ada banyak ayat dalam Al-Qur’an yang bukan berasal dari Allah, melainkan dari Muhammad. Ada banyak perbendaharaan kata asing dalam Al-Qur’an. Di samping itu, ada kekhasan dalam Al-Qur’an ini, yaitu beda versi, beda bacaan. Persoalan lain tentang Al-Qur’an ini adalah adanya ayat-ayat yang hilang dan ditambahkan. Terkait dengan hal ini, sangat menarik membaca kisah Abdullah bin Sa’d Abi Sarh, seorang yang ditugaskan untuk menulis wahyu-wahyu saat berada di Madinah. Abdullah meningggalkan islam setelah tahu bahwa ternyata wahyu bisa diubah atas usulannya.
Telaah atas Al-Qur’an ini menghasilkan kesimpulan bahwa Al-Qur’an bukanlah langsung berasal dari Allah, melainkan karangan Muhammad belaka. Ada banyak bukti untuk meyakinkan hal ini. Sekali lagi Warraq menemukan kebohongan yang diciptakan Muhammad.
Bab 4 (hlm 86 – 112) membahas tentang sosok sentral islam, yaitu Muhammad. Bab ini menghasilkan kesimpulan yang menolak kenabian Muhammad. Sebenarnya penolakan ini sudah ada sejak sang nabi masih hidup. Namun telaah akal budi dan suara hati membenarkan penolakan yang sudah ada. Dasar penolakan itu ada pada karakter Muhammad sendiri, yaitu kejam, licik, tidak jujur, tidak bisa dipercaya, seorang yang berprinsip ‘menghalalkan segala cara’, seorang lalim yang menuntut kepatuhan mutlak, dan nafsu seksual yang super.
Karakter buruk ini muncul setelah Muhammad berada di Madinah, dan menutup atau menghapus karakter baik beliau saat berada di Mekkah. Ada kemungkinan bahwa karakter religius, tulus dalam mencari kebenaran, santun, rendah hati dan lemah lembut yang muncul pada periode pertama di Mekkah hanyalah sekedar topeng untuk meraih mimpi yang dicita-citakan. Karakter Muhammad di periode kedua saat di Madinah begitu dominan hingga akhir hayatnya, sehingga bisa dikatakan itulah karakter aslinya. Melihat hal itulah, wajar jika klaim kenabiannya harus ditolak. Bagaimana mungkin seorang nabi bisa berlaku kejam, biadab dan penuh nafsu.
Catatan Penutup
Kita sudah mengetahui siapa Ibn Warraq dan pemikirannya terhadap islam, yang membuatnya hijrah meninggalkan islam. Dari pemikirannya tersebut, yang telah disajikan inti sarinya, kita dapat mereka-reka alur pemikiran dan keputusannya.
Pertama-tama, seperti yang sudah kami sampaikan di depan, sepertinya Warraq memulai pemikirannya ini dengan sikap skeptis terhadap semua ajaran islam. Dengan sikap sketis inilah dia mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap islam, yang kebetulan tidak punya jawabannya. Atau mungkin ada jawabannya, tapi tidak memuaskan nalar akal budinya. Beberapa pertanyaan itu adalah:
1.    Benarkah Al-Qur’an ini berasal langsung dari Allah? Karena dia mempertanyakan Al-Qur’an, maka jawaban dari Al-Qur’an bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah harus ditolak. Dari telaah akademisnya, Warraq mendapat kesimpulan bahwa Al-Qur’an BUKAN dari Allah. Ada banyak bukti bahwa kitab ini merupakan karangan Muhammad sendiri, yang sama sekali tidak ada kaitan dengan Allah. Nama Allah hanya digunakan untuk kepentingan Muhammad.
2.    Benarkah Al-Qur’an itu kitab yang sempurna? Dalam hal apa Al-Qur’an itu sempurna? Umat islam selalu mengagung-agungkan Al-Qur’an sebagai kitab yang sempurna, namun akan membingungkan jika ditanya sempurna dalam hal apa. Karena, dari segi tata bahasa terlihat sekali kalau Al-Qur’an kacau balau, ada banyak pertentangan dan kontradiksi dengan ilmu pengetahuan; dan terbukti bahwa kitab ini tidak melulu menggunakan bahasa Arab, sebagaimana yang selalu diwartakan para ulama. Dari segi isi, kitab ini justru membuat umatnya menjadi biadab, sesuatu hal yang bertentangan dengan makna asalinya sebagai kitab suci.
3.    Kenapa Muhammad disebut sebagai teladan yang sempurna? Atas dasar apa Muhammad itu sempurna (insan al kamil)? Hal ini juga sama seperti pertanyaan yang diajukan kepada Al-Qur’an. Umat islam akan kebingungan dalam memberi jawaban atas pertanyaan ini. Umumnya, mereka hanya memberi gambaran Muhammad periode Mekkah, dan menyingkirkan gambaran Muhammad periode Madinah. Padahal, kesempurnaan itu harus menyangkut keseluruhan pribadi dan hidup. Telaah ilmiah dan obyektif atas sejarah hidup Muhammad, ditemui sisi gelap Muhammad selama berada di Madinah. Hasil telaah itu menghasilkan kesimpulan bahwa Muhammad BUKAN teladan yang sempurna.
4.    Berangkat dari tiga pertanyaan di atas, Warraq juga akhirnya mengugat islam sebagai agama yang sempurna, sebagaimana yang diyakini oleh umat islam. Benarkah islam itu agama yang sempurna? Kenapa islam disebut agama yang sempurna? Jawaban-jawaban atas tiga pertanyaan di atas, secara akal sehat, sudah mengatakan bahwa islam BUKAN agama yang sempurna. Ditambah lagi dengan tinjauan ilmiah dan obyektif atas sejarah dan kebudayaan, terbukti bahwa dalam islam terdapat tradisi-tradisi luar, yang sudah ada sebelumnya.
Dari empat pertanyaan kritis di atas, sepertinya Warraq sampai pada beberapa kesimpulan. Warraq menemukan kebohongan dalam islam. Apa yang diterimanya tentang islam sejak kecil adalah sebuah pembohongan, karena setelah dikritisi dia tidak menemukan kebenaran. Semua inilah yang akhirnya menghantar Warraq untuk menyangkal dan meninggalkan iman/agama islam.
Satu kesimpulan bisa ditarik adalah islam itu agama pembohong. Kesimpulan ini tentu sangat menyakitkan umat islam. Akan tetapi, kesimpulan ini bukan tanpa dasar. Dalam Al-Qur’an Allahnya sendiri mengaku sebagai pembohong (QS An-Nisa: 142), sehingga tak heran ada begitu banyak kebohongan yang disajikan di dalamnya. Dan sang nabi juga akhirnya melegalkan kebohongan. Beberapa hadis menceritakan kebohongan-kebohongan yang diterapkan dan dilegalkan Muhammad. Kesimpulan ini tentulah mempunyai konsekuensi logis bagi umat islam dewasa ini. Apa konsekuensi logisnya, silahkan pembaca menjawabnya sendiri.
Bandung, 29 Juli 2018

by: adrian

2 komentar:

  1. Rajin-rajin aja nonton video Lim Joo Soon penceramah Malaysia di Youtube

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas masukkannya. Saya sudah nonton video Lim Joo Soon, yang Anda sarankan, meski belum semua. Namun dari yang sudah saya tonton, argumentasinya amat sangat lemah. Bahkab cenderung kekenak-kanakan. Jauh lebih kuat argumen Ibn Warraq, penulis buku Kenapa Saya Bukan Muslim. Silahkan Anda baca sendiri bukunya.

      Hapus