Rabu, 22 Agustus 2018

IA JUGA SEORANG AYAH

Perempuan itu menginginkan seorang atau dua atau tiga anak. Tak dipilih dengan pasti apakah mesti perempuan atau lelaki. Perempuan itu ingin dan makin ingin seperti tiap keinginan yang tak kunjung padam. Sejak kawin mungkin, atau jauh sebelumnya, sampai tahun-tahun pertama perkawinannya, dan kini di ulang tahun yang kesekian belas. Keinginan itu kian membesar dan rasa-rasanya kian dekat.
Kemudian pendekatan yang keselanjutnya ialah dengan mengambil seorang anak angkat perempuan. Sejak si bayi masih dalam kandungan ibu kandungnya, perempuan itu telah memintanya.
“Aku ingin punya anak.”
Dalam tahun kedua, diambilnya lagi adik bayi perempuan – yang juga perempuan, sebagai anaknya. Dan karena saat itu suaminya masih aktif sebagai tentara, anaknya mendapat jatah beras. Juga pada kelahiran ketiga – sekarang lelaki, dan kelahiran keempat – perempuan lagi.
“Kau tak keberatan aku mengambil anak, Mas!”
“Tentu saja tidak. Mengapa berkeberatan. Itu malahan meringankan keinginan kita berdua.”
Dan bila keempat anak kecil berbaring berjajar seperti ikan dalam kaleng, perempuan itu menjahit baju anak-anak.
“Kita bakalan punya anak sendiri ya, Mas!”
“Lebih bakal lagi karena kita telah mengambil anak.”
Anak mereka yang kelima, diberikan oleh keluarga dekat mereka yang anaknya sudah cukup banyak. Ini anak kelima belas yang menjadi anak angkatnya yang kelima. Perempuan itu menggulawentah seperti anaknya sendiri. Bahkan ketika pertama mengambil bayi itu, perempuan itu memakai pilis, memakai param dan berlaku seolah baru saja melahirkan. Mengganti popok sebanyak bayinya kencing, menyanyikan lagu-lagu penidur sebanyak bayinya menangis, menyuapi selama bayinya mau, dan bercerita pada sebanyak tetangga yang datang, dengan penuh kebanggaan, dengan penuh kerinduan. Pun suami perempuan itu terus bekerja dari pagi-pagi hingga sore, untuk membeli beras, serta satu stel pakaian pada hari raya untuk anak-anak yang mulai berangkat dewasa. Sejak keluar dari tentara (suami perempuan itu minta keluar dari tentara, karena tak tahan melihat tentara ngobyek. Ini terjadi di sekitar permulaan tahun lima puluh sekian. Sehingga suami itu tak menerima pensiun meskipun memiliki tanda pengharaan), dan masuk sebagai buruh-buruh lainnya.
Perempuan itu tahu, jika saja teman-teman suaminya yang sekarang sudah berpangkat datang atau bercerita, selalu dengan nada setengah menyesalkan suaminya, mengapa justru suaminya yang berjuang di tahun 45 sampai 50-an mengundurkan diri. Bukankah yang dulu cuma sekali dua memegang senapan di tahun 48-an sekarang menerima pensiun?
“Siapa yang mengira bahwa sekarang akan ada veteran? Jaman itu kan cuma sekedar perang.”
“Kalau kau mau mengurus, mungkin masih bisa. Banyak teman-teman kita sendiri yang memegang urusan ini.”
Tapi perempuan itu tahu bahwa suaminya tidak mengurus dengan serius, bahwa suaminya tidak menyesalkan pengunduran dirinya. Seperti juga tidak pernah menyesalkan dirinya yang belum juga mempunyai anak. Perempuan itu mendengar bahwa suaminya sering bercerita, jika saja kawan-kawannya yang dulu datang dan mengalem padanya.
“Di antara kawan sepasukan, kau yang paling berani. Sungguh, dalam tiga pertempuran kau naik pangkat terus.”
“Ketika itu, naik pangkat bisa terjadi sewaktu-waktu. Tidak aneh.” Ditolaknya pujian itu dengan halus.
“Tapi juga bisa diturunkan dengan tiba-tiba.”
Suami perempuan itu tertawa dan menyedot-nyedot rokoknya. Dan perempuan itu pun mengerti, meskipun sekarang bukan perang seperti itu, suaminya kadang memberi belanja tidak tetap, seperti jaman perang. Dan perempuan itu makin menghormati suaminya yang bekerja satu hari penuh. Seperti suami itu makin menyayangi isterinya yang sehari penuh mengasuh anak-anaknya.
Di kampungnya, perempuan itu dikenal sebagai sosiawati yang baik. Tenaganya, pikirannya lebih banyak dicurahkan pada perkumpulan-perkumpulan seperti jika ada pengantin, ada kematian, ada pesta kecil dan pesta besar. Kadang petang hari baru pulang. Dan dijumpai suaminya tengah duduk sendirian.
“Sudah pulang, Pak?” (sebutan pak itu dipakai sejak anak mereka hadir dan memanggil pak kepada suaminya. Pun suaminya memanggil bu, sejak anak-anak mereka memanggil bu kepadanya).
“Sudah.”
“Sudah makan?”
“Belum”
“Tadi, tidak ada yang tahu membuat masakan selat. Tidak tahu bumbunya. Terpaksa sampai sore.”
Atau kalau tengah duduk-dudk berdua sore hari – sewaktu suaminya pulang dari kerja dan dirinya ingin berbuat seperti isteri yang bekti – tetangga datang.
“Minta tolong mbakyu, menerima tamu di resepsi.”
Atau juga, karena sekarang tiap kampung ada kegiatan untuk ibu-ibu, perempuan itu lebih aktif lagi, mengingat kelebihannya memasak dan juga menabuh gamelan.
Bahkan dalam satu perlombaan, perkumpulan ibu-ibu yang dipimpin itu mendapat juara pertama.
“Acaranya sibuk terus, Pak.”
“Nanti kamu kelelahan.”
“Terpaksa.”
Kadang suaminya mengantarkan dirinya latihan nabuh atau memberi kursus. Kadang di rumahnya sendiri.
Bila saja yang kedua terjadi, suaminya terpaksa tak bisa tidur sore hari. Kadang dirinya diantar oleh pacar anak-anaknya, jika berangkat latihan. Pacar anaknya yang pertama, atau pacar anaknya yang kedua.
Perempuan itu menerima kehadiran pacar-pacar anak-anaknya dengan terbuka, dengan melebar dan merentangkan kedua tangannya. Kedatangan pacar-pacar anaknya tak mengubah atau menggoncangkan keinginannya semula. Untuk mempunyai anak. Dengan sendau gurau ditantangnya calon-calon menantunya, “Hati-hati, kalau pacaran jangan bunting dulu. Ibumu masih ingin bunting lagi.”
Calon menantunya juga banyak bicara. Sering dalam cerewatnya berkata bahwa seorang ibu bukanlah seorang yang melahirkan, akan tetapi yang mendidik dan menggulawentah dari bayi hingga dewasa.
Dalam abad yang modern jika bayi sudah bisa dibuat di laboratorium, masih perlu dibutuhkan seorang ibu.
Suatu hari, perempuan itu hampir tak percaya. Tanggal di mana seharusnya dirinya mens, tidak dialami. Ditelitinya perubahan dirinya, perubahan tubuhnya, kepekaan perasaan diriya, dan ditanyakan kepada tetangganya bagaimana permulaan ngidam itu.
Ditunggu dalam sehari dua, sampai seminggu, apakah hal itu hanya keterlambatan biasa.
“Tapi sudah 15 hari, Pak,” laporannya kepada suaminya yang sejak itu lebih lama di rumah, lebih sering mandi. Dan dirinya lebih jarang mengunjungi perkumpulan kegiatan sosial, dan lebih sering membersihkan kamarnya serta memasang gambar bayi.
Keterlambatan sebulan kemudian, perempuan itu memang merasakan ingin makan kecut-kecut, asin-asin, serta suatu ketika ingin muntah waktu bangun pagi, lebih banyak makan dan tidur.
“Ke dokter,Pak?”
Sekali ini, bukan calon menantunya yang mengantarkan, tapi suaminya sendiri. Sekali ini, datang ke dokter untuk urusan dirinya dan bukan mengenai anak-anaknya.
Dan dokter menyatakan kemudian, ketika pemeriksaan yang kesekian, bahwa dirinya sudah sampai pada taraf menopause, taraf istirahat dari seorang perempuan. Mungkin juga tidak akan mengalami mens lagi.
Perempuan itu menerima kalimat dokter tanpa gugatan. Juga suaminya. Perempuan itu tetap merasa sebagai ibu, juga suaminya merasa sebagai ayah.
Kejadian apa pun yang pernah terjadi atas diri mereka berdua, mereka tetap merasa sebagai dan akan menjadi seorang ibu dan ayah, karena mereka menginginkannya.

sebuah cerpen karya: Arswendo Atmowiloto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar