Senin, 14 Mei 2018

TERORISME: DARI #KAMI TIDAK TAKUT KE #KAMI SUDAH MUAK

Dalam waktu 1 minggu bangsa Indonesia diguncang teror oleh para pelaku terorisme, yang terkait dengan Negara Islam Irak Suriah atau biasa disebut ISIS. Teror pertama terjadi di rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, pada Rabu, 9 Mei, menewaskan 4 orang anggota brimob dan 1 anggota teroris. Selang sehari terjadi lagi di lokasi yang sama, yang menewaskan 1 orang anggota brimob dan 1 anggota teroris. Sebuah ironisme bahwa kejadian, yang melenan lebih banyak anggota polisi ini, justru terjadi di markas kepolisian yang memiliki kemampuan tempur.
Pada hari Minggu, 13 Mei, terjadi aksi terorisme di tiga kejadian. Pada sekitar pukul 02.00 dini hari, tim Densus 88 berhasil mencegat sekelompok teroris di Cianjur. Anggota teroris ini berhasil dilumpuhkan. Pada pagi hari, di saat umat kristiani hendak beribadah, aksi teroris terjadi di 3 lokasi berbeda di Surabaya, yaitu Gereja St. Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia dan Gereja Pentakosta Pusat Surabaya. Aksi teror bom bunuh diri ini, yang dilakukan oleh 1 keluarga (ayah, ibu dan 4 anak), menewaskan lebih dari 10 orang, termasuk para teroris. Dan sekitar pukul 22.00 ada aksi teroris di daerah Sidoarjo, yang sekali lagi dilakukan oleh sebuah keluarga, namun aksi ini terbilang gagal karena bom keburu meledak.
Jika kita fokus pada aksi terorisme pada hari Minggu ini, terlihat pola gunung. Aksi terorisme di Cianjur dan Sidoarjo merupakan kaki Gunung Teror Minggu, karena kedua aksi ini merupakan aksi yang gagal. Sementara aksi terorisme di tiga gereja merupakan puncak Gunung Teror Minggu. Karena itu, di beberapa akun media sosial jaringan teroris juga di media sosial lainnya, aksi tersebut dipuji-puji.
Menghadapi aksi terorisme, mulai tanggal 9 Mei hingga 13 Mei, langsung muncul taggar #kami tidak takut, yang bertebaran di media sosial. Beberapa tokoh nasional, termasuk Bapak Presiden Jokowi, juga mengeluarkan seruan “Kami tidak takut”. Sasaran seruan ini ada dua, yaitu kepada kaum teroris dan juga kepada warga Indonesia. Kepada kaum teroris, seruan ini mau mengatakan kepada mereka bahwa aksi teror yang mereka buat tidak akan menimbulkan efek ketakutan. Ketakutan merupakan salah satu tujuan utama aksi teror, karena orang yang takut akan mudah dikendalikan.

Sasaran kedua seruan “Kami tidak takut” adalah warga Indonesia. Warga diajak untuk tidak takut, bukan hanya kepada teror itu sendiri, tetapi juga kepada pelaku teror. Seruan ini berguna untuk untuk tetap menjaga dan mengendalikan situasi sehingga tidak terpecah belah. Target lain dari terorisme adalah terpecah belahnya kesatuan suatu bangsa. Karena itu, seruan tersebut membuat warga Indonesia, dari segala eleman bangsa bersatu.
Akan tetapi, ada satu hal yang menarik ketika menyaksikan acara breaking news dari beberapa stasiun televisi tentang aksi Teror Minggu Pagi. Salah seolah wartawan sebuah televisi, ketika menunggu sikap tegas pemerintah, mengungkapkan bahwa warga tidak lagi hanya membutuhkan pernyataan “Kami tidak takut” ketika menghadapi aksi teror ini. Kemudian wartawan itu mengatakan adanya kemunculan taggar #kami sudah muak. Kenapa rasa muak ini muncul? Muak terhadap apa?
Ada dua kemungkinan penyebab munculnya rasa muak ini. Pertama, warga benar-benar sudah muak dengan segala bentuk terorisme yang ada di negeri ini. Warga ingin hidup tenang. Karena itu, warga tak puas hanya sekedar slogan kami tidak takut, apalagi teror Minggu pagi hanya berselang tiga hari dari pernyataan Presiden Jokowi bahwa negara tidak takut. Teror Minggu pagi seakan-akan mempermainkan bangsa Indonesia. Warga ingin “berperang” melawan terorisme.
Kedua, warga benar-benar sudah muak dengan pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh agama, yang seolah-olah mencari pembenaran. Pernyataan-pernyataan yang membuat muak warga sudah lazim muncul setiap kali ada aksi teror, bukan hanya di Indonesia saja melainkan juga di belahan dunia lainnya. Pernyataan-pernyataan itu nadanya kurang lebih seperti “Terorisme itu bukan islam”, “Terorisme itu bertentangan dengan islam”, “Islam tidak mengajarkan kekerasan”, “Islam agama damai” dll. Masih banyak pernyataan senada yang dilontarkan tokoh-tokoh agama. Intinya, dengan pernyataan tersebut seolah-olah islam mau cuci tangan dari darah yang ditimbulkan dari aksi teror.
Mengapa warga muak dengan pernyataan-pernyataan tersebut? Yang jelas, pernyataan-pernyataan yang selalu muncul setiap ada aksi teror sebagai bentuk pembelaan diri tersebut, membuat warga binggung. Jelas-jelas bahwa pelaku teror itu beragama islam (terlihat dari nama dan juga atribut yang dipakainya, misalnya seperti pelaku teror Minggu pangi), masih juga dikatakan “Terorisme itu bukan islam”, dan “Terorisme itu bertentangan dengan islam”. Di sini terkesan bahwa para tokoh yang membuat pernyataan tersebut seolah-olah membodohi dan membohongi warga.
Belum lagi jika dikaitkan dengan dasar dari gerakan terorisme ini, yang ada dalam Al-Qur’an. Ada banyak warga yang tidak melek Al-Qur’an, sekalipun dia bukan islam. Setidak-tidaknya, dia membaca dari beberapa literatur atau media. Sudah jamak ditemui pernyataan para teroris bahwa mereka adalah islam sejati karena melaksanakan perintah Allah dalam Al-Qur’an. Warga juga sudah tak asing lagi dengan beberapa ayat dalam Al-Qur’an, yang biasa dijadikan pendasaran aksi terorisme. Karena itulah, ketika mendengar pernyataan beberapa tokoh agama bahwa “Terorisme itu bukan islam”, dan “Terorisme itu bertentangan dengan islam”, warga bertanya apakah Al-Qur’an itu bukan sumber islam.
Tentulah di sini terdapat dua perbedaan pendapat terkait teks Al-Qur’an. Tafsiran kaum teroris berbeda dengan tafsiran sebagian besar tokoh agama islam. Masing-masing saling menegasikan pendapat lawan dan menyatakan pendapatnya yang benar. Bagaimana hal ini disikapi?
Tentu kita masih ingat pernyataan Tuah Aulia Fuadli, seorang mahasiswa tingkat lima Jurusan Ahwal Al Syakhshiyah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sumatera Utara pada sekitar September 2015 di akun facebook-nya, yang membuat dirinya dikeluarkan dari kampus. Fuadli menulis begini:
“Penafsir tunggal itu hanya rasul dan itu pun satu. Sekarang ia sudah mati jd penafsir tunggal ga ada lg. ....”
Pernyataan Fuadli itu bukannya tanpa dasar. Sebagai seorang mahasiswa universitas islam, tentulah dia sudah tak asing dengan Al-Qur’an. Dan dia mendapatkan pendasaran pernyataannya itu pada surah An-Nisa ayat 59, yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul...”
Jadi, siapa yang benar? Inilah yang membuat warga dihadapkan pada kebingungan. Masing-masing pihak menganggap pihaknya yang benar, sedangkan yang lain salah. Karena itulah, warga muak.
Semarang, 14 Mei 2018
by: adrian
Baca juga tulisan lain:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar