Rabu, 22 November 2017

KWI: GEREJA KATOLIK PERLU BANGUN DIALOG UNTUK KIKIS FANATISME AGAMA


Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menutup sidang tahunan baru-baru ini dengan sebuah pesan yang menggaris-bawahi pentingnya membangun dialog lintas-iman untuk mengikis fanatisme agama. Menurut KWI, keadaan bangsa Indonesia saat ini cakup memprihatinkan karena Pancasila, sebagai dasar negara, dirongrong oleh radikalisme dan terorisme. Sementara itu, kesatuan bangsa Indonesia dicederai oleh sikap intoleran terhadap mereka yang memiliki keyakinan berbeda.
KWI melihat bahwa berbagai sentimen suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) yang digunakan dalam politik untuk mencapai kepentingan tertentu dengan mengabaikan cita-cita kesejahteraan bersama, keadilan sosial dan keluhuran martabat manusia turut memperparah situasi tersebut.
“Gereja Katolik harus terus membuka diri untuk membangun dialog dengan agama lain yang didasari ketulusan. Dialog ini penting untuk membangun sikap saling mengenal satu sama lain, meruntuhkan berbagai kecurigaan dan mengikis fanatisme agama,” ungkap para uskup dalam pesan berjudul Panggilan Gereja Membangun Tata Dunia. Pesan setebal tiga halaman itu dikeluarkan seusai sidang tahunan yang berlangsung 6 – 16 November 2017 di Gedung KWI di Menteng, Jakarta Pusat.
“Dengan dialog, Gereja ingin meneruskan misa Tuhan yaitu merobohkan tembok-tembok pemisah dan membangun jembatan persahabatan dengan semua orang demi terwujudnya persaudaraan sejati yang mengarah pada hidup bersama yang lebih damai dan tenteram.”
Sekretaris Jenderal KWI, Uskup Bandung Mgr Antonius Subianto Bunyamin OSC, mengatakan bahwa salah satu cara konkret untuk membangun dialog adalah melibatkan diri dalam berbagai kegiatan sosial. “Misalnya, tidak pernah menolak undangan untuk terlibat aktif dalam kepengurusan Rt, RW dan kelurahan,” paparnya.
“Dengan terlibat aktif dalam gerakan bersama (semacam itu) bisa mengembangkan sikap terbuka, memperkuat Bhinneka Tunggal Ika, membangkitkan semangat musyawarah dan mewujudkan keadilan sosial. Maka kehadiran Gereja Katolik menjadi lebih relevan dan signifikan,” lanjut Mgr Bunyamin OSC.
Uskup Bandung ini mengatakan bahwa KWI ingin mengaktualisasikan dokumen Konsili Vatikan II, Apostolicam Actuositatem, tau dekrit tentang kerasulan awam, yang dipromulgasikan oleh Paus Paulus VI pada 18 November 1965. “KWI menggaris-bawahi dokumen terbut karena panggilan ini sangat konkret saat ini: bagaimana kaum awam sungguh terlibat dan para gembala membantu kaum awam supaya tidak pecah soal pilihan politik,” tambahnya.
Dalam pesannya, KWI memang menyinggung soal peran hierarki dalam mendukung kaum awam agar lebih berani mengambil peran politik khususnya menjelang pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan dilangsungkan secara serentak di 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten pada 2018 dan pemilihan presiden pada 2019.

Uskup Jayapura Mgr Leo Laba Ladjar OFM mengakui bahwa sentimen SARA tidak begitu kental di Propinsi Papua. Namun ada kekhawatiran bahwa kaum pendatang yang kebanyakan muslim akan mendominasi secara ekonomi. “Kami berusaha bertemu para tokoh agama untuk berdialog,” ungkapnya.

2 komentar:

  1. agama lain yg fanatik, gereja katolik yg kikis. Kayak cleaning service aja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itulah tugas Gereja Katolik, "Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar." (Matius 5: 45)

      Hapus