Semua orang memang punya hak untuk
menikah. Namun karena menikah itu merupakan tindakan hukum, maka hanya mereka
yang tidak dilarang oleh hukum dapat menikah (kan. 1058). Hukum pernikahan
katolik mengenal adanya halangan dan larangan. Larangan dan halangan nikah
tidak untuk menghapus hak orang untuk menikah, tapi untuk mengatur
pelaksanaannya demi terwujudnya sebuah pernikahan yang sah (valid) dan halal
(layak).
Larangan nikah
tersebar dalam KHK antara lain kan. 1071, 1077, 1102, 1124, 1130 dan 1684.
Larangan tidak menghalangi secara mutlak seseorang untuk menikah. Larangan ini
dituntut demi halalnya sebuah pernikahan. Pelanggaran terhadap larangan membuat
pernikahan tidak halal, meski tetap sah. Pasutri telah menikah resmi dan dapat
mengurus akta nikah di catatan sipil, karena negara hanya melihat validitas
pernikahan yang sesuai dengan ketentuan hukum agama (bdk. UU no 1 thn 1974
tentang Perkawinan, pasal 2 ayat 1).
Larangan nikah tidak
hanya dikenakan kepada calon pasutri saja, melainkan juga peneguhnya (pastor
paroki, imam atau diakon). Umumnya ada 2 faktor penyebab orang melanggar
larangan ini, yakni ketidak-tahuan dan kesengajaan karena terdesak. Untuk
mendapatkan kehalalan pernikahan yang dilarang, maka pasutri harus memenuhi
kembali ketentuan hukum yang dilanggar. Untuk menghapus larangan nikah sehingga
orang bisa menikah secara halal, dibutuhkan izin khusus dari Ordinaris Wilayah.
Yang termasuk Ordinaris Wilayah adalah Uskup, Vikjen dan Vikep (kan. 134 §2).
Berikut ini beberapa
pernikahan yang dilarang dalam Gereja Katolik adalah: (1) menikah dengan orang
pengembara, (2) menikah dengan orang yang pernah kumpul kebo, (3) pernikahan orang yang
pernah murtad, (4) pernikahan orang yang terkena sanksi hukuman gerejawi, (5) pernikahan anak yang belum dewasa, (6) pernikahan lewat pengantara, (7) pernikahan beda Gereja.
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar