INSENTIP PELAYANAN: TABU ATAU TIDAK?
Dalam pertemuan dengan
tokoh-tokoh pimpinan lembaga Gereja, yang diselenggarakan oleh Bimas Katolik,
seorang bapak meminta tanggapan soal boleh tidaknya seorang petugas pastoral
menerima uang insentip. Ia bertanya, “Apakah tabu atau tidak seorang pendamping
Sekolah Minggu, misalnya, menerima uang insentip?”
Forum terpecah menjadi dua
kelompok. Ada yang mengatakan “boleh” alias
tidak tabu. Alasannya, karena mereka telah meninggalkan “pekerjaannya” untuk
pelayanan, dimana pekerjaannya itu seharusnya mendatangkan uang baginya. Yang
lain melihat uang insentip itu sebagai ganti BBM yang hilang terpakai. Ada juga
yang mengemukakan dasar biblis. “Seorang pekerja patut mendapat upahnya.” (Mat
10: 10).
Kelompok lain menyatakan tabu.
Dengan kata lain, seorang petugas pendamping sekolah minggu atau sejenisnya
tidak boleh menerima insentip. Mereka melihat bahwa tugas-tugas itu sebagai
bentuk pelayanan kepada Gereja. Karena itu, upahnya tidak dilihat di dunia ini,
melainkan di sorga, seperti pernyataan Tuhan Yesus dalam Sabda di bukit,
“upahmu besar di sorga”. Ada juga yang mengemukakan dasar biblis, “Upahku ialah
ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah.” (1Kor 9: 18).
Satu ketakutan kelompok yang
menolak adanya uang insentip bagi petugas Gereja, yang dikenal dengan istilah
“penyuluh non-PNS”, adalah perubahan mental. Sebelum adanya uang insentip,
pelayanan yang dilakukan merupakan pengabdian. Orang datang bertugas karena
memang ingin mengabdi. Namun dengan adanya uang akan terjadi perubahan. Bukan
pengabdian yang diutamakan, melainkan uang-nya. Ada kecemasan jika tidak ada
uang, orang tidak mau lagi memberi diri dalam tugas-tugas menggereja. Tentu
ketakutan ini didasari pada pernyataan Santo Paulus, “Akar segala kejahatan ialah
cinta uang.” (1Tim 6: 10). Uang membuat nilai pelayanan menjadi rusak.
Bagaimana hal ini harus
disikapi? Ada dua hal utama dalam persoalan ini yang perlu disikapi, yaitu uang dan pelayanan. Uang adalah efek dari pelayanan yang diberikan. Namun
ada ketakutan bahwa uang itu dapat merusak pelayanan. Untuk itu, pertama-tama
harus dilihat secara baik dan benar uang itu. Apakah uang itu dilihat sebagai
HAK atau sebagai HADIAH?
Jika uang insentip dilihat
sebagai HAK, maka wajar saja kalau petugas Gereja tadi menerimanya. Ia menerima
uang tadi karena ia sudah melaksanakan kewajibannya, yaitu tugas-tugas
menggereja. Ada HAK maka ada pula KEWAJIBAN. Jadi, pelayanannya dilihat sebagai
kewajiban. Tugas-tugas sebagai pendamping BIAR, misdinar atau pendampingan bagi
calon penerima sakramen merupakan suatu kewajiban. Karena itu, dasar biblis
“seorang pekerja patut mendapat upahnya” dapat digunakan di sini.
Berbeda halnya jika uang
insentip dilihat sebagai HADIAH atau rahmat. Jika uang insentip dilihat sebagai
hadiah, ia melihat pelayanannya sebagai panggilan dan pengabdian diri. Hal ini
mirip seperti yang dilakukan oleh Paulus. Karena itu, Paulus pernah berkata,
“Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.” (1Kor 9: 16). Maka dari
itu, Paulus sama sekali tidak mempersoalkan ada tidaknya uang sebagai upah.
Seseorang yang melihat
pelayanannya sebagai panggilan dan pengabdian diri akan melihat uang sebagai
anugerah. Ia melayani bukan bermaksud untuk mendapatkan anugerah tadi,
melainkan karena memang panggilan hidup. Anugerah itu bukan merupakan tujuan
utama, melainkan pelayanan itu sendiri. Karena itu, orang seperti ini akan
memiliki sikap syukur dalam menyikapi anugerah. Diberi uang insentip, ia akan
bersyukur; tidak juga ia tetap bersyukur. Ketiadaan uang insentip tidak akan
mengurangi pelayanannya.
Selain mempunyai sikap
syukur, orang yang melihat pelayanan sebagai panggilan hidup akan memiliki
sikap rela berkorban. Yang dikorbankan adalah kepentingan dirinya sendiri demi
kepentingan orang lain. Santo Paulus telah memberikan contoh teladan, yang dia
dapatkan dari teladan Sang Guru, yaitu Yesus Kristus.
Jadi, apakah petugas-petugas
Gereja boleh menerima uang insentip atau tidak? Hal ini tergantung bagaimana
kita melihat dan menyikapi UANG dan PELAYANAN itu. Juga tergantung katekese
kita. Katekese ini tidak hanya kepada umat, tetapi juga, dan yang terutama,
kepada para pimpinan Gereja seperti para imam. Sebab, jika umat “dipersulit”
untuk mendapatkan insentip akan pelayanannya atas nama pengabdian, bisakah imam
juga tidak mendapat insentip (stipendium) atas pelayanannya demi pengorbanan?
Pangkalpinang,
29 Agustus 2015
by:
adrian
Baca
juga tulisan lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar