Minggu, 01 November 2015

Mari Mewaraskan Diri

Dalam beberapa kejadian belakangan ini, kita menemui ungkapan Gus Dur mengenai murid taman kanak-kanak yang disampaikan dengan cukup ekstrem di media-media sosial. Kemunculan ungkapan itu membuat kita mempertanyakan kembali apa simbol yang dimaksud dengan murid TK ini.
Umumnya anak usia 4 – 5 tahun adalah anak-anak yang masih lugu, tidak mengerti tanggung jawab, masih senang bermain dan tidak banyak pertimbangan. Apakah orang dewasa yang disamakan dengan anak-anak ini dikarenakan mereka tidak berperilaku sesuai dengan tuntutan peran dan tanggung jawabnya?
Kita hidup di alam yang sudah sangat materialis dan mengalami banyak gejala yang mengherankan sebagai akibat kekuasaan yang besar, baik kekuasaan dalam uang maupun hukum. Kita sering melihat betapa orang merunduk-runduk kepada orang yang bermobil mewah ataupun mengenakan tas ratusan juta. Bahkan, pembelokan keputusan pengadilan pun bisa terjadi atas nama kekuasaan. Yang hitam bisa jati putih, yang benar bisa jadi salah, yang salah bisa jadi tampak benar bilamana kekuasaan berbicara.
Bukankah hal-hal ini seperti yang sering membuat kita lupa akan hal-hal yang lebih hakiki, yaitu membentuk kekuatan kita sebagai pribadi yang matang, tangguh dan bijak? Apa gunanya kaya kalau tidak memiliki komitmen. Apa gunanya berkuasa kalau kita menampilkan kelemahan emosi, bahkan berintegritas rendah. Bukankah pada dasarnya manusia memiliki keinginan spiritual membangun kualitas diri yang baik, bertanggung jawab, berpikir obyektif dan luwes mengatur emosi? Menjadi manusia yang matang selain sulit, juga sering tidak membawa “reward” yang kasatmata secara langsung. Dalam perjalanan menuju manusia matang, banyak orang menjadi tergoda untuk menghentikan pematangan dirinya. “The soul is placed in the body like a rough diamond, and must be polished, or the luster of it will never appear.”
Nobody Perfect
Kita semua terlahir dengan ketidak-sempurnaan jasmani dan jiwani. Ada yang bertemperamen tinggi, ada yang lambat dalam berespons. Ada yang introver ada yang ekstrover. Kita bisa meyakini bahwa “Saya adalah saya”, dan saya “happy” dengan kekurangan saya. Meski demikian, kita tidak boleh lupa bahwa bertumbuh menjadi dewasa selain secara fisik seharusnya juga berarti secara mental dan spiritual. Apalagi bila kita berfungsi sebagai pemimpin, profesional, maupun orangtua yang memiliki tanggung jawab atas hidup orang lain.
Kematangan inilah yang nantinya akan menjadi fondasi diri, ketika kita menghadapi kesulitan, kemenangan, memangku jabatan ataupun menjadi wakil rakyat. Sementara itu, dalam hidup ini kita sering terjerat pada rutinitas dan operasional dan arus lingkungan, sehingga lupa merefleksikan skenario dan perjalanan kehidupan yang dijalani. Kita pelu mencuri waktu dan fokus untuk tetap menjaga kewarasan kita, tidak terbawa arus operasional saja, politik saja atau bahkan nilai-nilai yang luntur dan tidak lagi sesuai dengan harapan kita untuk menjadi pribadi yang terpuji.
Membangun Kewarasan
Seorang teman yang tadinya berprofesi sebagai seorang dosen, memutuskan untuk menjadi pengusaha. Ia menghadapi dunia bisnis, jejaring sosial, jam kerja dan tipe manusia yang semuanya berbeda. Sampai-sampai suatu saat teman ini merasa gamang dan bertanya, “Apa sebenarnya yang terjadi pada diri saya? Apa yang saya cari? Apa yang penting bagi saya? Dan bagaimana saya menyesuaikan dengan kondisi ini?” Konflik semacam ini bisa membuat seorang individu tegang, tetapi sebenarnya inilah bentuk alarm yang bisa membuat seseorang mawas diri dan kemudian bergerak mewaraskan dirinya lagi. Adakah patokan untuk mewaraskan diri supaya kita memang menjauh dari kondisi “murid TK” itu?
Pertama-tama, kita perlu mengkaji kembali apa yang kita cintai, apa yang membuat kita bangga dan menjadikan diri kita tonggak kebenaran dan “model”. Kita pun sangat perlu mengkaji kembali kebutuhan dasar. “What we must live with, and what we can live without.” Pembedaan ini akan membuat ukuran, seberapa upaya kita untuk mengejar kebutuhan dasar kita dan prinsip apa yang perlu kita tegakkan dalam keadaan apa pun. Berpihak pada kebenaran dan komitmen tidak pernah salah. Komitmen bisa kita kembangkan sampai sumpah jabatan, sumpah dan etika profesi. Kita juga bisa meningkatkan kematangan dengan sikap servis. Dalam servis, kita belajar memahami orang lain, kebutuhannya, kekhawatirannya, dan mencari solusi untuk membantunya.
Dalam menghadapi konflik dan kesulitan, kita tetap perlu menyadari bahwa setiap orang, pasti mempunyai sisi “imuturitas”-nya, di sinilah respek dan toleransi kita teruji. Manusia yang waras akan menghadapi berbagai kekurangan tidak dengan mengeluh, merengek atau bahkan mengasihani diri sendiri. “Face the music, rather than run away, play dead or hide.” Tetapi jangan kembali mundur menjadi anak-anak lagi, kecuali dalam hal semangat dan keinginantahu belajar. To be mature is to have knowledge and experience about the way the world works, and to have adapted accordingly.
sumber: KOMPAS, 12 September 2015, hlm 33
Baca juga tulisan lainnya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar