REVOLUSI MENTAL BERAWAL DARI KESADARAN DIRI
Salah satu gebrakan Jokowi, yang selalu didengungkan selama
masa kampanyenya, adalah revolusi mental. Gebrakan untuk melakukan revolusi
mental ini bukan muncul spontan bengitu saja, melainkan lahir dari refleksi
mendalam atas keprihatinan situasi bangsa saat ini. Ada banyak warga yang
memiliki mental rusak sehingga perlu direvolusi.
Revolusi mental memang merupakan sebuah proyek besar dan abadi.
Gagasan revolusi mental Jokowi ini mirip dengan gagasan Character Building-nya Bung Karno. Ia tidak bisa ditarget dengan
waktu, karena yang mau diubah adalah mental manusia. Mengubah manusia tidak
semudah mengubah binatang, sekalipun manusia itu adalah animal rationale.
Salah satu masalah dasar yang tumbuh subur dalam diri masyarakat
adalah mental tidak tahu malu atau tak tahu diri. Budaya malu telah hilang dari
kehidupan warga. Karena tidak adanya rasa malu ini membuat orang tidak lagi
bisa menghargai sesamanya, bahkan dirinya sendiri. Yang dicari dan dikejar
adalah kepuasan diri.
Mental tak tahu diri diri melahirkan aneka perilaku buruk
lain seperti korupsi, serakah jabatan, dan kejahatan lainnya. Dewasa ini
korupsi memang sudah membudaya dalam kehidupan kita. Sangat susah mencari orang
yang benar-benar bebas dari korupsi. Para koruptor yang ketangkap KPK adalah
orang yang memang lagi bernasib sial. Masih begitu banyak koruptor yang
bergentayangan karena nasib sial belum kunjung datang.
Koruptor adalah orang yang menari-nari di atas penderitaan
orang lain. Ia menikmati uang yang sebenarnya bukan haknya, melainkan hak orang
lain. Jadi, dia tidak merasa malu dengan tindakannya itu.
Rangkap jabatan juga merupakan ciri orang yang tak tahu diri.
Sekalipun ada banyak kritik terhadap rangkap jabatan, orang tetap saja tak
peduli. Hilangnya rasa malu membantu mereka untuk bertindak seperti kafilah
yang berjalan terus sekalipun anjing terus menggongong.
Masalah hilangnya rasa malu atau mental tak tahu diri ini,
bukan cuma ada di kehidupan bernegara saja. Mental tak tahu diri ini dapat juga
ditemui dalam kehidupan menggereja. Korupsi telah melanda gereja, seperti juga
rangkap jabatan. Pelakunya tak tanggung-tanggung, yaitu para gembala gereja
sendiri. Sudah sering terdengar kalau setiap perpindahan pastor paroki, selalu
saja ada masalah soal keuangan. Pastor baru selalu mendapatkan kas paroki dalam
keadaan kosong atau minus. Pertanyaan, kemana uang selama ini? Ada pastor yang
tak tahu diri, menikmati gaji dari tempat ia bekerja, sekalipun ada aturan gaji
harus disetor ke keuskupan.
Demikian pula dengan soal rangkap jabatan. Sekalipun sudah
ada bukti ketidakberesan pekerjaan akibat rangkap jabatan, namun karena tak
tahu diri, tetap saja menguasai beberapa jabatan. Sebagai contoh, sebelumnya
seseorang rangkap jabatan. Setelah dua tahu berjalan terlihat bahwa semua
pekerjaannya terbengkelai. Tapi anehnya, ketika jabatan satu dilepas, masih
juga mencari celah untuk menjabat lagi. Inilah ciri orang yang tak tahu diri.
Orang yang tak tahu diri, sekalipun kinerjanya kurang atau
malah gagal, ia akan tetap terus menduduki jabatan itu. Tidak ada kesadaran
diri untuk mundur sebagai wujud tanggung jawab. Malah ada yang merasa bangga
dengan lamanya berkuasa di suatu posisi jabatan, sekalipun tidak ada apa-apanya.
Hilangnya rasa malu membuat orang tidak punya rasa tanggung jawab atas
pekerjaan.
Karena itu, seruan revolusi mental bukan hanya untuk kehidupan
bernegara saja, melainkan juga untuk kehidupan menggereja. Gereja harus
berevolusi mental; dan revolusi itu hendaknya dimulai dari pucuk pimpinannya,
yaitu gembala. Satu langkah awal untuk mewujudkan revolusi mental adalah
kesadaran diri atau tahu diri. Tanpa kesadaran diri tak akan terwujud perubahan
mental itu.
Untuk bisa mencapai kesadaran diri dibutuhkan perjuangan dan
pengorbanan. Orang harus mengorbankan kesenangan dan kelekatan hidup yang
mendatangkan kenikmatan. Karena itu, untuk bisa sadar diri, orang mesti
memiliki kemauan. Tanpa adanya kemauan, maka sampai kapan pun orang tetap tidak
akan sadar. Dan jika tidak sadar maka rasa malu pun tak kembali.
Pangkalpinang, 22 November 2014
by: adrian
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar