Selasa, 28 April 2015

(Pencerahan) Revolusi Mental & Kesadaran Diri

REVOLUSI MENTAL BERAWAL DARI KESADARAN DIRI
Salah satu gebrakan Jokowi, yang selalu didengungkan selama masa kampanyenya, adalah revolusi mental. Gebrakan untuk melakukan revolusi mental ini bukan muncul spontan bengitu saja, melainkan lahir dari refleksi mendalam atas keprihatinan situasi bangsa saat ini. Ada banyak warga yang memiliki mental rusak sehingga perlu direvolusi.

Revolusi mental memang merupakan sebuah proyek besar dan abadi. Gagasan revolusi mental Jokowi ini mirip dengan gagasan Character Building-nya Bung Karno. Ia tidak bisa ditarget dengan waktu, karena yang mau diubah adalah mental manusia. Mengubah manusia tidak semudah mengubah binatang, sekalipun manusia itu adalah animal rationale.

Salah satu masalah dasar yang tumbuh subur dalam diri masyarakat adalah mental tidak tahu malu atau tak tahu diri. Budaya malu telah hilang dari kehidupan warga. Karena tidak adanya rasa malu ini membuat orang tidak lagi bisa menghargai sesamanya, bahkan dirinya sendiri. Yang dicari dan dikejar adalah kepuasan diri.

Mental tak tahu diri diri melahirkan aneka perilaku buruk lain seperti korupsi, serakah jabatan, dan kejahatan lainnya. Dewasa ini korupsi memang sudah membudaya dalam kehidupan kita. Sangat susah mencari orang yang benar-benar bebas dari korupsi. Para koruptor yang ketangkap KPK adalah orang yang memang lagi bernasib sial. Masih begitu banyak koruptor yang bergentayangan karena nasib sial belum kunjung datang.

Koruptor adalah orang yang menari-nari di atas penderitaan orang lain. Ia menikmati uang yang sebenarnya bukan haknya, melainkan hak orang lain. Jadi, dia tidak merasa malu dengan tindakannya itu.
Rangkap jabatan juga merupakan ciri orang yang tak tahu diri. Sekalipun ada banyak kritik terhadap rangkap jabatan, orang tetap saja tak peduli. Hilangnya rasa malu membantu mereka untuk bertindak seperti kafilah yang berjalan terus sekalipun anjing terus menggongong.

Masalah hilangnya rasa malu atau mental tak tahu diri ini, bukan cuma ada di kehidupan bernegara saja. Mental tak tahu diri ini dapat juga ditemui dalam kehidupan menggereja. Korupsi telah melanda gereja, seperti juga rangkap jabatan. Pelakunya tak tanggung-tanggung, yaitu para gembala gereja sendiri. Sudah sering terdengar kalau setiap perpindahan pastor paroki, selalu saja ada masalah soal keuangan. Pastor baru selalu mendapatkan kas paroki dalam keadaan kosong atau minus. Pertanyaan, kemana uang selama ini? Ada pastor yang tak tahu diri, menikmati gaji dari tempat ia bekerja, sekalipun ada aturan gaji harus disetor ke keuskupan.

Demikian pula dengan soal rangkap jabatan. Sekalipun sudah ada bukti ketidakberesan pekerjaan akibat rangkap jabatan, namun karena tak tahu diri, tetap saja menguasai beberapa jabatan. Sebagai contoh, sebelumnya seseorang rangkap jabatan. Setelah dua tahu berjalan terlihat bahwa semua pekerjaannya terbengkelai. Tapi anehnya, ketika jabatan satu dilepas, masih juga mencari celah untuk menjabat lagi. Inilah ciri orang yang tak tahu diri.

Orang yang tak tahu diri, sekalipun kinerjanya kurang atau malah gagal, ia akan tetap terus menduduki jabatan itu. Tidak ada kesadaran diri untuk mundur sebagai wujud tanggung jawab. Malah ada yang merasa bangga dengan lamanya berkuasa di suatu posisi jabatan, sekalipun tidak ada apa-apanya. Hilangnya rasa malu membuat orang tidak punya rasa tanggung jawab atas pekerjaan.

Karena itu, seruan revolusi mental bukan hanya untuk kehidupan bernegara saja, melainkan juga untuk kehidupan menggereja. Gereja harus berevolusi mental; dan revolusi itu hendaknya dimulai dari pucuk pimpinannya, yaitu gembala. Satu langkah awal untuk mewujudkan revolusi mental adalah kesadaran diri atau tahu diri. Tanpa kesadaran diri tak akan terwujud perubahan mental itu.

Untuk bisa mencapai kesadaran diri dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Orang harus mengorbankan kesenangan dan kelekatan hidup yang mendatangkan kenikmatan. Karena itu, untuk bisa sadar diri, orang mesti memiliki kemauan. Tanpa adanya kemauan, maka sampai kapan pun orang tetap tidak akan sadar. Dan jika tidak sadar maka rasa malu pun tak kembali.
Pangkalpinang, 22 November 2014
by: adrian
Baca juga:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar