MATI RASA
Dalam pertemuan imam kevikepan Kepri di Paroki St. Petrus
Lubuk Baja, 11 – 12 Juni lalu, saya mengomentari seorang rekan imam. Dia tahu
kalau situasi saat itu lagi rileks. Tak ada ketegangan di antara kami, apalagi
kami teman satu angkatan kuliah dan imamat, serta memiliki sejarah kebersamaan
tersendiri. Karena itu, dengan senyum khasnya, ia mengatakan bahwa ia
tersinggung (dengan komentar saya).
Saya pun, dengan santai, menanggapi pernyataannya itu bahwa
saya senang jika ia tersinggung. “Itu mengisyaratkan kamu masih punya perasaan,”
ujarku yang langsung disambut dengan tawa dan makian canda. Kami larut dalam
kebersamaan.
Tersinggung merupakan ungkapan perasaan. Biasanya ungkapan
perasaan ini muncul tatkala kita mendengar atau melihat ungkapan lewat
kata-kata atau gambar tentang diri kita yang tidak menyenangkan. Misalnya, dulu
anggota dewan merasa tersinggung dengan pernyataan almarhum Gus Dur yang
mengatakan bahwa mereka ibarat siswa taman kanak-kanak.
Tersinggung adalah manusiawi. Ia merupakan bagian dari
kemanusiaan kita. Jadi, bila ada orang merasa tidak senang dengan sebuah
komentar tentang dirinya atau kelompoknya atau sesuatu yang sudah diidentikkan
dengan dirinya lalu ia merasa tersinggung, itu wajar. Atau jika orang merasa
tidak senang dengan sebuah gambar tentang dirinya atau kelompoknya atau sesuatu
yang sudah diidentikkan dengan dirinya lalu ia merasa tersinggung, itu adalah
wajar.
Dalam ketersinggungan ini orang tidak melihat penilaian benar
tidaknya suatu pernyataan atau gambar. Ketersinggungan ini hanya dikaitkan
dengan senang atau tidak senang, suka atau tidak suka. Soal kebenaran itu
menyangkut aspek budi (otak), sedangkan senang atau suka merupakan aspek rasa
(emosi). Karena itu, tersinggung lebih menunjukkan rasa perasaan. Orang yang
tersinggung memperlihatkan bahwa ia masih mempunyai perasaan.
Namun sering juga kita saksikan banyak orang yang tidak
tersinggung atas komentar atau gambar yang menyindir dirinya. Ini sering
dijumpai pada sosok pemimpin. Sekalipun ada begitu banyak sindiran dan kritik,
mereka seakan tidak terpengaruh. Mereka ibarat “anjing menggonggong, kafilah
jalan terus.”
Terhadap masalah ketidaktersinggungan ini ada dua kemungkinan
yang saling berkaitan. Pertama, mereka ini memiliki kemampuan untuk
mengendalikan diri sehingga tidak mudah merasa tersinggung. Kedua, mereka sudah
mati rasa, alias tidak punya perasaan. Dua kemungkinan ini, sekalipun memiliki
kaitan, mempunyai perbedaan dalam hasil akhirnya. Untuk kemungkinan pertama,
meski tidak terlihat menanggapi sindiran atau kritikan, orang ini akan membuat
semacam discernment atau pemilahan
benar tidaknya suatu sindiran. Jika ia menemukan kebenaran dalam sindiran atau
kritikan itu, maka akan terjadi perubahan dalam dirinya, karena ia merasa
sindiran itu baik dan berguna bagi dirinya. Namun jika bukan maka ia akan
menganggap sebagai angin lalu. Sedangkan untuk kemungkinan kedua sama sekali
tidak menghasilkan perubahan, karena sindiran atau kritikan sama sekali tidak
berpengaruh padanya; tidak menyentuh hati perasaannya. Ia sudah mati rasa.
Nah, bagaimana dengan Anda? Apakah Anda tersinggung dengan
sindiran atau sama sekali tidak? Berbahagialah jika Anda tersinggung, karena
dengan demikian Anda masih memiliki perasaan. Memiliki perasaan berarti Anda
itu manusia.
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar