Selasa, 14 Januari 2014

(Pencerahan) Mati Rasa

MATI  RASA
Dalam pertemuan imam kevikepan Kepri di Paroki St. Petrus Lubuk Baja, 11 – 12 Juni lalu, saya mengomentari seorang rekan imam. Dia tahu kalau situasi saat itu lagi rileks. Tak ada ketegangan di antara kami, apalagi kami teman satu angkatan kuliah dan imamat, serta memiliki sejarah kebersamaan tersendiri. Karena itu, dengan senyum khasnya, ia mengatakan bahwa ia tersinggung (dengan komentar saya).

Saya pun, dengan santai, menanggapi pernyataannya itu bahwa saya senang jika ia tersinggung. “Itu mengisyaratkan kamu masih punya perasaan,” ujarku yang langsung disambut dengan tawa dan makian canda. Kami larut dalam kebersamaan.

Tersinggung merupakan ungkapan perasaan. Biasanya ungkapan perasaan ini muncul tatkala kita mendengar atau melihat ungkapan lewat kata-kata atau gambar tentang diri kita yang tidak menyenangkan. Misalnya, dulu anggota dewan merasa tersinggung dengan pernyataan almarhum Gus Dur yang mengatakan bahwa mereka ibarat siswa taman kanak-kanak.

Tersinggung adalah manusiawi. Ia merupakan bagian dari kemanusiaan kita. Jadi, bila ada orang merasa tidak senang dengan sebuah komentar tentang dirinya atau kelompoknya atau sesuatu yang sudah diidentikkan dengan dirinya lalu ia merasa tersinggung, itu wajar. Atau jika orang merasa tidak senang dengan sebuah gambar tentang dirinya atau kelompoknya atau sesuatu yang sudah diidentikkan dengan dirinya lalu ia merasa tersinggung, itu adalah wajar.

Dalam ketersinggungan ini orang tidak melihat penilaian benar tidaknya suatu pernyataan atau gambar. Ketersinggungan ini hanya dikaitkan dengan senang atau tidak senang, suka atau tidak suka. Soal kebenaran itu menyangkut aspek budi (otak), sedangkan senang atau suka merupakan aspek rasa (emosi). Karena itu, tersinggung lebih menunjukkan rasa perasaan. Orang yang tersinggung memperlihatkan bahwa ia masih mempunyai perasaan.

Namun sering juga kita saksikan banyak orang yang tidak tersinggung atas komentar atau gambar yang menyindir dirinya. Ini sering dijumpai pada sosok pemimpin. Sekalipun ada begitu banyak sindiran dan kritik, mereka seakan tidak terpengaruh. Mereka ibarat “anjing menggonggong, kafilah jalan terus.”

Terhadap masalah ketidaktersinggungan ini ada dua kemungkinan yang saling berkaitan. Pertama, mereka ini memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri sehingga tidak mudah merasa tersinggung. Kedua, mereka sudah mati rasa, alias tidak punya perasaan. Dua kemungkinan ini, sekalipun memiliki kaitan, mempunyai perbedaan dalam hasil akhirnya. Untuk kemungkinan pertama, meski tidak terlihat menanggapi sindiran atau kritikan, orang ini akan membuat semacam discernment atau pemilahan benar tidaknya suatu sindiran. Jika ia menemukan kebenaran dalam sindiran atau kritikan itu, maka akan terjadi perubahan dalam dirinya, karena ia merasa sindiran itu baik dan berguna bagi dirinya. Namun jika bukan maka ia akan menganggap sebagai angin lalu. Sedangkan untuk kemungkinan kedua sama sekali tidak menghasilkan perubahan, karena sindiran atau kritikan sama sekali tidak berpengaruh padanya; tidak menyentuh hati perasaannya. Ia sudah mati rasa.

Nah, bagaimana dengan Anda? Apakah Anda tersinggung dengan sindiran atau sama sekali tidak? Berbahagialah jika Anda tersinggung, karena dengan demikian Anda masih memiliki perasaan. Memiliki perasaan berarti Anda itu manusia.

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar