ROMO CAROLUS, PENDAMPING TERPIDANA MATI NUSAKAMBANGAN
Awal Berkarya
Kampung Laut tahun
1973 adalah neraka. Delta Sungai Citanduy di samping Nusakambangan itu bak
sarang penyakit. Namun, bagi Romo Charles Patrick Edward Burrows OMI atau yang
biasa disapa Romo Carolus, Kampung Laut adalah rumah keduanya.
Romo Carolus
datang ke Kampung Laut tahun 1973 dengan menumpang speedboat. Lahir di
Dublin, Irlandia, pada 4 April 1943, Romo berketetapan hati untuk berbagi kasih
dengan penduduk Kampung Laut yang terpinggirkan.
“Dulu mereka
dipinggirkan, dituduh simpatisan partai terlarang. Tak ada yang mau mengurus
mereka,” ujar Romo, Selasa, 24 Februari 2015.
Awal ia datang di
daratan yang dikelilingi hutan mangrove itu, banyak penduduknya yang sakit
mata. Saking parahnya, nanah keluar dari mata mereka yang sakit. Dengan kasih
sayang, warga yang sakit diberi salep mata oleh Romo.
Tak mudah menjadi
seorang pastor. Meski hanya punya motif kemanusiaan, ia kerap dituduh melakukan
kristenisasi terhadap penduduk Kampung Laut. Tanpa gembar-gembor ayat-ayat
suci, Romo terus kerja, kerja, dan kerja.
Ia memperbaiki
sanitasi lingkungan, membangun jembatan antar-pulau, serta meningkatkan
pendidikan penduduk. “Fokus saya mengentaskan kemiskinan warga Kampung Laut,”
katanya.
Romo menjadi warga
negara Indonesia tahun 1983. Meski demikian, ia kerap pulang ke Irlandia untuk
menemui saudaranya. Ia merasa lebih dibutuhkan di Kampung Laut dibandingkan di
negaranya.
Melalui Yayasan
Sosial Bina Sejahtera (YSBS), ia membangun lima TK, dua SD, delapan SMP, tiga
SMA, dan satu akademi maritim. Ia percaya pendidikan adalah hak semua anak.
“Pendidikan membebaskan orang dari kemiskinan dan kebodohan,” ujar Romo yang
dikenal dengan Teologi Cinta-nya itu.
Mendampingi Terpidana Mati
Seminggu sekali,
Romo yang menolak hukuman mati itu mempersembahkan Ekaristi di salah satu
lembaga pemasyarakatan di Nusakambangan, yang penghuninya menunggu eksekusi
hukuman mati.
Romo Carolus
meminta pemerintah menyediakan pendamping bagi terpidana mati yang beragama
Katolik. Pada eksekusi gelombang pertama, 18 Januari 2015, terpidana mati Marco
Archer Cardoso tidak didampingi pemuka agama Katolik.
“Inilah yang
memicu hubungan antara Indonesia dan Brasil memburuk,” kata Romo Carolus.
Ia mengatakan,
saat dieksekusi di hadapan regu tembak, Marco tak didampingi pastor. Padahal
Romo Carolus sudah menghubungi pihak LP Nusakambangan untuk diizinkan
mendampingi Marco. Namun tak ada respons dari LP Nusakambangan. Jauh hari
sebelum dieksekusi, Romo Carolus juga sudah melakukan pendampingan. Ia
menyayangkan Marco tak mendapatkan haknya seperti menerima Sakramen Tobat dan
Komuni.
Sejak lima tahun
terakhir, Romo Carolus memberi perhatian pada penghijauan kembali lahan gundul
dengan pohon-pohon spesies lokal di pulau seluas 22 ribu hektare itu sambil
memberdayakan masyarakat setempat. Nama Romo Carolus sudah sangat melekat
dengan warga Cilacap. Tak terkecuali bagi Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamudji.
“Romo tidak
berkarya dengan tinta, tapi tetesan keringat. Ia turun dan mendengar langsung
keluhan masyarakat,” katanya.
sumber: UCAN Indonesia
Baca juga artikel
lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar