Selasa, 24 April 2012

Melatih Anak Temukan Solusi


Melatih Anak Menemukan Solusi  

Karakter anak mandiri bisa dibentuk sejak anak balita. Masa balita adalah masa anak menangkap dan mengingat perlakuan yang dilihat dan diterimanya. Saat itu, kecerdasan dan kreativitas anak berkembang. Menurut psikolog Lucia R.M. Royanto, kemampuan memecahkan masalah pada anak sangat dipengaruhi faktor lingkungan berupa stimulasi-stimulasi psikologis melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama anak. “Stimulasi psikologis yang diberikan oleh ibu berupa permainan dan latihan yang dapat mengembangkan kemampuan anak akan membantu perkembangan anak secara maksimal,” kata Lucia pada kesempatan yang sama.

Pengajar pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini menjelaskan rangkaian proses untuk sampai pada tahap pemecahan masalah dimulai dari adanya atensi, kemudian fokus, konsentrasi, mengingat, belajar, dan memecahkan masalah. Lucia mencontohkan dalam kehidupan sehari-hari saat anak melihat ibunya makan dengan sendok dan garpu. Di saat itu anak mengarahkan atensi dan fokusnya terhadap apa yang dilakukan ibunya ketika makan dengan menggunakan sendok dan garpu. Dengan konsentrasi, apa yang dilakukan ibunya akan masuk ke dalam ingatan anak dan di situ pula proses belajar terjadi.

Di kesempatan lain saat anak berada dalam situasi yang berbeda, misalnya di sekolah, dia hendak makan tapi hanya tersedia sendok, anak akan berpikir bagaimana dia dapat melakukan kegiatan makan tanpa garpu. Di situlah kemampuan pemecahan masalahnya diuji. Di ingatannya, jelas ia menyimpan memori bahwa ibunya makan dengan sendok dan garpu, tapi kini situasi yang dihadapinya berbeda. Maka dia memecahkan masalah bahwa dia dapat menggunakan sendok sekaligus sebagai garpu.

Kemampuan memecahkan masalah pada anak, menurut Lucia, harus dilatih sejak kecil. Orang tua bisa melatihnya dari hal-hal kecil yang ditemui sehari-hari, misalnya mengikat tali sepatu atau mengancingkan baju. “Itu kan problem solving dalam makna yang sederhana. Jadi orang tua tidak harus menunggu sampai perkembangan kognitifnya sudah lebih baik baru dia bisa problem solving. Dari hal-hal sederhana sehari-hari pun sebenarnya anak melakukan problem solving. Cuma kadang-kadang orang tua mikirnya problem solving harus yang sulit. Sebenarnya nggak,” ujar Lucia.

Stimulasi psikologis yang bisa dilakukan orang tua dalam melatih kemampuan ini bisa dalam bentuk permainan, misalnya puzzle, leggo, ataupun blok susun-bangun. Namun yang perlu ditekankan adalah pendampingan dan keterlibatan orang tua dalam permainan yang dilakukan anak. Di situ orang tua memberi tantangan saat anak menghadapi masalah. “Jangan bilang, sini ibu bantuin. Kalau dibantuin, dia nggak mikir. Tapi kalau ditantang, coba dipikir lagi gimana caranya. Nah ditantang seperti itu dia berlatih problem solving,” kata Lucia. Dia menambahkan, selain faktor lingkungan, kemampuan memecahkan masalah juga dipengaruhi asupan nutrisi yang diterima anak.

Senada dengan Lucia, pakar nutrisi Emilia Achmadi mengatakan asupan nutrisi sangat penting untuk mendukung perkembangan otak anak. Apalagi "periode emas" perkembangan sel-sel otak terjadi saat anak berusia 0-3 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 10-12 tahun. “Bila di saat-saat awal perkembangan otak anak sudah terhambat, ke sananya sudah sulit untuk meng-catch up (mengejar),” kata Emilia.

Beberapa asupan nutrisi yang penting bagi perkembangan otak, lanjut Emilia, di antaranya Omega 3 yang merupakan komponen utama lemak dalam sistem saraf pusat. Zat ini terdapat pada ikan laut dalam seperti ikan salmon, ikan tuna, serta telur. Zat lainnya yang juga penting adalah kolin dan mikronutrien lain seperti zat besi, yodium, seng, vitamin B6 dan B12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar